Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 38

Pagi ini Bintang tengah mengemasi barang-barang dan pakaiannya ke dalam koper besar. Satu koper besar berisi pakaian. Dan satu koper kecil berisi benda-benda kesayangannya yang penting. Tidak lupa juga ia menyisakan pakaian di dalam lemari karena ia akan sering menginap di rumah Papa dan Mamanya.

Keputusan Bintang sudah bulat. Ia akan menuruti apa kemauan Ayah dan Ibunya. Ia akan menyetujui kesepakatan yang telah mereka buat. Itu semua demi Papa dan Mamanya. Demi keluarga angkatnya.

Jika saja Bintang tidak mau pindah ke rumah orangtua kandungnya, maka yang akan menerima risikonya adalah Papa dan Mamanya. Dan jika Bintang tidak menyetujui semua kesepakatan, maka Papa dan Mamanya lah yang akan mendapatkan imbasnya kembali. Bintang sebagai anak jelas tidak ingin suatu hal terjadi kepada orangtuanya. Sekalipun orangtua angkat.

Bintang sudah mengurus kepindahan sekolahnya juga dan itu dilakukan oleh Papa dan Mamanya. Ia akan bersekolah di SMA yang dimiliki oleh pamannya--kakak dari Ayah--yang ia ketahui adalah SMA Cakra Angkasa. Setelah ia tahu semuanya, Bintang nyaris tidak percaya.

Cakra, teman duetnya bernyanyi saat lomba waktu itu adalah sepupunya.

Dan Nizam, laki-laki itu adalah abangnya. Laki-laki yang dulu ia jadikan sebagai ojek dadakan. Kemudian mengamuk padanya karena ia adalah alasan Nizam telat masuk kuliah dan diberi tugas tambahan oleh Dosen.

Bintang meremas rambutnya setelah pulang dari rumah Ayah dan Ibunya. Malam itu adalah malam terakhir ia berada di rumah Papa dan Mamanya. Dan ia gunakan untuk diam termenung di dalam kamar. Tidak tidur. Bahkan hingga pagi menjelang, ia masih terjaga. Belum siap untuk menjalani semuanya setelah ini. Tapi, apakah bisa ia menolak? Tentu tidak.

Sekarang Bintang menutup kopernya. Ia sudah selesai. Kemudian yang gadis itu lakukan adalah mengamati isi kamar. Kamar yang sudah hampir 17 tahun ia tempati. Di sinilah sosok Bintang yang sebenarnya bisa terlihat. Dan sekarang ia harus bisa ikhlas untuk meninggalkan kamar ini.

"Aku harap semuanya akan baik-baik aja setelah ini. Aku berharap ayah dan ibu bisa maafin papa dan mama. Dan aku berharap kalau kebahagiaan akan terus mengalir di antara kami."

...

"Sudah, kan? Jadi, Pak Putra dan Bu Tiwi bisa pulang sekarang. Jangan khawatir, Mentari aman dengan kami. Dia adalah putri kami satu-satunya, kami akan menjaganya. Sesuai kesepakatan, Mentari akan menginap di rumah kalian saat akhir pekan."

Putra dan Tiwi langsung tersenyum. Berusaha terbiasa akan hal-hal yang bisa terjadi sekarang dan nanti. Karena mereka tahu, sekarang sudah berbeda. Sekarang sudah tidak sama lagi. Dan itu karena keegoisan mereka sendiri.

Bintang langsung berhambur memeluk Papa dan Mamanya. Matanya berkaca. Belum siap ditinggalkan dan meninggalkan. Belum siap akan kehidupan barunya. Namun, ia harus bisa menahan semuanya. Ia hanya perlu yakin kalau semua akan baik-baik saja.

"Jaga diri baik-baik. Selalu bahagia dan harus nurut apa kata ayah dan ibu. Kalo akhir pekan gak bisa nginap, gak papa. Pintu rumah akan selalu terbuka buat Bintang kapan pun."

"Pokoknya jangan lupa terus kabari Mama. Pasti papa, mama dan Cyra bakal kangen banget sama kamu."

Bintang melepas pelukan dengan berat hati. Ia tersenyum kepada papa dan mamanya. Berusaha meyakinkan kedua orang yang amat ia sayangi, juga diri sendiri.

Satu yang perlu ia ingat, semuanya akan baik-baik saja.

Putra dan Tiwi kemudian pamit. Memasuki mobil dan melambaikan tangan pada Bintang. Setelahnya mobil itu melaju. Meninggalkan area rumah orangtua kandung Bintang yang lebih besar daripada rumah orangtua angkatnya.

"Ayo, Sayang, masuk."

Hilda merangkul bahu Bintang. "Nanti kopernya dibawa sama Mang Wawan aja. Sekarang kamu istirahat. Oh ya, atau mau makan?"

Bintang menggeleng kecil dengan senyuman di sana. "Enggak usah, Bu. Bintang mau beres-beres kamar aja. Nggak papa kan?"

Mereka melangkah masuk ke rumah. Ada Denis--ayah Bintang--juga. Tapi pria paruh baya itu hanya diam. Sesekali mengusap surai panjang Bintang yang digerai. Hanya ada jepitan kecil di rambutnya.

"Nanti biar Bi Ririn aja yang beresin," ucap Denis.

"Enggak usah, Yah, Bin--Mentari bisa sendiri kok. Mentari lebih suka beresin semua barangnya sendiri," kata Bintang. Ia sebenarnya belum terbiasa dengan nama Mentari yang memang nama kecilnya. Jadi ia masih sedikit salah menyebut namanya sendiri.

"Ya udah, nanti kalo perlu apa-apa panggil aja Ibu, ya? Kamar kamu di samping kamarnya abang. Abang masih tidur kok, gak ke kampus juga. Nanti kamu bisa main sama abang."

Bintang membisu.

Apa? Bermain dengan Nizam? Yang super duper galak dan ganas?

...

"Halo?"

"Halo? Lo ke mana aja? Kenapa hape lo gak aktif kemaren? Terus, kenapa Alani bilang lo pindah sekolah mulai hari ini? Maksudnya apa?"

"Lang, gue--"

"Apa? Lo apa? Lo gak tau gimana khawatirnya gue waktu lo gak ada kabar? Gimana takutnya gue kalo lo kenapa-napa? Lo tau?"

"Dengerin gue dulu."

Langit menendang kerikil keci sambil mendesah kesal. Ia mengembuskan napasnya dengan pelan. Tidak berkata apa pun lagi. Biarkan Bintang menjelaskan alasan kenapa gadis itu menghilang dua hari.

"Gue udah ketemu ayah dan ibu gue. Keluarga kandung gue. Sekarang gue pindah ke rumah mereka. Dan pindah sekolah. Itu semua gue lakuin karena sebuah kesepakatan, Lang," jelas Bintang.

Langit menekuk kedua alisnya dalam. "Kesepakatan apa?" Ia lega mendengar kalau gadis itu sudah bisa bertemu dengan kedua orangtua kandungnya.

"Kesepakatan kalo misalkan gue gak nurutin kemauan mereka, papa dan mama yang akan kena imbasnya, dan gue gak mau. Nanti kalo gue ketemu sama lo, gue bakal ceritain semuanya."

Langit menyandarkan tubuhnya di tembok. "Ya terus, kenapa gak kasih gue kabar, Bintang?"

"Sengaja."

"Sengaja lo bilang?" Langit nyaris pingsan.

"Iya, sengaja. Supaya gue fokus dulu sama keluarga gue, setelahnya baru gue bisa kabarin lo."

"Oh."

Bintang menjauhkan ponselnya saat tidak mendengar suara lagi. Tapi telepon itu masih tersambung. "Lang?" panggilnya pada Langit. Satu detik. Dua. Tiga. Empat. Hingga ke detik lima, belum juga dijawab. "Maaf kalo udah buat lo marah," kata Bintang sebelum memutuskan sambungan telepon itu.

...

"Mentari?"

"Ya?"

"Gu--abang boleh masuk?"

Bintang menatap pintu kamarnya. Terdiam beberapa saat. Lalu menjawab, "Iya." Dan terdengar pintu terbuka. Muncul sosok jangkung tegap itu. Astaga, Bintang masih saja deg-degan kalau bertatapan dengan abangnya sendiri.

Bukan karena terpana atau jatuh cinta, tapi karena masih suka teringat akan kejadian tempo hari. Kalau abangnya memiliki dendam terselubung bagaimana?

Nizam memasuki kamar Bintang sambil membawa satu kantung plastik putih bertuliskan nama mini market di depannya. Ia melangkah mendekati adiknya yang duduk di atas tempat tidur sambil memangku gitar. Satu hal yang ia ketahui sekarang, Bintang bisa bermain gitar.

"Nih."

Plastik itu ditaruh di depan Bintang. Gadis itu mendongak. "Emm ... Apa, Bang?" tanyanya.

Bang? Oke, Bintang memiliki abang sekarang dan itu adalah abang kandung.

"Abang ...." Nizam menggaruk kepalanya tidak gatal. Bingung dan canggung. "Gak tau kamu suka apa. Jadi abang beliin kamu cokelat sama es krim. Siapa tau kamu ... Suka?"

Bintang menaruh gitarnya di atas kasur. Lalu membuka kantung plastik. Melihat isinya. Dan ternyata benar ada es krim dan juga cokelat. Emm ... Ini pasti akan enak.

"Buat aku?"

Nizam mengangguk. "Iya. Suka?"

Bintang tidak menjawab, tapi melalui tindakannya Nizam bisa tahu kalau adiknya memang menyukai apa yang telah ia berikan.

"Makasih, Bang."

Nizam tersenyum lega. Meskipun Bintang cukup pendiam dan belum berani mengajaknya berbicara lebih dulu, setidaknya adiknya bisa menerima keadannya. Ia mengacak rambut Bintang dengan pelan.

"Sama-sama. Kalo butuh sesuatu, jangan sungkan bilang sama abang. Apa pun yang kamu minta pasti akan abang kasih."

Bintang membisu. Gerakannya yang menyedok es krim ke dalam mulutnya terhenti seketika. Ia menatap Nizam tidak percaya. Apalagi melihat senyum abangnya yang amat sangat memancarkan ketulusan dan bahagia, ia semakin merasakan sesak. Membayangkan betapa sakitnya abangnya itu menunggu kehadirannya selama belasan tahun lamanya.

"Abang sayang sama kamu. Gak papa kalo hubungan kita belum bisa deket banget, asalkan kamu di sini abang seneng."

"Boleh abang peluk kamu?"

Itu adalah permintaan pertama Nizam setelah mereka saling tahu dan mengenal satu sama lain.

Melihat Bintang yang tidak kunjung menjawab, Nizam kembali bersuara, "Kalo gak mau ya gak--"

"Nanti ya, kalo es krimnya udah abis."

Dan senyuman lebar kian mengembang di bibir Nizam.

Ternyata Bintang salah menilai abangnya. Nizam tidak super duper galak dan ganas. Mungkin itu hanya luarnya saja. Tapi dalam hatinya, abangnya itu hello kitty.

....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro