Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 24

"Ngapain sih lo ngajak gue ke kedai es krim? Gue males, Lang," ucap Bintang sambil turun dari motor dengan raut malas.

Kini keduanya tengah berada di depan kedai es krim yang tidak terlalu besar. Setelah bel pulang sekolah bunyi, Langit langsung menuju kelas Bintang dan menyeret gadis itu untuk ikut dengannya. Bintang yang sudah tahu akan dibawa ke mana itu hanya diam. Mengikuti kemauan Langit yang akan membawanya ke kedai es krim.

Jam munjukkan pukul tiga sore. Namun, cuaca masih panas. Itulah alasan kenapa Bintang malas ke kedai ini. Gadis itu masih memakai helmnya tanpa disadari, tapi langsung memasuki kedai dengan menghentakkan kakinya. Langit yang melihat itu hanya terkikik geli. Pasti setelah ini Bintang akan mengamuk padanya.

Langit yang sudah melepas helmnya itu bercermin di kaca spion motor sebentar. Ia tersenyum miring sambil menatap wajah gantengnya di kaca.

"Udah ganteng aja, Bintang suka sama gue-nya lama. Apalagi kalo gue gak ganteng? Bisa-bisa Bintang gak ngelirik gue sama sekali. Ya Allah, makasih atas kegantengan ini."

Setelah itu, pemuda yang berbicara dengan pantulan dirinya sendiri di kaca itu langsung menyusul Bintang yang kini malah berhenti melangkah. Berbalik badan. Menghadap pada Langit yang menaik-turunkan alisnya. Menggoda Bintang.

"Helm lo belum dilepas, Bintang. Jadi orang tuh yang sabaran kenapa sih?" Bintang malah melotot pada Langit. "Apa? Mau marah? Mau nyerocos karena lo lupa lepas helm dan itu karena gue?"

Langit berhenti di depan gadis itu. Ia membuka pengait helm yang dipakai Bintang dengan tubuh sedikit membungkuk karena tinggi gadis itu lebih pendek darinya. Setelah itu, ia melepas helm dan berbalik menuju motornya kembali untuk menaruh barang itu. Meninggalkan Bintang yang terpaku karena tindakan kecilnya barusan.

Gue gak mungkin baper, gumam Bintang.

Bintang mengerjap. Gadis itu berdecak sebal karena jantungnya sedikit maraton. Pipinya terasa memanas. Lalu memasuki kedai es krim minimalis itu. Bunyi lonceng terdengar. Langit mengekorinya dari belakang setelah menaruh helm di motor.

Bintang duduk di meja pojok. Samping jendela. Ia melepas tasnya dan menaruh di sampingnya. Menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Pipinya sudah normal kembali. Tidak terasa panas. Mungkin karena sudah di dalam ruangan. Atau karena ... Oh, tidak!

Baper!

Ia berdecak karena hal itu terlintas di dalam pikirannya. Masa iya dirinya baper? Karena tindakan kecil si Tengil barusan? Yakin?

Bodoh.

Ngapain juga Bintang harus terbawa perasaan?

Gadis itu tak sadar kalau Langit kini sudah duduk di depannya. Dengan dua mangkuk es krim yang sangat indah dipandang, enak untuk dimakan, dan menggoda sekali.

"Nih!" Menggeser mangkuk es krim ke hadapan Bintang. Namun tak ada respon dari gadis itu. "Ngelamun?" tanya Langit.

Bintang mengerjap. Ia menatap mata pemuda itu. Hanya dua detik. Lalu beralih pada es krim yang sudah ada di hadapannya. Daripada ia memikirkan rasa kebaperannya mending langsung memakan es krimnya. Keburu mencair kan mubadzir.

"Ditanya gak dijawab." Langit mengusap kepala Bintang yang menunduk menatap mangkuk es krim itu. Entah dari mana ia bisa dengan tidak canggung mengusap kepala gadis itu. "Udah biasa gue mah. Gak papa-gak papa. Udah kebal juga kan. Udah biasa. Santai aja. Nanti juga diginiin lagi. Udah biasa. Santai, santai," sindir Langit menjauhkan tangannya.

Bintang masih diam. Ia diam bukan karena tidak mau menjawab pertanyaan pemuda itu.

Tetapi, ia terpaku. Dengan pipi yang kembali memanas.

Es krim dalam mulutnya meleleh, seiring dengan benteng hatinya yang mulai roboh karena perlakuan sosok yang ada di depannya.

°°°

Bintang terpaku dipijakkannya. Bahunya merosot ke bawah. Tatapan matanya tak terbaca. Wajahnya sangat datar dari biasanya. Jantungnya berdetak dengan kencang. Badannya pun mulai merasa dingin.

Di sana. Di teras kost-annya, ada Papa dan Mamanya. Putra dan Tiwi yang sudah menatapnya penuh harap. Penuh dengan kasih sayang. Tatapan sendu Tiwi mampu membuat hati Bintang sedikit bergejolak.

Bagaimana pun, Tiwi adalah Mamanya. Meskipun pada kenyataannya, Mamanya itu hanya Mama angkatnya saja. Begitupun dengan Putra, Papanya.

Bintang mengaku, jika ia amat sangat menyayangi mereka. Sangat. Sangat menyayangi. Hanya saja, kenyataan yang sekarang ia terima membuat rasa kepercayaannya mulai mengikis.

Rencana mereka untuk mengambilnya dari orang tua kandungnya berhasil. Sangat-sangat berhasil. Hingga Bintang berpikir kalau semua identitasnya itu tetutup rapat-rapat. Dan tak ada jejak sedikitpun.

Sebegitu pentingnya kah kehadiran dirinya yang bisa merubah takdir mereka? Hingga mereka kini masih tetap bersama dan bahagia?

Namun, kenapa harus dirinya?

Gejolak lara dan perih yang ada di hatinya itu kini mulai menyerang perlahan. Menusuk hati yang rapuh. Memecahkan kepercayaan yang tak akan bisa lagi kembali utuh. Hanya karena melihat wajah mereka lagi.

Bintang akui lagi, kalau ia juga ingin tahu bagaimana keadaan dan di mana keberadaan orang tua kandungnya? Kenapa juga orang tua kandungnya tidak mencari dirinya? Apa karena identitas dirinya yang dihapus bersih oleh orang tuanya yang sekarang?

"Kenapa ke sini?" Bintang bertanya dengan tatapan yang kini terlihat sendu. Menandakn bahwa ia memang tidak ingin bertemu dengan orang tuanya lagi untuk sekarang.

Gadis dengan kacamata yang selalu membingkai kedua matanya yang indah itu melangkah mendekat. Sangat pelan. Sampai kecepatannya pun kalah dengan kecepatan angin yang berhembus lewat.

Putra dan Tiwi masih diam dengan posisi berdiri. Pria dan wanita paruh baya itu masih belum ingin membuka suaranya sama sekali. Mereka hanya ingin menikmati wajah dan tatapan sendu yang anak gadisnya berikan. Hingga saat Bintang telah berdiri di depan mereka sambil menunduk, Tiwi merengkuh tubuhnya.

"Kak Wira yang ngasih tau kalo aku tinggal di sini?"

Putra dan Tiwi masih diam mendengar pertanyaan dengan nada pelan itu.

"Jawab, Ma, Pa!" tegas Bintang dengan sedikit penekanan.

Putra dan Tiwi saling pandang. Lalu menghembuskan nafas beratnya. Tiwi memegang lengan kiri Bintang dengan lembut sebelum berkata, "Bukan Wira. Tapi ..."

Bintang menatap Mamanya saat ucapannya malah menggantung. "Siapa?"

"Langit. Langit yang udah kasih tau Mama sama Papa kamu tinggal di sini."

Dan untuk kedua kalinya, kepercayaannya kini telah diruntuhkan lagi.

Bintang berpikir kalau Langit bisa mengertinya. Memahami apa maunya. Bisa memahami keadaannya. Namun ternyata tidak. Pemuda itu sama saja. Tidak mengerti apa yang ia mau dan memahami kalau Bintang hanya ingin sendiri, lagi. Untuk sementara saja. Setelah mendengar penjelasan Mama dan Papanya kemarin-kemarin.

Langit?

Batinnya berteriak. Kenapa harus Langit?

Bahkan, Langit pun memang tidak benar-benar ada dipihaknya. Tidak sepenuhnya bisa mengerti dirinya.

Bintang, membangun dinding kokohnya lagi.

Ia mengepalkan kedua tangannya. Nafasnya memburu. Seiring dengan matanya yang memanas. Sekejap kemudian, ia melepas tas yang ada di punggungnya dengan kasar. Membantingnya ke lantai. Menyebabkan bunyi yang bisa membuat Putra dan Tiwi terkejut. Mereka sampai mundur satu langkah.

Tak hanya itu. Bintang melepas gelang yang ada di pergelangan tangan kirinya. Membuangnya ke sembarang arah. Tidak peduli akan terlempar di mana. Emosinya memuncak.

"Tinggalin aku. Sendirian. Sekarang. Sekarang juga."

Nada bergetar begitu terdengar jelas. Bintang meloloskan air matanya. Tanpa isakan. Bahunya bergetar. Tiwi yang melihat itu langsung berkaca-kaca. Putra mengelus pucuk kepala Bintang dan mengecupnya sekilas.

"Papa sayang sama Bintang. Sangat sayang, Nak. Kalo Bintang belum mau ketemu Papa sama Mama lagi, gak papa. Kami tunggu sampe kamu siap, ya? Kapanpun Bintang butuh kami, Papa dan Mama akan selalu ada. Karena Bintang akan tetap menjadi bintang yang paling bersinar di hati kami."

Setelah mengucapkan itu, Putra membawa istrinya pergi dari sana. Membiarkan anak gadisnya meluapkan segala apa dirasa. Putra tahu, Bintang kecewa pada Langit yang telah memberikan alamat tempat tinggalnya sekarang. Karena bagaimana pun, Langit adalah sosok yang Bintang percayai saat ini. Namun, Langit telah mematahkan kepercayaan itu lagi. Sama seperti apa yang ia lakukan bersama istrinya pada Bintang, anak pancingannya.

Gue benci percaya sama manusia. Semuanya sama aja. Sama-sama pandai mematahkan kepercayaan yang sudah dibangun dengan keyakinan penuh.

×××

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro