part 25
"Gue muak."
Malik yang sedang bermain game online bersama dengan teman sebangkunya itu menoleh sebentar pada sang empu yang berujar tiba-tiba tadi, Langit. Ya, pemuda itu agak berbeda hari ini. Sedikit lesu dan pendiam. Entah karena apa, Malik dan yang lainnya pun tak tahu. Yang jelas, pasti ada yang dipikirkan oleh pemuda itu.
Mata Malik kini fokus pada layar ponselnya kembali. "Muak yang minum obat, bego! Minum Tolak Mantan sana!"
Di bawah meja, kaki Langit langsung menginjak sepatu Malik dengan kencang. Membuat sang korban meringis. Tapi, kemudian terkekeh pelan.
"Itu mual, Malik! Bukan muak! Ini gue lagi muak. Mu-ak. Tolak mantan, pala lo!"
NAH KAN NGEGAS!
"Diem dulu ngapa sih! Kita lagi mabar juga, lo malah curhat gak jelas."
Langit memutar bola matanya dan berdecak. Ingin sekali mendorong Malik ke rawa-rawa karena ucapan pemuda itu. Ia kemudian langsung menekan tombol home agar keluar dari permainan. Mampus. Setelah ini Malik akan heboh.
"Anjir, woy! Sialan! Ini gue sendirian! Langitai! Tega lo sama gue, kudaaa!!!"
Langit tertawa. Suara Malik menggema di dalam kelas yang hanya ada ia, Malik dan beberapa siswi saja. Saat ini jam istirahat sedang berlangsung. Dan kelas masih sepi karena penghuninya sedang berada di luar kelas.
Malik mengacak rambutnya frustasi. Kesal. "Sialan emang lo, Lang! Males gue sama lo!" rutuknya sambil mematikan ponsel dan menaruh di atas meja.
Langit terkekeh kecil saat tawanya sudah mereda. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan menarik nafasnya dalam. Membuangnya dengan kasar. Malik langsung menoleh. Menatap dirinya dengan heran.
"Kenapa lo?"
Langit melirik Malik sebentar. "Katanya lo males sama gue," ucapnya.
Memang benar-benar tidak tahu diuntung. Sudah beruntung Malik bertanya kenapa, ini malah menjawab seperti itu. Sumpah, Malik bisa gila kalau mempunyai teman yang seperti Langit semua. Untungnya hanya ada satu. Dan hanya Langitai saja.
"Lo ngajak baku hantam, ya!"
Langit suka membuat orang lain kesal. Dan Malik yang suka marah-marah pun sangat cocok untuk menjadi targetnya.
"Gue muak, Mal. Muak sama diri gue sendiri."
Ucapan dengan nada serius itu membuat Malik bungkam. Bahkan rasa kesalnya tiba-tiba saja menguar hilang. Digantikan dengan rasa kekhawatirannya sebagai teman Langit.
Apa yang membuat Langit muak dengan dirinya sendiri?
Pertanyaan itu berputar di otaknya.
•••
Waktu tlah tiba
Aku kan meninggalkan
Tinggalkan kamu, tuk sementara
Kau dekap aku
Kau bilang jangan pergi
Tapi kuhanya dapat berkata
Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan tuk meninggalkanmu selamanya
Aku pasti kan kembali, pada dirimu
Tapi kau jangan nekan
Aku pasti kembali
Saat jam istirahat, Bintang lebih memilih melipir ke ruang musik. Sendirian. Tanpa ada satu orang pun yang menemaninya. Ia hanya ingin sendiri. Dan hanya ingin ditemani oleh keheningan yang tak akan pernah mengecewakannya.
Hening. Saat kakinya menginjak lantai ruang musik, suasana sangat hening. Memberi ketenangan untuk hati yang sedang tidak baik-baik saja.
Keheningan memang tak selalu enak. Kadang, keheningan dibenci oleh orang-orang yang tidak suka sepi. Tapi, bagi sebagian orang lain pun, hening adalah teman yang paling tepat, kala rasa campur aduk yang ada di hati sedang menerjang.
Hening adalah teman paling baik saat hati kecewa. Marah pada semesta. Dan diri sendiri belum bisa menerima takdir dan berdamai pada kenyataan.
Petikkan gitar berhenti saat Bintang menjauhkan jemari tangannya dari senar. Ia kemudian menatap dinding yang akan selalu terasa dingin bila disentuh. Sesaat kemudian melamun.
Sampai saat ini, Langit belum menemuinya. Pemuda dengan alis tebal itu tak mencarinya. Bahkan memberi kabar saja tidak--setelah apa yang Langit dilakukan pada dirinya.
Bintang tak habis pikir. Ia mengira kalau Langit akan bertanya dan meminta persetujuan terlebih dulu padanya--tentang memberikan alamat kostnya pada orang tuanya. Tetapi tidak, kan? Pemuda itu bahkan seenaknya saja memberi alamatnya dengan gamblang. Dan itu memuatnya marah, kecewa, dan kesal. Campur aduk.
Ia mengira kalau Langit sudah mengerti dirinya. Tapi ternyata belum.
Bintang terus melamun memikirkan apa yang telah terjadi, lagi. Hingga bel masuk berbunyi, baru ia kembali ke dunianya dan beranjak menuju kelas.
~~~
"Bin, Bintang. Plis, dengerin gue dulu. Gue minta maaf sama lo."
Dalam satu tarikan, Langit berhasil menarik tangan Bintang. Membuat gadis itu berhenti melangkah dan berdiri menghadapnya. Memberikan tatapan datar. Tatapan seperti dulu. Langit kemudian menjauhkan tangannya.
Entah sudah berapa kali Langit meneriaki dan memanggil nama Bintang, namun tak digubris oleh gadis itu. Langit yang memang merasa kalau dirinya salah itu terus berusaha agar gadis itu mau mendengarkannya.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu. Niatnya Bintang ingin menghindari Langit. Pulang lebih akhir dari biasanya untuk tidak bertemu pemuda itu. Namun, ternyata gagal. Langit malah menunggunya di koridor lantai bawah dekat lapangan utama. Dan Bintang berjalan melewatinya. Gagal sudah inginnya untuk menghindari Langit.
Bintang menatap Langit sedatar-datarnya. Membuat pemuda itu meringis dalam hati karena mendapat tatapan yang sangat datar itu dari seorang gadis yang ia sukai. Gadis yang ingin ia miliki. Gadis yang ingin sekali selalu bersamanya, di sampingnya. Dan kala mendapat tatapan datar itu, sungguh tidak enak sekali baginya. Tapi, Langit menyadari kalau Bintang marah padanya.
"Gue minta maaf, oke?"
Bintang membuang mukanya ke samping. Dan terkekeh hambar. Pemandangan yang membuat perut Langit bergejolak tidak enak. Kekehan yang hambar tapi diselimuti rasa sesak.
"Lo belum bisa ngertiin gue. Kepercayaan yang gue kasih buat lo, kesempatan yang gue kasih buat lo, apa itu belum cukup buat lo bisa ngertiin apa mau gue yang sebenernya, Lang?"
Langit meraih tangan kiri Bintang. Dan langsung ditepis oleh gadis itu. "Bintang. Gue minta maaf sama lo. Gue tau, gue salah. Gue tau, seharusnya gue juga nggak dengan seenaknya ngasih tau alamat lo sama mereka. Gue ... gue cuma mau ngebantu kalian. Lo dan orang tua lo," ucapnya.
"Cara lo ngebantu gue itu salah!"
Langit menatap sebal pada Bintang. Emosinya tiba-tiba naik secara perlahan. Ia berpikir kalau gadis itu tidak menghargai usahanya selama ini. Menganggap apa yang dilakukannya itu selalu salah.
"Terus, menurut lo cara ngebantu yang bener itu kayak gimana?" Suara Langit mendadak sinis. Bintang menatapnya sedikit terkejut. Wajahnya pun tak sedatar seperti tadi. Sedikit mencair.
Bintang diam. Langit memegang kedua bahu Bintang, sedikit meremasnya. "Gue tanya. Cara ngebantu yang bener itu kayak gimana, Bintang? Jawab!" Nada bicaranya meninggi.
Bintang menghempaskan kedua tangan yang berada di bahunya itu. Menatap netra yang ada di depannya itu dengan nyalang. "Seharusnya lo gak seenaknya gitu, Langit! Lo minta persetujuan gue dulu bisa gak sih?! Lo pikir gue siap ketemu mereka secara mendadak, iya?! Mikir, Lang!"
Kedua tangan Langit yang berada di samping tubuhnya itu terkepal secara perlahan. "Lo yang mikir! Seharusnya lo mikir kalo gue ngelakuin itu semua supaya lo baikan sama orang tua lo. Lo bisa tau siapa orang tua kandung lo. Lo bisa kembali sama orang yang sayang sama lo. Lo mikir gak, kalo selama ini yang gue lakuin semuanya itu karena gue sayang sama lo? Mikir gak?! Enggak kan?!"
Mereka adu tatap. Suara Langit semakin meninggi dan dingin. Menarik nafasnya dalam, dan mulai berbicara kembali. "Yang ada di pikiran lo itu cuma kecewa. Gue tau lo kecewa, tapi mau sampe kapan lo kayak gini? Gue ngebantu lo dengan pelan-pelan. Dengan cara yang menurut gue bener, Bin. Supaya lo kayak dulu lagi. Tapi ternyata apa yang gue lakuin selama ini salah di mata lo, ya? Lo nyesel udah gue temenin sejauh ini?"
Bintang diam. Tatapannya berubah sendu setelah mendengar semua apa yang diucapkan Langit. Kata-katanya menohok hati. Dan itu membuatnya sedikit melunak. Ia tak mampu mengeluarkan suaranya. Kosa kata yang ia punya seolah hilang entah ke mana.
"Diem berarti iya. Oke, gue minta maaf sama lo atas apa yang gue lakuin. Seenaknya, kayak apa yang lo bilang tadi. Makasih karena udah kasih gue kesempatan sejauh ini."
Setelah itu, Langit pergi. Membiarkan Bintang terpaku dengan hati yang berkecamuk.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro