part 31
Gue minta maaf. Sayang lo :)
"WADUH, BINTANG! INI TULISAN SIAPA NIH! IHIRRR!"
Suara Caca menggema di dalam kelas yang tidak terlalu ramai itu. Setelah melaksanakan upacara, semua guru mengadakan rapat. Saat ini semua kelas masih free karena guru belum ada yang memasuki kelas sama sekali. Sama seperti kelas XI IPA 2, penghuninya masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Caca meminjam buku tulis Bintang. Niatnya ingin meminta jawaban--alias nyontek--dari tugas mata pelajaran Matematika minggu kemarin. Tetapi, saat ia membuka lembar terakhir di buku itu, terdapat tulisan yang membuatnya heboh seperti tadi.
Ia yakin, itu pasti bukan tulisan Bintang. Pasti tulisan orang lain. Dan sudah pasti tulisan cowok. Karena tulisannya jelek.
Bintang menatap Caca bingung dari tempat duduknya. Ia belum tahu apa penyebab teman kelasnya itu memekik heboh. Gadis itu berjalan mendekati Caca. Dan menarik bukunya dari tangan Caca.
Ia membaca kalimat yang tertulis di bukunya. Seketika ia terkejut. Jantungnya deg-degan dengan cepat. Ia berusaha mengingat siapa yang sudah menulis itu di bukunya.
Bintang bahkan tidak tahu kalau ada tulisan seperti itu di bukunya. Mengingat-ingat lagi siapa yang menjadi kemungkinan besar yang menulis itu di bukunya.
"Lo baca kalimat itu kalo ngerasa gue ada salah sama lo aja. Maksudnya, jangan dibaca sekarang."
Gotcha!
Bintang ingat sekarang. Itu tulisan Langit. Bintang lupa kalau pemuda itu pernah menulis seperti itu di bukunya. Bahkan lupa kalau Langit menyuruhnya untuk membaca tulisan itu saat pemuda itu melakukan kesalahan. Seharusnya, Bintang membaca itu sudah dari kemarin-kemarin kan? Saat ada pertengkaran kecil di antara mereka. Tapi, sudahlah! Bintang tidak ingat apa-apa.
Fatin, teman sebangku Caca itu ikut membaca tulisan yang ada di buku Bintang. Ia kemudian tersenyum meledek ke arah Bintang yang pipinya kini memanas.
"Ciee, dari gebetannya tuh pasti."
Bintang menoleh pada Fatin dan berdehem pelan. Raut wajahnya ia datarkan. Gengsi kalau sampai ada yang tahu dirinya saat ini sedang terbawa perasaan.
Jangan mengira jika Bintang tidak memiliki perasaan apa pun untuk Langit. Dalam lubuk hatinya, Bintang merasa aman dan nyaman saat berada di samping Langit. Tapi kenapa saat ditanya oleh Langit apakah ia memiliki perasaan untuk Langit atau tidak, ia pasti akan menjawab tidak tahu. Dan jika pemuda itu bertanya sekali lagi, Bintang berjanji, ia akan menjawab dengan jujur.
Jika ditanya apakah Bintang memiliki perasaan sayang dan suka untuk Langit, maka jawabannya masih tidak tahu. Bintang bukannya tidak merasakan kedua rasa itu. Hanya saja, ia hanya takut untuk memfonis rasanya sendiri. Ia takut jika perasaannya untuk Langit belum pasti, tetapi ia sudah mengucapkan sayang dan suka pada Langit. Tidak. Bintang hanya perlu waktu lagi untuk bisa memfonis perasaannya sendiri agar tepat untuk Langit.
Jangan mengira jika selama ini Bintang selalu ketus, judes, marah-marah pada Langit itu, jantungnya tidak berdebar. Salah jika kalian berpikiran seperti itu. Jantung Bintang berdebar saat berhadapan dengan Langit. Apalagi saat melihat pemuda itu tertawa lepas. Percayalah, itu pemandangan pertama yang membuat jantungnya serasa ingin lepas dari wadahnya.
Tapi, kembali lagi pada titik pertama. Kegengsiannya yang besar untuk menunjukkan itu. Menunjukkan jika ia sedang berdebar. Bintang terlalu menampik rasa senangnya saat bersama dengan Langit. Hanya karena satu kata yang membuatnya seperti tidak memiliki perasaan apa-apa untuk Langit.
Gengsi.
Oke, jika ada komunitas pemberantas rasa gengsi, mungkin Bintang akan ikut ke dalamnya. Oke, kembali ke topik.
"Itu tulisan siapa, Bin?" tanya Fatin.
Bintang tak bergeming. Ia kemudian langsung kembali ke tempat duduknya tanpa menjawab pertanyaan Fatin. Membiarkan Caca juga yang sudah bersiul menggoda. Padahal tidak bisa bersiul. Yang ada air liurnya saja yang muncrat ke mana-mana.
Bintang memegang bukunya dengan kedua tangan di atas meja. Alani menoleh dan menatapnya heran. Teman sebangkunya itu lalu menyenggol lengannya.
"Eh! Kenapa nih?"
Bintang menggeleng kaku. Membuat Alani tidak percaya begitu saja. Gadis itu langsung mengambil buku milik Bintang dan langsung membuka lembar terakhir karena tadi, Bintang memegang bukunya dengan posisi terbalik. Di depan yang di belakang, dan di belakang yang di depan. Ya seperti itulah.
"Bin?" panggil Alani. Bintang menoleh dan meringis saat Alani sudah membaca tulisan yang ada di sana. "Ini, tulisan Langit kan? Atau anak kelas kita?"
Bintang menaikkan kacamatanya yang merosot. "Emm ... Langit," sahutnya lirih.
Mata Alani membulat. Lalu terkekeh pelan. "Lo nya sayang gak nih sama Langit?" godanya.
"Enggak tau."
Kan sudah dibilang, jika ditanya tentang perasaan itu, Bintang akan menjawab tidak tahu.
°°°
"Bintang, kamu mau cepet-cepet ketemu orang tua kamu?" tanya Putra pada Bintang yang duduk di sebelah Cyra yang sedang mengerjakan PRnya.
Bintang mendongak mendapat pertanyaan itu. Gadis itu terdiam sebentar. Lalu menjawab, "Aku ... Emm, nggak tau."
Oke, sepertinya tidak tahu adalah jawaban dari kebanyakan pertanyaan yang diberi orang lain pada Bintang.
Putra duduk di sofa dekat dengan kedua putrinya. Tiwi sedang ke dapur--membuatkan teh untuknya. Pria paruh baya itu menghela nafasnya.
"Papa nggak mau nahan kamu lebih lama kalo kamu emang udah mau ketemu sama mereka. Ya, meskipun sebenernya Papa nggak rela kamu ketemu mereka. Tapi, Papa gak mau egois lagi. Udah cukup sekali, dan Papa gak mau nyakitin kamu lagi."
Bintang mengusap kepala Cyra. "Bentar, Kakak mau ke Papa dulu," pamitnya. Kemudian gadis itu duduk di samping Papanya. Memeluk lengan pria itu dan menyenderkan pipinya di sana.
Putra mengusap kepala Bintang dengan sayang. "Bintang, akan tetep jadi bintang yang paling bersinar di hati Papa. Sampe kapanpun. Love you, Bintang."
Bintang memejamkan matanya saat Putra memeluknya dengan kedua tangan. Menenggelamkan wajahnya di dada Papanya. Hangat. Sangat hangat. Pelukkan pria yang membuatnya nyaman tiada tanding selama ia hidup 17 tahun.
"Love you, Papa."
Putra tersenyum lebar dan mengeratkan pelukkannya. Dan memanggil Cyra, "Adek, ini kakaknya manja banget. Adek mau ikutan pelukkan gak?"
Cyra langsung menoleh dan tertawa geli. Gadis kecil itu kemudian bangkit dan menuju Papa juga Kakaknya yang tengah berpelukkan. Cyra duduk di sebelah kanan Papanya karena sebelah laginya sudah ada Bintang.
"Peluk, Papa. Hahaha ... " Cyra memeluk Papanya sambil tertawa lebar.
Bintang ikut tertawa, pelan. Sudah lama ia tidak seperti ini dengan keluarganya. Dan itu karena ulahnya sendiri yang segala minggat dari rumah.
"Adek, kalo nanti kakak jarang tidur di rumah, adek jangan nangis lagi ya? Mau janji nggak sama Papa?"
Cyra mendongak. "Kok gitu? Kakak emangnya mau ke mana? Cyra gak mau ditinggal sama kakak lagi," ujarnya.
Putra mengecup kepala Cyra. "Nanti, kak Bintang bakalan punya tugas sekolah yang banyak. Jadi, nanti nginep di sekolahan buat ngerjain tugasnya. Kakak pulang kalo hari libur sekolah." Ia terpaksa berbohong dan berusaha memberi pengertian pada Cyra.
Bukannya Putra melepas Bintang begitu saja. Bukan. Ia hanya ingin mempertanggung jawabkan apa yang sudah ia lakukan pada keluarga kandung Bintang. Seandainya orang tua kandung Bintang meminta Bintang untuk tinggal di sana, ia tidak akan mencegah. Tidak sama sekali. Dan berusaha memberikan pengertian pada Cyra adalah salah satu cara agar gadis itu tidak akan menangis lagi saat tahu kalau kakaknya tidak ada di rumah.
"Kak Wira juga sekolah, tapi pulang ke rumah kok. Kak Bintang mau pergi lagi dari rumah ya?" Cyra menatap kakaknya yang sedari tadi hanya diam.
"Enggak. Kakak pasti pulang ke sini, tapi nggak bisa tiap hari. Adek ngerti kan?"
"Tapi, nanti kakak tidur di mana?"
"Di kasur, tenang aja." Putra yang menjawab dengan jenaka.
Bintang tersenyum pada Cyra. Meyakinkan gadis kecil itu. "Bener. Tenang aja. Pasti kakak bakalan baik-baik aja meskipun nggak di rumah. Jadi, Cyra janji nggak akan nangis kalo kakak gak ada di rumah. Oke?" Mengacungkan jari kelingkingnya.
Cyra tersenyum lebar. Gadis kecil berumur 7 tahun itu menyambut jari kelingking kakaknya. Mengaitkan dengan kelingking miliknya. "Janji."
Ketiga orang yang sedang berpelukan di sofa itu tidak menyadari kalau ada seseorang di belakang mereka yang kini mengusap pipinya yang basah. Tiwi. Wanita itu mendengar percakapan mereka sedari tadi. Dan ia harus siap merelakan Bintang kapanpun, jika gadis itu meminta untuk bersama dengan keluarga kandungnya.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro