part 34
Hari Sabtu.
Sejak turun dari mobil Papanya, semua mata tertuju padanya. Bintang. Gadis itu merasa tidak nyaman diberi tatapan seperti itu pada orang-orang. Alasan kenapa ia menjadi pusat perhatian adalah karena penampilannya. Ya, sudah pasti karena hal itu.
Pagi ini, hari yang ditunggu Bintang telah tiba. Perlombaan itu akan dilaksanakan pagi ini di jam 8 nanti. Jantung Bintang tidak bisa berdetak seperti biasanya sejak tadi malam. Bahkan ia sempat tidak fokus saat sarapan tadi.
Bintang menyusuri koridor sekolah. Berusaha mengabaikan tatapan orang-orang yang masih terus tertuju padanya. Ia berjalan menuju ruang BK.
Kemarin, ia diberi tahu oleh Pak Iwan kalau ia harus ke ruangan itu untuk menunggu Kak Mella dan Pak Iwan sendiri yang akan mendampinginya saat lomba nanti.
Perlombaan ini cukup tertutup untuk umum. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memasuki aula yang menjadi tempat lomba tersebut dilaksanakan. Ruangan yang digunakan untuk lomba adalah indoor. Setiap peserta yang ikut lomba mewakili sekolahnya, mendapatkan satu tiket masuk untuk orang luar. Tiket itu bisa diberikan untuk orang tua atau siapa pun. Dengan syarat, jika ingin masuk harus membawa tiket itu.
Sesampainya di depan pintu ruang BK, Bintang mengetuk pintu itu. Selang beberapa menit, pintu itu belum juga dibuka. Akhirnya Bintang memutuskan untuk duduk di kursi panjang yang ada di depan ruangan itu.
Bintang mengambil ponsel dan juga tiket yang ada di dalam tas kecil yang ia pakai. Memandang lamat-lamat tiket itu. Sedang berpikir sebaiknya tiket itu diberikan untuk Langit atau tidak.
Saat sedang asyik dengan pikirannya, tiba-tiba saja suara sepatu beradu dengan lantai terdengar begitu jelas di telinganya. Datanglah Langit dengan napas yang memburu. Membuat Bintang keheranan.
"Hah-hah-hah ... Aduh, ya ampun. Ngos-ngosan nih gue." Langit membungkukkan badannya. Kedua tangannya bertumpu di kedua lututnya. Kepalanya tertunduk membuat helaian rambutnya jatuh di keningnya.
Bintang masih diam. Masih memperhatikan Langit. Senyum kecilnya terlihat dengan jelas. Hingga Langit menegakkan badannya, senyuman kecil itu hilang.
"Gilee ... Cantik banget calon pacar gue! Ya amplop, ini bidadari dari mana sih?!" Langit memekik girang. Kemudian duduk di samping Bintang sambil tersenyum lebar.
Sumpah, demi apa pun, Bintang ingin menabok muka Langit saat memberikan senyum tersebut. Apalagi ditambah dengan pujian yang mengandung unsur gombal seperti tadi. Bintang merasa pipinya sedikit memanas. Catat, sedikit.
"Gue bukan calon pacar lo!" ketus Bintang.
"Yeuh! Itu menurut lo. Kalo menurut gue sih, lo itu calon pacar gue. Bentar lagi juga kita official kok, Bin. Tenang aja. Siapin aja diri lo, biar nggak klepek-klepek pas gue tembak nanti. Ya, gak?" Langit menaik turunkan alisnya menggoda Bintang. Gadis itu langsung memalingkan wajahnya.
"Apaan sih! Gak jelas!"
Langit tertawa geli. Tatapan matanya tertuju pada tiket yang ada di tangan kiri Bintang. Sedangkan tangan kanan gadis itu memegang ponsel. Ia mengambil tiket itu. Membuat sang pemilik menoleh kaget.
"Tiket buat siapa nih?"
Dengan ragu Bintang menjawab, "Buat ... elo."
Langit menoleh. "Hah? Masa? Bohong ya lo?" todongnya.
"Gak juga."
"Tuh, kan!" Langit membaca tulisan yang ada di tiket itu.
"Kok bisa dikasih tiket ginian, Bin?"
"Itu tiket buat orang luar. Selain pembimbing dan pelatih, orang luar boleh masuk ke aula lomba kalo bawa tiket itu. Tiap peserta dikasih satu tiket buat dikasih ke orang lain."
Ngomong lembut kalo ngejelasin sesuatu doang, batin Langit.
"Oohh. Terus ini, lo kasih ke siapa?"
"Ke elo."
"Yang bener?!" Langit sedikit terkejut. Ia berpikir kalau Bintang tadi bercanda. Dan dari mimik wajahnya sih, Bintang serius dengan ucapannya. "Bener."
"Nggak buat Mama atau Papa lo gitu? Atau Wira?"
"Enggak. Mereka sibuk."
Langit manggut-manggut. "Kalo ini serius buat gue, kayaknya gue--"
"Nggak bisa? Ya udah, nggak papa."
Bahkan belum selesai berbicara, Bintang sudah memotongnya. Gadis itu mengambil tiketnya kembali. Dan langsung ditarik lagi oleh Langit.
"Enggak bisa nolak dong!"
Senyum Bintang tertarik kecil.
Dalam hati Langit, ia mendesah karena rencananya akan gagal. Gagal ini mah gagal!
°°°
Born on the wrong side of the ocean
With all the tides against you
You never thought you'd be much good for anyone
But that's so far from the truth
Lirik demi lirik, Bintang nyanyikan dengan syahdu. Suaranya bagus, mampu membuat seisi ruangan bisa terfokus hanya padanya saja. Semua tatapan kini tertuju padanya yang berada di atas panggung.
I know there's pain in your heart
And you're covered in scars
Wish you could see what I do
Bintang memejamkan matanya sejenak. Menarik napasnya dalam-dalam. Membuka mata dan tersenyum lebar.
Cause baby, everything you are
Is everything I need
You're everything to me
Baby, every single part
Is who you're meant to be
'Cause you were meant for me
And you're everything I need
Dan saat ia menyanyikan lirik And you're everything i need, matanya menatap Langit sekilas yang sedang menatapnya lekat. Dan Bintang, menyanyi dengan rasa yang membuncah dalam dadanya.
Rasa yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Bintang terus bernyanyi. Menghayati di setiap liriknya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk penampilannya ini. Dan semoga saja usahanya tidak akan sia-sia.
Cause baby, everything you are
Is everything I need
You're everything to me
Baby, every single part
Is who you're meant to be
'Cause you were meant for me
And you're everything I need
°°°
"Gagal, anjir! Gue kan niatnya mau kasih yang ala-ala romantis gitu. Tapi, dia malah mau gue dateng ke lombanya. Ya mana ada waktu buat nyiapin semuanya."
"Gaya lo ala-ala romantis! Lo-nya aja kek tai garing, gak pantes tau gak? Udah deh, lo nembak pake cara lo sendiri aja. Jadi Langitai yang kayak setiap harinya aja."
Langit melotot tidak terima mendengar perkataan temannya yang ada di seberang sana. Apa yang dikatakan Malik itu sungguh sangat menjengkelkan. Bisa tidak sih temannya itu kalau berkata jangan seenak jidatnya?
Saat ini Langit sudah berada di area parkir. Menunggu Bintang yang masih ada di dalam ruangan aula karena ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh Pak Iwan dan Kak Mella. Dan juga pasti gadis itu sedang diajak berfoto oleh banyak orang karena memenangkan lomba. Bintang mendapatkan juara kedua lomba nyanyi solo, dan ketiga nyanyi duet dengan Cakra. Meskipun tidak mendapatkan juara satu setidaknya ia sudah berusaha.
Sebenarnya, saat Bintang bernyanyi bersama si Cakra-Cakra itu, Langit tidak ikhlas lahir batin. Dalam hati ia menggerutu sebal. Bahkan tangannya gatal ingin mencakar muka Cakra. Tapi, Langit tidak mau hal itu terjadi karena ia takut disangka orang gila.
"Sumpah, nggak guna lo nelpon dan nanya-nanya sama gue kalo ujungnya ngehina kayak gini!"
Terdengar suara tawa Malik di seberang sana. "Lah, gue ngomong fakta. Lagian ya, mau seromantis apa pun lo nembak dia, kalo ditolak mah ditolak aja."
"Soak lo beneran! Temennya mau memperjuangkan cinta tuh didukung, disemangatin, bukannya malah dido'ain yang jelek-jelek kayak gitu!"
"Hahaha ... Aduh, kocak amat! Iya dah iya. Semangat ye! Inget, nembak hati dan perasaannya, bukan nembak kepalanya. Entar yang ada calon pacar lo modyar!"
Tut. Panggilan langsung terputus. Malik langsung memutuskannya sepihak sebelum Langit memaki-maki dirinya sambil mengomel panjang.
Langit menatap layar ponselnya dan mengumpat. Bahkan seisi kebon binatang ia sebut. Padahal ia sering lupa apa saja nama-nama hewan, tapi saat emosi seperti ini, seakan nama-nama hewan itu langsung berkumpul di kepalanya.
"Balegug sia teh, balegug!"
Langit memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Terdengar langkah kaki mendekat. Ia menatap ke sekitar. Dan mendapati Bintang yang yang berjalan mendekatinya sambil membawa beberapa bingkisan dan buket bunga.
Oke, Langit mulai panas melihat itu.
"Ekhem! Yang jadi tenar dadakan!"
Bintang kini berdiri di samping Langit. Gadis itu tersenyum tipis. Menurut Langit, dari pagi sampai sore, kadar kecantikan gadis itu tidak berkurang sedikitpun.
Iya, Langit sudah mulai bucin. Ia akui itu. Jadi jangan menyoraki dirinya karena menjadi budak cinta.
"Apaan sih. Enggak."
Langit terkekeh kecil. Melirik bingkisan dan buket bunga yang masih ada dalam genggaman tangan Bintang. "Dari cogan-cogan sekolah mana aja?" tanyanya dengan nada tidak suka.
"Enggak tau. Gak inget," sahut Bintang cuek
Jawaban yang diberikan Bintang tadi, membuat Langit cemburu. Iya, Langit cemburu. Cemburu karena Bintang mendapatkan hadiah-hadiah itu dan dari seorang cowok. Mendadak ia jadi gerah hati. Dan harus disiram dengan air zam-zam sepertinya.
"Modusannya para cowok doang itu mah! Harusnya gak usah diterima."
"Gue udah nolak, tapi mereka maksa."
"Bisa kan, lo langsung pergi gitu aja? Nggak usah ladenin mereka."
"Maksudnya?"
Langit berdecak sebal. Demi apa pun, saat ini ia cemburu. Kenapa Bintang tidak peka juga sih?
"Kalo lo terima hadiah dari mereka, itu sama aja lo kasih peluang sama mereka yang suka sama lo. Gimana sih!"
"Biarinlah. Kan mereka yang suka gue. Bukan gue yang suka mereka."
Hati Langit sedikit lumer mendengar itu. "Lo sukanya sama gue kan?" godanya.
"Enggak juga."
HOY, ITU BINTANG BENERAN TIDAK YA?
Oke, Langit agak kaget mendengarnya.
Kemudian Langit mengajak Bintang pulang tanpa melanjutkan obrolan yang tadi. Hingga saat di depan rumah gadis itu, Langit hanya mengingatkan sesuatu pada Bintang.
"Nanti malem jangan ke mana-mana. Jangan mau diajak ke mana pun dan sama siapa pun. Titik."
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro