2 Kg : Anomali Uni
Aku memang bilang ke Bu Dokter kalau olahraga yang rutin kulakukan adalah berenang. Namun, bukan berarti aku benar-benar suka berenang. Itu karena jadwal dari sekolah saja. Alasannya simpel: renang bikin aku kelelep kayak bongkahan batu di kali. Padahal menurut hukum Archimedes yang kupelajari di Sains, jika benda dicelupkan sebagian atau seluruhnya ke dalam air, maka benda itu akan mendapat gaya apung sebesar berat zat cair yang dipindahkannya.
Nah, berhubung berat tubuhku besar, seharusnya gaya apungku juga besar, bukan? Tapi kenyataan berkata lain. Kurasa Kakek Archi perlu melakukan percobaan ulang dengan Rohibah Seruni sebagai objek penelitiannya. Siapa tahu nanti namaku bakal diabadikan dalam buku pelajaran IPA sehingga dikenal sebagai Hukum Anomali Seruni. Cakeep ....
Di antara teman sekelas, hanya aku yang bermuka kusut tiap tiba jadwal berenang. Padahal kalau dipikir-pikir, waktu berenang itu enak. Rasanya seperti darmawisata kecil-kecilan karena sekolahku tidak punya kolam renang sendiri, sehingga kami akan diangkut naik bus ke WaterLand. Pelajaran hari itu otomatis juga ditiadakan mulai jam kedua. Yang paling membahagiakan, tentu kami bisa langsung pulang setelahnya.
Tapi tetap saja. Rohibah Seruni nggak suka renang. Titik!
"Dih, padahal renang itu seru, loh!" komentar Echa saat mendengar alasan kenapa sejak tadi aku duduk di tepi kolam dan hanya kakiku saja yang diceburkan. Dia sendiri entah sudah berapa kali renang bolak-balik dari sisi kolam satu ke sisi yang lain. Gerakannya lincah seperti lumba-lumba sirkus. Tinggal disuruh lompat melewati lingkaran api saja pasti bakal banyak orang yang membeli tiket buat menonton.
"Nggak bisa ya belajar! Tuh, yang lain aja semangat." Mataku melirik ke arah yang ditunjuk oleh dagu Echa. Tampak Pak Zain, guru olahragaku, mengajari segerombolan murid cewek cara mengayunkan kaki yang benar. Cuma Tama dan beberapa wajah aja yang kukenal. Sisanya, anak-anak dari kelas 8C. Kebetulan jadwal renang kelas kami dibarengkan.
"Ogah, ah. Nanti perutku kram," sahutku cepat.
"Yeee ... bilang aja males! Ya udah kalo kamu nggak mau. Aku renang lagi." Kepala Echa kembali masuk ke air dan mulai berenang menjauh. Aku cuma diam sambil mengamati percikan-percikan air yang tercipta dari gerak kakinya.
Lama-lama bosan juga. Enaknya isi tenaga dulu, ah! Kalau habis basah-basahan gini, paling enak cari yang anget-anget di kantin!
Aku memutar pinggang ke samping dengan tangan bersiaga di sisi tubuh, siap membantu kedua kaki untuk mengangkat pantat yang kadung melekat di tepi kolam. Namun, baru saja mengambil ancang-ancang untuk naik, seseorang mencipratkan air cukup banyak ke punggungku.
"Ada paus terdampar! Paus terdampar!"
Aku langsung memutar kepala dengan ekspresi garang. Siapa lagi yang suka cari gara-gara dengan Uni kalau bukan Trio Pembuat Onar: Gilang, Deo, dan Bayu?! Gilang sebagai pemimpin mereka berjalan paling depan di kolam. Ia juga yang menyiramkan air dan mengolokku barusan.
"Pausnya kegedean badan jadi nggak bisa ngambang!" Deo ikutan meledek dan memancing tawa yang lain.
"Heeeee ... maksudnya??!" Aku melotot tidak terima. Badanku langsung melorot, mencemplung ke kolam. Bikin air meluap sampai sebagiannya kocar-kacir tumpah. Badanku memang besar dan aku punya hati yang lapang. Namun, bukan berarti aku diam saja ketika ada yang menghina fisikku. Lagi pula, kasihan pausnya disama-samakan denganku. Di dunia ini, mana ada, sih, paus yang nggak bisa berenang? Seharusnya Trio Pembuat Onar itu membekali diri dengan wawasan yang cukup dan banyak-banyak nonton Discovery Channel sebelum meledek orang lain dengan bawa-bawa binatang!
"Kabuuur!!"
Belum sempat aku mendekat, ketiganya sudah lebih dulu berbalik dan langsung ambil langkah seribu dengan kompak—berenang gaya bebas. Aku yang tingginya cuma satu setengah meter lebih dua senti dan harus berjuang biar kepalaku tidak kelelep di air yang hampir mencapai dagu, semakin gelagapan akibat terkena cipratan air bertubi dari gerakan kaki-kaki mereka.
Dasar anak-anak jahara! Awas saja kalau berhasil ketangkap, bakal kutenggelamkan satu per satu di kolam!
Gara-gara terbakar emosi, rasa laparku jadi semakin menjadi. Daripada capek-capek mengejar, kuputuskan untuk balik badan saja. Lagian, ngurusin komplotan Gilang nggak bakal ada habisnya. Kalau memang ada, pasti aku sudah kurus sekarang. Mending yang pasti-pasti saja seperti seporsi Popmie di kantin yang dijamin bakal bikin rasa laparku sedikit berkurang.
Aku sudah mencapai tepi kolam lagi. Namun, aku justru mematung dengan kening berkerut dalam. Ngomong-ngomong, ini cara naiknya lagi gimana, ya?
Kepalaku celingak-celinguk, memikirkan jawaban dari pertanyaanku sendiri. Sekitar lima meter sebelah kiri dari tempatku berdiri, ada tangga stainless untuk keluar dari kolam renang. Memang tidak terlalu jauh, tetapi karena sedang di dalam air, untuk mencapai tempat itu pasti aku perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengompensasi gaya geseknya yang lebih besar dari udara. Itu berarti, tubuhku perlu pembakaran lebih untuk mendapat tambahan energi. Padahal sekarang saja perutku sudah lapar tak terkira.
Kesimpulannya, mending aku naik langsung dari sini daripada buang-buang tenaga jalan ke tangga!
Kuletakkan kedua telapak tangan di tepi kolam sebagai tumpuan utama. Dalam sekali dorong, aku mencoba mengangkat tubuh yang sudah seperti satu sak semen dicelup air dari kolam renang. Beraaaaatt! Kalau Dylan bilang yang berat itu rindu, pasti ia belum pernah jadi orang gendut kelaparan yang mencoba keluar sendiri dari kolam renang tanpa naik tangga. Mustahil bobot tujuh puluh lima kilogram dengan tubuh basah kuyup ini bisa terasa ringan seperti kapas.
Namun, bukan Uni namanya jika segitu saja sudah menyerah dan enggan berusaha. Aku kembali mencoba untuk kedua kali dengan menambah tenaga saat mendorong badan. Sayangnya, perbedaan mencolok antara besar beban dan kapasitas tenagaku tidak bisa dibohongi. Ditambah permukaan lantai di tepi kolam yang basah membuat gaya geseknya dengan telapak tangan semakin kecil. Tumpuanku kurang kokoh hingga akhirnya tergelincir. Tak ayal, badanku yang sudah setengah mentas dari kolam pun kembali terjengkang bebas ke pelukan air.
Byuuurrrr!!
Suara deburan keras air dan jutaan molekulnya langsung menyerbu seluruh indra. Refleks tubuhku melindungi diri dengan secepatnya menutup saluran pernapasan agar air tidak semakin banyak masuk, setelah sebelumnya tanpa sengaja tertelan dan membuat dadaku sakit. Pandanganku pun jadi buram karena terhalang air. Secara naluriah, aku berusaha membuat kepalaku agar bisa mencapai permukaan dan meraup oksigen yang kubutuhkan. Sialnya, karena dalam posisi tidak siap dan buru-buru, saat menjejakkan kaki ke lantai dasar kolam aku justru kembali terpeleset sehingga semakin jatuh ke belakang.
Panik, bingung, bercampur takut membuat gerakan tubuhku semakin tidak terkoordinasi. Aku mencoba membuka mulut untuk meminta tolong, tetapi serbuan air kolam langsung memaksa masuk, bahkan lewat lubang hidungku. Aku terpaksa menelannya tanpa memikirkan soal kaporit yang bercampur keringat dan—bisa jadi—pipis orang-orang. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya agar kepalaku tetap berada di atas air. Paling banter mungkin minggu depannya aku masuk rumah sakit gara-gara muntaber! Meski penyakitnya sama sekali nggak keren, tapi setidaknya aku masih hidup dan menikmati lagi bakso Mang Jek yang tiada duanya.
Permukaan air bergelombang saat lengan besarku menggapai-gapai udara. Sementara di dalam air, kakiku tak henti mengayuh dengan harapan bisa meniru baling-baling yang bisa membawa kapal meluncur membelah luasnya samudra. Di saat seperti ini, aku berharap hukum Archimedes akan berlaku untukku. Namun, sia-sia. Yang ada tubuhku malah semakin tenggelam, sementara kaki dan tanganku sudah mulai mati rasa akibat kehabisan tenaga.
Sudut mataku sempat melihat komplotan Gilang yang terbahak-bahak sambil menonton penderitaanku dari sisi lain kolam renang. Dasar nggak waras! Mereka pikir aku sedang cosplay jadi kuda nil yang tenggelam, apa?! Padahal di sini aku benar-benar berjuang mati-matian biar tidak beneran mati!
Di saat harapanku sudah setipis asap kuah bakso yang mulai dingin dan hanya belas kasih Sang Pencipta yang bisa kupinta, tiba-tiba gerakan random tanganku terhenti tatkala ada tangan lain yang menyambut. Kurasakan tarikan hangat nan kuat yang membantu menahan tubuhku hingga berhasil mengeluarkan kepala dari kepungan air. Napasku pun jadi lega seketika.
Aku mengerjap, menjatuhkan butir-butir air yang menghalangi pandangan dari pelupuk mata. Rasanya perih, tetapi aku masih bisa melihat sosok yang jadi penyelamatku. Bukan malaikat, apalagi yang bertugas sebagai pencabut nyawa. Ia pelajar berseragam olahraga sama sepertiku. Wajah cowok itu antara asing-tak asing. Tentu saja karena kami satu sekolah, mungkin pernah berpapasan secara tidak sengaja meski berbeda kelas.
Cowok itu berjongkok di pinggir kolam sambil fokus menarikku ke tepi. Aku bisa merasakan tubuhku meluncur dengan ringan di air. Barangkali seperti ini pula yang dirasakan kuda nil saat 'berenang'—aku pernah melihat videonya dulu di YouTube. Namun, aku harap hidungku tidak kembang-kempis seperti mamalia pemakan segala itu karena sedang khusyuk mengamati wajah cowok di depan. Bahkan aku bisa melihat butir-butir air yang menetes dengan indah dari ujung rambutnya ke kening. Untunglah ia sendiri tampaknya lebih tertarik menatap jari-jariku yang berada di genggaman.
Rasanya aku seperti masuk ke drama Korea, dengan efek slow motion saat berangsur mendekat ke arahnya sambil menatap terpesona. Akan lebih bagus lagi jika ditambah kelopak bunga-bunga kecil berwarna merah jambu berguguran di sekitar kami, juga iringan soundtrack dengan musik lembut yang liriknya menceritakan awal mula sepasang muda-mudi saling jatuh cinta.
Namun, ini Indonesia. Di mana artis legendarisnya adalah Aldi Taher, bukan Lee Min Ho. Jadi, jangan harap bumbu-bumbu dramatis tadi benaran muncul menghiasi momen kami. Justru lagu "Rungkad" lah yang terdengar membahana dari sound system speaker yang diputar penjaga kantin kolam renang.
Cowok itu melepas pegangan saat tanganku berhasil menjangkau tepi kolam. Bukannya bilang terima kasih, otakku yang terlalu banyak kemasukan air justru mengalami not responding saat menatap wajahnya dari jarak dekat. Sampai cowok itu bangkit dan pergi tanpa mengucap apa pun, aku masih belum bisa menemukan kalimat sakti itu dari perbendaharaan kata di kepala.
Mataku tak bisa terlepas dari punggungnya yang semakin menjauh. Debaran asing tapi menyenangkan yang belum pernah kurasa—bahkan ketika menikmati makanan paling enak sekali pun—muncul dan mengentak-entak di dada. Saat pandanganku beralih ke telapak tangan kanan yang sengaja kulepas dari bibir kolam, sensasi hangat dari genggaman cowok itu masih melekat di sana. Malahan dengan ajaibnya menyebar hingga kurasakan kedua pipiku pun ikut menghangat.
Apakah ini yang dinamakan ... efek kelaparan akut pasca nyaris kehilangan nyawa? ()
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro