Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 29

Hampir saja Bintang lupa akan tugasnya. Gadis itu sudah berjalan untuk pulang ke rumah. Berjalan di koridor yang masih ramai. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ada pesan masuk dari Kak Mella--pelatihnya--untuk datang ke ruang musik. Jika saja Kak Mella tidak memberinya pesan, sudah dipastikan ia tidak akan ingat kalau hari ini adalah jadwalnya latihan menyanyi untuk lomba nanti.

Masih ada kurang lebih dua minggu menuju hari lomba itu tiba. Bintang bahkan kadang latihan di kostnya sendirian. Ia juga latihan bersama Cakra di ruang musik sekolahnya. Cakra selalu datang ke sekolahnya sesuai jadwal yang sudah disetujui oleh Bintang dan Cakra.

Bintang kemudian memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya. Ia melangkah menuju ruang musik. Saat sudah di depan pintu, ponselnya berdering lama. Dan Bintang langsung mengambilnya.

Nama Langit tertera di layar ponsel. Pemuda itu menelponnya. Bintang langsung mengangkat panggilan dari Langit. Panggilan telepon itu langsung tersambung.

"Halo, Bin. Lo di mana? Gue tadi ke kelas lo, tapi lo nya udah nggak ada."

Bintang menatap ke sekitarnya. Ruang musik yang berada di bagian pojok ini sepi. Tidak ada yang berlalu lalang di kawasan ini. Bukan tidak ada, hanya saja jarang. Paling hanya beberapa saja yang lewat.

"Gue hari ini latihan," sahut Bintang pendek.

Bintang sedikit melupakan kejadian di taman belakang tadi siang. Di mana Langit dengam gamblangnya mengatakan suka dan sayang padanya. Apalagi saat Langit bertanya apakah dirinya sudah memiliki perasaan pada pemuda itu atau belum, Bintang membuang pertanyaan itu jauh-jauh dari otaknya. Namun tetap saja sulit. Pertanyaan itu berputar terus menerus. Dan jawaban yang ia temukan akan tetap sama. Tidak tahu.

Jika biasanya Langit akan berdiri di depan pintu kelas untuk menunggunya, kali ini tidak. Jelas saja kalau Bintang merasa sedikit aneh. Ke mana hilangnya Langit? Padahal mereka kan sudah berbaikkan, tapi pemuda itu tidak memperlihatkan dirinya saat bel pulang sekolah tiba.

Tidak mau ambil pusing dan ribet, Bintang langsung pulang saja. Masa bodo dengan Langit. Mungkin pemuda itu sudah pulang terlebih dahulu. Tapi ternyata belum. Buktinya Langit malah datang ke kelas dan mencarinya. Lalu menelpon saat tahu dirinya tidak ada di sana.

"Oh. Yaudah, kalo gitu gue tungguin lo latihan ya."

Untuk ukuran orang yang sedang jatuh cinta, itu adalah perhatian kecil yang ditunjukkan pasangannya. Tapi, tidak untuk Bintang. Ia menganggap kalau hal itu adalah hal biasa yang memang sudah ia dapatkan dari Langit sebelumnya.

Sebentar, memangnya Bintang siapanya Langit sampai-sampai harus terbawa perasaan atas tindakkan Langit untuknya?

"Lo pulang aja. Gak papa, gak usah tungguin gue."

Di seberang sana, Langit menggeleng meskipun Bintang tidak bisa melihatnya. "Nggak mau. Gue tungguin di kantin. Nanti kalo lo udah selesai, gue ke situ. Semangat latihan, Bintang."

Mendengar itu, bibir Bintang langsung tertarik ke atas. "Hm, makasih." Setelah itu telepon ditutup. Bintang menarik nafas dan memasuki ruang musik. Semangat untuk latihan kali ini lebih tinggi dari yang sebelum-sebelumnya.

Dan ia tidak sadar kalau Langit lah alasan dirinya menjadi lebih semangat seperti itu.

•••

Bintang mengira kalau yang ada di dalam ruang musik itu hanya ada dua pelatihnya saja, Kak Mella dan juga Kak Faridz--pelatih baru. Tapi ternyata tidak. Di dalam sana juga ada Cakra yang tersenyum lebar memyambutnya sambil mengangkat satu tangannya. Dan dibalas dengan senyuman tipis olehnya.

Bintang mengambil duduk di samping Cakra. Melepas tas yang menempel di punggungnya itu, dan menaruhnya di bawah kaki. "Maaf ya, Kak, saya hampir lupa kalo hari ini ada jadwal latihan," ucapnya tidak enak pada Mella dan Faridz.

Mella mengibaskan tangannya. "Gak papa kali, santai aja. Kayak sama siapa aja."

Bintang tersenyum kaku. Lalu melirik Cakra yang sedang menatapnya. "Apa?" tanyanya.

Cakra menggeleng. "Enggak papa, hehe ... " kemudian mengalihkan tatapannya.

"Jadi, Bintang, hari ini saya dan Mella mau melihat kamu dan Cakra latihan. Sudah sematang apa persiapan kalian untuk lomba nanti." Faridz tiba-tiba berkata seperti itu. Bintang dan Cakra menyimak. "Nanti kita atur jadwal lagi supaya latihannya lebih terkontrol. Menuju hari H sudah semakin dekat, kita harus memberikan yang terbaik nanti. Urusan menang atau kalah mah udah biasa kan? Jadi, cukup berusaha semaksimal mungkin. Usaha nggak akan mengkhianati hasil kok."

Bintang dan Cakra kompak mengangguk. Mella tersenyum lebar dan menyuruh mereka memulai latihannya. Mereka menghabiskan waktu selama hampir dua jam untuk latihan. Kini saatnya pulang. Cakra dan Bintang memakai tasnya masing-masing.

Mella dan Faridz sudah lebih dulu meninggalkan keduanya, menyisakan Cakra dan Bintang yang akan beranjak pergi juga dari sana. Bintang mengecek ponselnya, ada satu pesan dari Langit. Pemuda itu bilang kalau sudah ada di depan ruang musik menunggunya. Bintang memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang ada di bagian depan.

"Pulang sama pacar lo yang itu?" tanya Cakra.

Mereka berdua berjalan keluar dari ruangan itu. Bintang menekuk alisnya. Bingung dengan pertanyaan Cakra. Pasalnya, ia tidak mempunyai pacar. Tapi kenapa Cakra malah bertanya seperti itu?

"Gue nggak ada pacar," sahut Bintang sambil membuka pintu. Sosok Langit langsung terlihat di hadapannya.

"Ini?" tunjuk Cakra pada Langit yang masih diam mengamati keduanya.

"Temen gue."

Oh. Jadi cuma temen ya?

Cakra mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pamit pulang lebih dulu pada Bintang. Dan mendapati tatapan tidak suka dari Langit.

Seperginya Cakra, Langit menarik rambut Bintang dengan gemas. "Nggak usah akrab gitu deh sama si Cakar-Cakar itu," katanya.

Bintang menatap sebal pada pemuda yang ada di sampingnya itu. "Cakra, bukan Cakar. Muka lo sini yang gue cakar."

Langit langsung mendekatkan wajahnya pada Bintang. Jika saja Bintang memiringkan kepalanya, bisa dipastikan kalau pipi gadis itu akan menempel di hidung Langit. Jarak mereka terlalu dekat. Bintang menahan nafasnya sejenak. Lalu mendorong wajah Langit.

"Apaan sih, Lang?!"

"Katanya lo mau nyakar muka gue. Gue ikhlas kalo lo mau nyakar muka gue, asal lo gak deket-deket lagi sama cowok itu."

"Lo gila ya?" Bintang menaikkan satu alisnya. Tapi sesaat kemudian, ia melebarkan matanya saat mendengar ucapan Langit.

"Gila juga karena suka sama lo."

"SINTING!"

Bintang berjalan meninggalkan Langit setelah mencubit lengannya dengan kuat. Langit tertawa renyah sambil mengusap lengannya yang panas. Cubitan Bintang lumayan juga. Kemudian ia menyusul Bintang untuk pulang bersama.

•••

"Eh, tapi gue beneran soal omongan yang tadi siang, yang gue suka sama lo."

Bintang mendengus sebal. Ia tahu kalau Langit itu memang menyayanginya, tapi kalau perasaannya untuk pemuda itu belum jelas, lantas ia harus apa? Diam lebih baik kan? Dari pada mengumbar harapan yang tidak pasti untuk Langit, lebih baik ia tidak merespon jika pemuda itu membahas tentang perasaan.

"Yaudah. Terus, gue harus gimana?"

Semilir angin membelai wajah keduanya. Mereka kini berada di taman kompleks rumah Bintang. Menunggu datangnya senja yang sebentar lagi akan muncul. Masih enggan untuk beranjak pergi sebelum melihat semburat jingga yang dinantikan oleh kebanyakan orang itu.

"Ya, lo balas perasaan gue."

"Nggak tau."

Langit menoleh pada Bintang. "Maksudnya?"

"Gue nggak tau bisa balas perasaan lo apa nggak." Bintang menjawab mantap tanpa menoleh pada Langit sedikit pun. Matanya menatap lurus ke depan.

Langit membuang muka. "Oh."

Karena untuk pertama kalinya, sesuatu yang tidak enak, kini membuncah dalam dadanya. Hanya karena perasaan yang takut tidak akan pernah sempat terbalaskan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro