Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 33

Dua minggu berlalu dengan begitu cepat bagi Bintang. Selama dua minggu belakangan ini, gadis itu fokus pada latihan untuk lombanya nanti. Sebisa mungkin ia berlatih dengan baik dan benar. Bahkan saat memikirkan hari itu tiba, jantungnya terasa deg-degan dengan cepat. Ia masih gugup membayangkan hari itu tiba nanti.

Selama dua minggu itu juga, Langit selalu menemaninya. Ke mana pun. Ke mana pun Bintang pergi, Langit akan mengantar dan menjemput gadis itu. Saat latihanpun, Langit akan menunggu Bintang. Sesekali pemuda itu mengintip dan mendengarkan dengan baik suara Bintang saat bernyanyi.

Langit tidak pernah bertanya menganai perasaan Bintang padanya sudah sejauh apa. Tidak. Sama sekali. Barang secuil pun tidak. Menurut Langit, yang terpenting untuk Bintang sekarang adalah fokus pada perlombaannya. Langit hanya ingin memberi jeda untuk bertanya selama dua minggu belakangan ini. Tapi, setelah Bintang selesai dengan perlombaannya, Langit pastikan kalau ia akan bertanya pada gadis itu, apakah Bintang sudah memiliki rasa yang sama untuknya atau tidak.

Perhatian dan tindakan kecil yang Langit berikan untuk Bintang, tidak pernah lepas dari pengamatan gadis itu. Apa pun yang Langit lakukan untuk Bintang, sekarang sudah sangat bisa membuat sesuatu membuncah dalam hati Bintang. Rasa yang masih ia ragukan dulu, sekarang sudah pasti.

Gengsi besar yang dulu ada, kini ia tepis jauh. Membiarkan rasa itu membuncah dan mendebarkan dalam dadanya. Membuat pipinya terasa memanas dan jantungnya berdetak cepat saat Langit mengelus dan mengacak rambutnya. Bahkan Bintang merasa hatinya menghangat hanya karena tangannya digenggam oleh Langit.

Bintang mengaku, kalau ia jatuh dalam pesona Langit.

Bintang menyukai Langit.

Dan tidak ingin Langit pergi meninggalkannya.

Bintang saat ini hanya sedang menunggu. Menunggu kapan Langit akan menanyakan perihal perasaannya. Dan saat hari itu tiba, Bintang akan mengungkapkan apa yang ia rasa.

Saat ini, Bintang sedang duduk di pintu kaca balkon kamarnya dengan gitar yang ada dipangkuannya. Sejak lima belas menit yang lalu, ia duduk di sana sambil menikmati semilir angin menerpa wajahnya. Hari kian semakin sore, dan Bintang makin semangat memetik gitarnya sambil bernyanyi.

Senyumanmu yang indah bagaikan candu
Ingin trus ku lihat walau!

Ku berandai kau disini mengobati rindu ruai
Dalam sunyi ku sendiri meratapi
Perasaan yang tak jua di dengar

Bintang bernyanyi. Bibirnya tertarik ke atas. Mencetak seulas senyuman. Tidak lebar. Namun jika saat ini ada Langit, sudah dipastikan itu adalah senyuman paling lebar yang pernah Bintang perlihatkan untuknya.

Tak kan apa bila rasa ini tumbuh sendirinya
Tak berdaya diri bila di antara
Walau itu hanya bayang - bayangmu

Senyumanmu yang indah bagaikan candu
Ingin trus ku lihat walau dari jauh
Skarang aku pun sadari semua hanya mimpiku
Yang berkhayalah kan bisa bersamamu

Gedebug

Bintang langsung melotot hebat saat tiba-tiba saja Langit ada di hadapannya. Pemuda itu muncul dari bawah balkon kamarnya. Bintang sampai terheran-heran. Bagaimana Langit bisa naik ke balkon kamarnya? Kenapa tidak lewat pintu saja?

Langit membenarkan posisinya. Pemuda itu berdiri dan merapihkan bajunya sambil tersenyum lebar pada Bintang. Napasnya masih tersenggal-senggal karena menaiki tangga untuk sampai ke balkon kamar Bintang.

Tadi, Langit niatnya ingin lewat pintu. Saat di depan teras ada Mamanya Bintang yang sedang menyiram tanaman, ia meminta izin untuk memakai tangga yang ada di samping rumah hanya untuk naik ke balkon kamar Bintang.

Mama Bintang sempat melarang Langit. Tapi karena pemuda itu memohon dan meyakinkan tidak akan terjadi apa-apa, akhirnya diperbolehkan.

Dan di sini lah Langit berada, sudah sampai di balkon kamar Bintang.

"Lo gila ya?"

Langit tertawa dan duduk di sebelah Bintang. "Nggak ya! Buktinya gue bisa nyampe balkon kamar lo. Naik tangga pula. Keren kan gue?" Menaik-turunkan alisnya.

"Biasa aja. Kalo jatoh juga entar gue yang repot."

Langit merengut. "Elah, gitu amat."

"Bodo."

"Sini, pinjem gitarnya. Gue punya sebuah lagu buat lo." Langit berkata. Menarik gitar yang ada dipangkuan Bintang tadi. Dan kini gitar itu sudah berada dipangkuannya.

"Lagu apa?"

Langit memasang wajah tengilnya. "Entar juga tau."

Bintang hanya bisa menghembuskan napas dengan pasrah saja. Membiarkan Langit bernyanyi semaunya. Sebenarnya, ia juga ingin tahu lagu apa yang akan Langit nyanyikan itu.

Langit sudah memetik senar gitar. Baru beberapa detik, tapi pemuda itu malah berhenti. Lalu tersenyum lebar pada Bintang yang menatapnya keheranan.

"Tapi bohong. Yaaa!! Hahaha ... "

Bintang merengut. "Gak jelas lo!" cetusnya.

"Bingung gue mau nyanyi apaan. Udahlah, nggak jadi. Besok-besok aja gue nyanyi buat lo."

"Oh iya, lombanya hari sabtu kan?"

Bintang mengangguk. "Kenapa?"

"Kira-kira, lombanya selesai jam berapa?"

"Belum tau."

"Ya, kan gue bilang kira-kira. Lo mengira dong, Bin," kata Langit gemas dengan jawaban yang diberikan gadis itu.

"Emang kenapa?"

"Kenapa apanya, sih? Ngomong tuh yang panjang dikit ngapa? Judesnya udah berkurang, ngomongnya masih aja pelit."

Bintang menghela napasnya. Berhadapan dengan Langit adalah suatu hal yang menguras tenaga. Tapi, di sisi lain juga adalah suatu yang hal ia sukai.

"Kenapa nanya-nanya?"

"Ya, mau nanya aja." Langit menyenderkan tubuhnya di tembok yang ada belakangnya. "Kalo lomba selesainya sore, malemnya jalan sama gue, mau?"

Lagi dan lagi, jantung Bintang berdegup cepat saat diberi tatapan serius dari Langit. Pemuda itu jarang memberinya tatapan serius seperti ini. Dan saat tatapan serius itu ada, Bintang tidak kuat untuk menatapnya. Gadis itu lebih memilih menatap lantai.

"Mau ke mana?" tanya Bintang penasaran.

"Ada, deh. Entar juga tau."

Bintang menatap sebal pada Langit. "Dari tadi lo ngomong entar juga tau-entar juga tau mulu! Bodo amatlah! Udah sana pulang!"

Langit tertawa. Apalagi saat melihat Bintang beranjak sambil membawa gitarnya pergi, ia hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu, Bintang kesal, tapi gadis itu tidak marah. Sifatnya memang seperti itu. Dan Langit sudah mengerti bagaimana sifat Bintang.

°°°

"Jadi, lo mau nembak tuh cewek?"

Langit mengangguk. Jari tangannya sibuk menekan-nekan stick PS yang berada digenggaman kedua tangannya. Saat ini ia dan ketiga temannya sedang berada di rumah Agam, lagi. Rumah Agam sangat cocok untuk mereka berkumpul.

Di samping Langit, ada Malik yang tengah bermain PS dengannya. Di sofa ada Refan dan Agam yang tengah memakan camilan. Di rumah Agam ada mereka berempat dan juga adik Agam yang berada di kamarnya.

Tadi, saat Langit pulang dari rumah Bintang, ia tidak langsung pulang ke rumahnya. Melainkan ke rumah Agam. Malik mengiriminya pesan kalau akan bermain di rumah Agam. Dan Langit langsung tancap gas ke rumah temannya itu.

"Pedekate dari kapan, jadian kapan," cibir Malik tanpa menoleh pada Langit.

"Yang penting gue bisa ada buat dia kapan pun. Nggak penting sejauh apa pedekate-nya. Selama apa jadiannya. Eh tapi, kalo udah pacaran kudu sampe nikah ah!"

Agam tertawa dan melempar bantal sofa ke punggung Langit. Temannya itu langsung berteriak, "DIEM BEGO!"

"Gaya lo! Nggak usah bawa-bawa nikah! Masih bau kencur!" cetus Agam.

"Iyalah! Gue mah bau kencur, muka aja baby face," balas Langit dengan bangga.

"Baby face dari mana, anjir?"

Langit hanya tertawa tanpa menjawab pertanyaan Malik. Mereka bermain sedang panas-panasnya. Jarinya pun dengan lincah menekan ke sana-kemari di atas tombol stick PS.

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro