Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 32

"Pagi, Bintang!" sapa Langit bersemangat.

"Hm, pagi."

Langit tersenyum lebar saat Bintang membalas sapaannya. Pemuda itu berjalan di samping Bintang. Menyusuri koridor demi koridor sekolah yang mulai ramai.

Hari ini, mereka berdua tidak berangkat bersama. Bintang sudah jarang berangkat bersama dengan Langit. Gadis itu berangkat bersama Papanya. Saat pulang, terkadang ia bersama Langit, atau bersama ojol.

"Ini hari apa, Bin?"

Bintang memilin bibirnya. Ia menoleh ke samping dan sedikit mendongak karena tingginya hanya sebatas bahu Langit. "Selasa," sahutnya pendek.

Langit tersenyum lebar hingga giginya terlihat jelas. "Oh iya, selasa. Selasa gue ingin deket sama lo terus-terusan." Ia kemudian tertawa geli setelah mengatakan itu.

Bintang melihat Langit dengan datar. "Serasa!" koreksinya dengan nada sewot.

Langit tidak tahan untuk tidak mengacak rambut gadis itu yang tergerai bebas hingga ke punggung. Semakin hari, semakin menjadi sisi gemas Bintang. Itu baginya. Langit merasa kalau gadis itu kian semakin menggemaskan dengan sikap diam Bintang. Tetapi jika berbicara, selalu saja judes. Dan akan cerewet jika ia mengerjai gadi itu.

Hanya karena sentuhan di kepalanya, Bintang langsung meremas tali tas dengan kedua tangannya. Menahan gejolak aneh yang kini ia rasa mulai tumbuh di perut dan di dadanya. Ya ampun, ini ia kena penyakit apa?

Dengan terus berjalan, Bintang hanya diam. Gadis itu mempercepat langkahnya. Meninggalkan Langit yang sedari tadi sudah mengoceh ini-itu. Bintang bahkan tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Langit karena ia sibuk memikirkan gejolak yang ia rasa.

Gejolak apa sih ini? Ganggu ketenangan jantung aja! gerutunya dalam hati.

•••

"Bin, ayo ke kantin! Nggak suntuk apa di dalem kelas mulu? Ayo, manfaatin waktu di sekolah itu dengan baik. Salah satunya, ke kantin bareng-bareng, hehehe ..."

Mendengar ajakkan Caca, Bintang tersenyum tipis dan mengangguk. Menyetujui ajakkan teman kelasnya itu. Tangan Bintang kemudian ditarik oleh Caca untuk keluar kelas menuju kantin. Alani dan Fatin juga ikut ke sana.

Mereka berempat berjalan menuju kantin yang ada di lantai dua. Yang berada di sana, kebanyakan anak tingkat XI karena itu wilayah mereka. Mungkin ada anak tingkat X dan XII yang di sana, tapi hanya beberapa.

Caca memeluk lengan Bintang. Tidak mau jauh-jauh dari gadis kalem itu. Caca terus mengoceh, dan Bintang hanya terkekeh atau membalas seadanya. Alani dan Fatin yang berjalan di belakang Bintang dan Caca, terkadang ikut menyeletuk saat mendengar ocehan Caca yang tidak jelas.

"Berisik, Ca! Kuping gue panas denger lo ngoceh mulu!" kata Alani dengan nada tidak suka.

Caca langsung menoleh ke belakang sebentar. "Idih! Yodah sih gak usah didengerin. Lagian gue ngoceh sama Bintang, bukan sama lo. Wlek!" Menjulurkan lidahnya mengejek Alani.

Fatin tertawa. Bintang hanya terkekeh. Ia baru tahu kalau Caca dan Alani sepertinya mulai bermusuhan dan akan selalu beradu mulut. Saling protes dan sindir.

"Heh! Gimana nggak denger kalo suara lo aja kek toa mesjid? Nyadar ya, Ca, lo doang yang ngoceh. Bintang dari tadi diem aja tuh. Bahkan gue yakin, Bintang pasti sebenernya udah mabok darat karena ocehan lo." Ucapan Alani memang sarkas tiada tanding.

Caca hanya menghentakkan kakinya kesal mendengar itu. Lain kali, ia tidak akan meladeni Alani. Pasti nanti temannya itu akan berkata dengan sarkas lagi.

Mareka kini sudah tiba di kantin. Masih ada beberapa meja yang kosong. Mereka langsung mengisi tempat itu. Caca dengan senang hati riang dan gembira tiada duanya menawarkan diri untuk memesan makanan. Dan Alani seketika menjadi halus dan lembut.

"Caca-ku, Sayang. Gue pesen bakso ya, sama es jeruk."

Caca mencebikkan bibirnya ke bawah. "Nggak usah sok manis ya!"

Alani mengibaskan tangannya tidak peduli. Gadis itu menghempaskan pantatnya di kursi, lalu bermain ponsel. Bintang duduk di sampingnya. Di depan Alani ada Fatin, dan di depan Bintang itu tempat duduk Caca.

"Pesenannya samain aja ya kayak punya Alani?" tanya Caca. Dan mendapati anggukkan oleh Bintang dan Fatin. Gadis heboh itu langsung meluncur membeli bakso dan es jeruk.

Tersisa mereka bertiga. Bintang mengobrol dengan Fatin. Gadis itu sudah mulai bisa berinteraksi dengan banyak orang lagi. Sedangkan Alani, masih sibuk dengan ponselnya. Bahkan sesekali tersenyum. Entah karena apa.

"Jadi, lo bakal ngewakilin sekolah kita dong? Ih, keren! Gue juga mau kali!" kata Fatin. Gadis itu bertanya tentang lomba nyanyi yang akan Bintang ikuti--mewakili sekolah tentu saja.

"Iya, kayak gitu."

"Terus, lombanya kapan? Udah deket?"

"Dua minggu lagi."

Fatin terkejut mendengar jawaban dari Bintang. "Serius? Udah deket dong. Semangat ya, Bin!" Gadis itu mengepalkan tangannya memberi semangat sambil tersenyum lebar.

Bintang tersenyum. "Makasih, Fatin."

"Woi, Alani! Diem-diem aja lo! Kesambet?" Alani mendongak saat Fatin menoel jarinya yang asyik memainkan ponsel. "Kesambet cinta mah iya."

Fatin tertawa. Bintang hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Ia berpendapat kalau teman sebangkunya itu sedang jatuh cinta. Dan sebentar lagi akan menjelma menjadi sosok budak cinta. Ya, itu pasti.

"Ihir! Lagi pedekate sama siapa tuh?"

Alani mematikan ponsel. Memasukkannya ke saku rok. "Kepo!" katanya.

Fatin sudah mendumel di tempatnya. Alani mengabaikan dumelan Fatin. Lebih memilih diam dan menatap ke sekitarnya yang ramai. Bintang pun juga sama seperti Alani.

Tak lama kemudian, bayangan tubuh seseorang terlihat di dekat Bintang duduk. Cewek itu mendongak saat bayangan itu tepat di sampingnya. Bersama dengan aroma tubuh yang sudah biasa masuk ke indera penciumannya.

"Ganggu gak?"

Bintang melirik Alani dan Fatin yang menatapnya dengan tatapan menggoda. Pasalnya, saat ini yang ada di sampingnya adalah Langit. Pemuda itu tiba-tiba datang tanpa permisi atau apalah itu semacamnya.

Langit membawa totebags bergambar kartun Tinkerbell yang akan ia berikan untuk Bintang. Itu titipan dari Ibunya. Pagi tadi Ibunya membuat salad buah. Cukup banyak dan tidak mungkin habis dimakan orang rumah saja. Maka dari itu, Ibunya menitipkan itu pada Langit untuk Bintang.

Saat pagi tadi, Langit lupa memberikan titipan itu pada Bintang. Langit lupa karena kotak bekal yang berisi salad buah itu ia taruh di tas. Hingga saat ia mengambil buku pelajaran di tas, ia baru sadar kalau dirinya lupa memberikan makanan itu.

Dan soal totebags yang bergambar kartun peri itu, ia sebenarnya malu. Apalagi saat sudah memasuki kantin tadi. Banyak cewek-cewek seangkatannya itu menatap dirinya sambil tersenyum geli. Huh! Langit harus menahan malunya hanya demi sebuah makanan yang bernama salad dan demi seorang Bintang yang sudah bisa mengguling-gulingkan perasaannya.

Oke, lebay.

Totebags itu, Langit membelinya dari teman ceweknya di kelas. Hira. Ya, Langit membelinya dari gadis itu. Tadinya, Hira tidak mau memberikan totebags itu pada Langit--meskipun dibayar--tetapi karena Langit memasang wajah melas, akhirnya ia mau. Ya tidak mungkin juga kan, kalau Langit membawa kotak itu tanpa dimasukkan ke dalam totebags? Rasanya kurang sopan saja.

Bintang menggeleng pelan. "Kenapa?"

Langit menaruh apa yang ia bawa itu di atas meja. Lalu tersenyum lebar. Senyum tengilnya seperti biasa. "Ibu nitip itu buat lo. Tadi pagi gue lupa ngasihnya. Dimakan ya. Gue tinggal dulu. Bye," ucapnya sambil mengacak rambut Bintang. Setelahnya, pemudia itu berbalik badan menjauhi Bintang.

Bintang masih terpaku di tempatnya. Gadis itu memegang dadanya dengan gerakan lambat. Seolah-olah takut kalau akan terjadi sesuatu dengan jantungnya saat ia memegang dadanya yang sebelah kiri.

Lagi dan lagi, jantungnya berpacu dengan cepat. Hanya karena sentuhan itu.

"Bin, lo ngapain megangin dada kek gitu?" tanya Fatin keheranan melihat Bintang yang hanya diam sambil memegang dadanya.

Alani tertawa. "Ah elah, Tin, masa gak ngerti. Itu si Bintang deg-degan gara-gara Langit tadi. Iya kan, Bin?" godanya pada Bintang.

Bintang meringis pelan dan menurunkan tangannya. "Enggak tau," elak Bintang.

Alani mencolek lengan gadis itu. "Udah, ngaku aja! Lagian ya, mana mungkin lo nggak deg-degan sama perlakuan Langit tadi? Gue aja kalo diacak rambutnya dikit langsung ngefly. Udah kayak orang mabok. Tapi mabok cinta."

"Bucin!" Caca yang baru saja datang langsung menyerobot begitu saja. Gadis itu bersama Mamang bakso yang membawakan bakso pesanan mereka. Setelah Mamang itu pergi, Caca berterima kasih dan duduk di samping Fatin.

Alani mengambil tisu, lalu membersihkan sendok dan garpu. Ia mengacungkan garpu ke arah Caca. "Diem! Gue congkel mata lo nanti! Ini si Bintang lagi baper ama gebetannya!"

Caca memasukkan sambal ke mangkuk baksonya. Ia kemudian membalas dengan santai, "Yodah, sih! Lagian Bintang baper sama gebetannya, bukan sama gebetan lo. Ribet lo, Alani!"

Jika Fatin tidak merelai, perdebatan itu pasti masih berlanjut.

Bintang terdiam sambil menatap totebags yang ada di depannya dengan deguban yang tidak sekencang tadi. Diam-diam, ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

Makasih, Lang. Makasih udah bikin gue baper.

Tapi, sesaat kemudian Bintang membatin lain, ini kok bisa gambarnya Tinkerbell?

°°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro