Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 27

"Mang, cilornya 1 porsi, yang pedes ya!"

Setelah memesan pada Mardani--Mamang cilor di kantin sekolahnya, Langit berdiri di depan etalase. Cowok itu menyapu pandangannya pada seluruh kantin, berharap menemukan apa yang ia cari. Menelusuri setiap sudut kantin dengan teliti. Namun nihil. Apa yang dicarinya tidak ada di sana.

Bintang. Ya, Langit mencari Bintang. Berharap kalau gadis itu ada di sini. Namun ternyata tidak. Langit belum berani bertemu gadis itu secara langsung. Ia hanya bisa melihatnya dengan jarak jauh.

Untuk masalah yang kemarin, ia tahu dirinya salah. Apalagi setelah meninggalkan gadis itu sendirian, meskipun tidak benar-benar meninggalkannya. Tapi tetap saja, ia merasa tidak ingin bertemu dengan Bintang untuk saat ini. Apalagi saat melihat respon gadis itu. Seolah-olah apa yang ia lakukan untuknya itu selalu salah. Dan Langit merasa sedikit tidak dihargai apa yang telah ia lakukan selama ini.

Bukannya Langit perhitungan atau tidak ikhlas. Tapi, siapa yang mau jika apa yang dilakukannya itu tidak dihargai? Apalagi oleh orang yang disayangnya. Jawabannya, tidak ada. Tidak ada satu orang pun yang mau.

Dan sampai saat ini pun, Langit tidak mengirimi Bintang pesan. Walaupun pesan singkat, Langit tidak mengirimnya. Ia benar-benar menjaga jarak dengan Bintang. Ia hanya ingin melihat gadis itu dari jauh. Hanya untuk sementara saja.

Panggilan dari Mang Mardani membuatnya menoleh. "Dek Langit, ini cilornya." Langit langsung memberikan uang pas. Kemudian bergeser ke penjual es jeruk yang kebetulan bersampingan dengan tempat cilor.

Di sana ada Ulya sedang berdiri mengantre, sepertinya. Langit menyapa gadis itu dengan ramah. "Ulya, ngantre juga?"

Ulya menoleh sedikit terkejut. Tapi saat tahu siapa yang menyapanya, ia tersenyum ramah. "Langit. Iya nih. Lo juga?"

Langit mengangguk dan mengangkat kantung plastik yang berisi cilornya itu. "Nih, abis beli cilor, geser ke es jeruk," katanya.

Ulya membulatkan bibirnya. Kemudian ia teringat sesuatu. "Oh iya, lo tau Bintang ke mana?"

Langit menekuk alisnya. Ia saja belum bertemu Bintang, tapi teman dekat dari gadis itu sudah menanyai keberadaannya saja. "Bintang?" beonya.

"Iya. Lo lagi deket kan sama dia? Pasti tau dia di mana. Soalnya tadi gue kelasnya, dia gak ada. Kata temen kelasnya sih gak berangkat. Tanpa keterangan pula," jelas Ulya.

Langit langsung menahan nafasnya sesaat. Kemudian ia langsung berbalik menjauhi Ulya. Keluar dari kantin sambil berlari. Ulya yang melihat itu hanya menatap punggung Langit dengan heran.

°°°

Entah sudah berapa lama Langit berdiri di depan kostan Bintang. Pemuda itu kadang berdiri, kadang juga duduk, lalu berdiri lagi dan duduk lagi. Seperti itu terus menerus. Menunggu ada seseorang yang lewat atau membukakan pintu.

Langit langsung datang ke kost gadis itu saat pulang sekolah. Tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Langit sudah mengetuk pintu itu berkali-kali. Dan tetap tidak ada jawaban. Hingga saat Langit ingin pergi dari sana, ia berpapasan dengan seseorang.

"Cari siapa, ya?" Dila, gadis itu bertanya pada Langit. Ia baru saja pulang sekolah dan langsung mendapati orang yang tak dikenalnya ada di depan teras.

"Gue nyari Bintang. Dia, ada?"

"Bintang? Dia kemaren udah pindah. Sekarang udah gak tinggal di sini lagi."

Pindah? Ke mana?

"Lo tau, Bintang pindah ke mana? Atau dia kemaren sama siapa gitu?"

"Kata Bintang, kemaren dia sama kakak sepupunya."

Setelah itu, Langit bernafas lega. Ia kemudian pamit dari sana.

Langit berpikir kalau Bintang pasti kembali ke rumahnya. Ia juga berpikir kalau Bintang pasti menelaah baik-baik ucapannya kemarin. Ya, kemarin saat dirinya dan gadis itu bertengkar. Walau sedikit.

Bukan tanpa alasan Langit berkata sedemikian pada Bintang. Ia hanya ingin gadis itu sadar. Sadar kalau gadis itu hanya mengulur waktu untuk mengetahui semuanya. Semua tentang masalah gadis itu. Dan semoga saja, pikir Langit tentang Bintang itu benar--kalau Bintang kembali ke rumah orang tuanya lagi.

Langit langsung pulang ke rumahnya. Hanya dalam waktu setengah jam, ia sudah sampai. Setelah memasukkan motornya ke dalam garasi, ia memasuki rumah. Melewati ruang tengah yang ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Biasanya ada ibu dan juga adiknya.

Pemuda itu langsung menuju kamarnya. Membersihkan diri dan berganti pakaian. Lalu beranjak ke kandang Marini. Marmutnya.

Langit duduk bersila di depan kandang Marini. Membuka kandangnya dan mengambil marmutnya dari sana. Ia menggendong marmut itu dengan sayang. Mengelus-elus kepalanya membuat sang marmut merasa nyaman.

"Mar, doain gue ya, semoga Bintang besok udah berangkat sekolah dan mau ketemu gue." Langit mulai bercerita pada marmutnya. "Gue sayang sama Bintang, Mar. Tapi gue gak tau, dia juga sayang sama gue apa nggak."

Hingga menjelang maghrib, Langit terus bercerita pada marmutnya. Mencurahkan isi hatinya pada Marini. Meskipun marmutnya itu hanya merespon dengan cicitannya saja. Setidaknya perasaan Langit sudah sedikit membaik.

~~~

"Ini alamat rumah keluarga kandung kamu. Kami selalu mantau mereka dari jauh. Secara diam-diam," ucap Papanya. Menyodorkan secarik kertas pada Bintang yang duduk di hadapannya bersama Mamanya.

Ya, Bintang kini sudah kembali ke rumah. Awalnya Bintang tidak memperdulikan omongan Langit. Tapi, saat di perjalanan pulang ke kostnya--bersama Wira--ia jadi memikirkannya dan juga terus menelaah dalam-dalam perkataan Langit.

Di sepanjang jalan, Bintang hanya diam. Wira pun sempat heran kenapa gadis itu hanya diam, karena biasanya Bintang tidak sependiam itu jika bertemu dengannya. Mungkin ada sesuatu yang dipikirkannya, batin Wira.

Hingga sampai di kostan Bintang, Wira dikejutkan dengan keputusan gadis itu.

"Bintang mau pulang ke rumah."

Begitulah kata Bintang. Dan Wira tidak tahan untuk memperlihatkan senyuman lebarnya. Bahkan saking senangnya, ia sampai mencium pipi adik sepupunya itu. Senang, gemas dan lega karena Bintang akhirnya mau pulang ke rumah kembali.

Wira pulang ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil mobil. Sementara Bintang membereskan barang-barangnya. Saat pukul tujuh, Wira datang kembali dengan mobilnya. Bintang sudah siap di teras. Dan kemudian mereka berdua pergi untuk pulang ke rumah.

Dan di sinilah Bintang berada. Di rumah orang tuanya. Hari ini, Bintang sengaja tidak berangkat sekolah. Ia hanya ingin berdiam di rumahnya saja. Ia merindukan kamarnya. Merindukan Mama, Papa dan Cyra. Bintang sudah mengikhlaskan semuanya. Walau ada sedikit rasa kecewa dan sakit hati yang masih ada di hatinya, ia bisa menghilangkan rasa itu. Sudah cukup ia mengulur waktu untuk masalahnya sendiri. Sekarang, saatnya ia bergerak maju.

Bintang menerima kertas itu. Dan membacanya. Tiwi yang duduk di sampingnya itu mengusap kepalanya terus-menerus. Sesekali mengecupnya. Kecupan hangat yang selalu Bintang dapatkan dari Mamanya.

"Kamu, anak kedua dari dua bersaudara. Papa kamu seorang Dokter. Mama kamu mempunyai toko kue. Dan kamu punya seorang Kakak laki-laki. Sekarang dia udah kuliah."

Bintang mulai menyimak baik-baik apa yang sedang dijelaskan oleh Papanya itu.

"Dulu, Papa kamu sempat koma satu bulan. Setelah kejadian itu, Papa dan Mama mantau mereka melewati orang suruhan kami. Mama kamu cuma dirawat satu minggu, karena lukanya gak terlalu parah seperti Papa kamu. Mama kamu syok berat setelah tau kalo kamu gak ada di sampingnya."

"Maaf," bisik Mamanya. Mata wanita itu berkaca-kaca. Bintang menoleh dan tersenyum tipis sambil menggeleng.

"Tepat setelah Papa kamu bangun, mereka berusaha mencari kamu. Tapi, karena kami--Papa dan Mama--berhasil menutupi semuanya rapat-rapat, mereka gak pernah berhasil. Identitas kamu kami ubah total. Sehingga gak ada yang bisa ngenalin kamu, sampe detik ini."

"Nama asli aku dulu itu ... siapa?" tanya Bintang dengan ragu.

"Adista Mentari Anandra," jawab Papanya mantap. "Kamu terlahir dari keluar Anandra. Di mana mereka hidupnya lebih berkecukupan dari pada Papa dan Mama. Mereka juga baik. Orang tua kamu adalah orang baik, Bintang. Nama Papa kamu adalah Denis Anandra dan Mama kamu Hilda."

"Terus, kakak Bintang?"

"Alib Nizam Anandra, dia kakak kamu."

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro