part 23
Hari saat Cakra pulang bersama sepupunya setelah latihan nyanyi dengan Bintang.
Setelah menyeret abang sepupunya itu, Cakra sedikit tertawa melihat raut wajah Nizam--abang sepupunya yang tidak pernah tidak datar atau galak. Cowok yang duduk di bangku kuliah itu selalu galak dan sangat sangar. Tak heran jika masih menyandang status jomlo.
Nizam memakai helmnya dengan gerakan kasar. Dirinya masih kesal dengan gadis SMA itu. Pasalnya, karena gadis itu nebeng dengannya tadi pagi, ia telat datang ke kampus. Dosen mata kuliah yang mengajar sangat-sangat disiplin sekali. Ia belum pernah terlambat sebelumnya. Tapi, gara-gara gadis itu, ia jali terlambat. Nizam rasanya ingin menjambak rambut gadis SMA tadi.
Setelah keduanya memakai helm dan sudah duduk di atas motor, Nizam menyalakan mesin dan mulai melajukan kendaraannya. Membelah jalanan kota yang lumayan panas.
Cakra menepuk pundak Nizam seperti penumpang kepada tukang ojek. "Bang, mampir ke kafe dulu kayak biasanya, ya!" ucapnya sedikit kencang. Takut tak didengar oleh Nizam.
Nizam membalas berteriak lebih kencang, "IYA!" Membuat bapak-bapak yang menyalip mereka menoleh bingung.
"Biasa aja, anjir! Nih kuping gue masih berfungsi dengan baik. Gak usah ngegas gitu dong!"
"IYA LAH NGEGAS, KAN LAGI NAIK MOTOR, BEGO! PUNYA ADIK SEPUPU BEGO BENER. KATANYA MOST WANTED SEKOLAH, TAPI GINI AJA GAK TAU! MOST WANTED MACAM APA ITU!"
"SIAL!" balas Cakra.
Nizam tertawa lepas. Ia menambah kecepatan laju motornya. Membuat Cakra berteriak kesal. Dan mengundang tawa Nizam kembali.
Lima belas menit kemudian, mereka telah sampai di Cafè tempat biasa mereka berdua singgahi saat ada waktu luang atau sekadar melepas penat. Setelah parkir motor dengan benar, Cakra dan Nizam langsung memasuki Cafè itu.
Mereka berdua duduk di tempat favorit mereka. Di salah satu sudut Cafè, di samping jendela kaca yang memperlihatkan jalanan raya yang selalu ramai akan kendaraan. Lalu salah satu waiters yang sudah hafal dengan Cakra dan Nizam itu menghampiri mereka.
Dengan memasang wajah masamnya, Nizam langsung menyerobot berbicara, "Gue kayak biasanya!"
Cakra langsung cekikikan melihat raut wajah Ical--waiters tadi yang sudah akrab dengan Cakra dan juga Nizam. Ical menggetok kepala Nizam dengan buku menu yang ada di atas meja. Membuat Nizam mengusap kepalanya dan mendengus sebal.
"Cuci tuh muka, pake rinso! Udah asem, kucel pula. Heran gue, kenapa muka lo tetep keliatan ganteng meskipun dikit," ucap Ical.
"Rinso pale lo! Sekalian aja pake sabun ekonomi. Putih, bersih dan suci," sahut Nizam. Mukanya kini bertambah masam. Dan itu mengundang gelak tawa Cakra kembali terdengar.
"Anjir. Bisa aja lo, oncom."
Nizam tak menggubrisnya lagi. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Cakra yang sudah berhenti tertawa itu berkata, "Gak usah ledekin dia, Bang. Abang Nizam yang sangar lagi unmood."
Ical menaikkan satu alisnya. "Buset dah, udah kayak cewe aja."
"Bodo amat!" kata Nizam. Cakra tersenyum geli mendengarnya. Kemudian Cakra menyebutkan pesanannya. Setelah mencatat, Ical pamit ke belakang.
Cakra mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Dengan tatapan matanya yang tak lepas dari wajah Nizam. Nizam yang risih ditatap seperti itu bergidik ngeri. Nizam melayangkan satu jidatakkan di jidat adik sepupunya itu.
"Jijik gue ditatap kayak gitu sama lo!"
Cakra langsung terkekeh. "Bang, lo inget sama cewek yang tadi? Yang udah bikin lo kesel kayak gini," ucapnya serius.
Dengan malas, Nizam menyaut, "Hm. Ngapa?"
"Gue kayak ngeliat dia, mata mereka mirip."
Nizam menekuk alisnya. Ia duduk dengan tegak. Kedua tangannya yang ada di atas pahanya itu perlahan mendingin. Detak jantungnya mulai berpacu cepat. Tidak. Ini tidak mungkin. Ia tidak ingin terlalu berekspetasi tinggi.
Nizam tahu, dan sangat tahu apa yang dimaksud dari ucapan Cakra tadi. Dia yang dimaksud Cakra itu adalah sosok yang selalu ingin mereka temui. Sosok gadis yang entah di mana sekarang. Sosok yang bahkan mereka tidak tahu nyawanya masih ada atau tidak.
"Tapi, gue gak yakin. Nama mereka pun gak sama. Bahkan dari namanya aja gak ada tanda-tanda kalau dia itu dia-nya yang kita rindukan."
Dalam hati Cakra dan Nizam masing-masing, mereka berharap. Berharap yang terbaik untuk sosok yang selalu mereka nantikan kehadirannya.
Entah itu sekarang akan hadir, atau nanti. Yang jelas, mereka akan selalu menunggunya. Menunggu hingga gadis kecil itu datang kembali, meskipun semesta tidak mengizinkannya sekalipun.
°°°
Saat ini, Bintang sedang mendengarkan ocehan dari Alani dan juga Caca tentang penulis yang--katanya sangat mereka kagumi. Alani dan Caca adalah gadis yang sama-sama penyuka dunia orange--Wattpad.
Ya, siapa yang tidak tahu dunia orange itu? Dunia yang isinya penuh dengan kehaluan dan ilusi para jomblo--mungkin hanya beberapa yang sudah taken--tapi percayalah, yang taken pun belum tentu kisahnya sebahagia di dunia orange yang mereka baca. Pasti kisahnya malah ngenes. Lalu, beralih ke dunia orange ini untuk berhalusinasi demi menyenangkan hati--walaupun sebentar.
Sedari tadi, Bintang hanya menyimak saja. Alani dan Caca nampak sangat antusias membicarakan penulis yang umurnya sebaya dengan mereka. Bintang yang hanya sekadar tahu itu hanya diam. Menyimak baik-baik. Meskipun ia tak tahu manfaatnya apa.
"Gila! Gue liat postingan dia di Instagram, pake kacamata gitu kan fotonya. Duh, gue mau deh jadi pacarnya. Biar kecipratan dapet novel yang dia tulis, hehehe..." rocos Caca menggebu-gebu.
Alani tertawa sebentar. Heru yang baru saja memasuki kelas itu menghampiri Caca dan berdiri di samping gadis itu. Heru mengusap kepala Caca dengan lembut.
"Ca, pulang sekolah mau beli novel gak?" tanya pemuda yang--entah kenapa--selalu berlaku lembut pada Caca. Membuat teman kelasnya bingung, mereka berdua memiliki hubungan apa?
Meskipun Bintang tidak banyak bicara, tetapi gadis itu mengamati diam-diam, seperti sekarang. Saat Alani dan teman lainnya yang memperhatikan interaksi antara Heru dan Caca itu menunjukan raut sangat kepo, tapi berbeda dengan dirinya. Bintang lebih berekspresi biasa saja. Seolah-olah ia tidak tertarik dengan apa yang sedang terjadi. Padahal, ia hanya mencoba tidak terlihat kepo saja.
Caca mendongak. Dengan senyum yang masih tercetak di bibir gadis heboh itu, ia balik bertanya, "Emang Heru mau bayarin novelnya?"
Alani pura-pura tidak melihat apa yang ada di depannya. Sedangkan Bintang, gadis itu diam-diam tersenyum geli. Melihat cara Heru dan Caca berinteraksi. Mereka ini sedang proses pendekatan atau apa?
"Lo mau beli novel apa enggak? Kalo mau, gue bayarin, kalo enggak ya udah."
Caca mengangguk semangat. Kemudian ia menepuk lengan Heru dengan gemas. "MAU DONG! MAKASIH HERU!" serunya.
"Berisik, toa!" cibir salah satu siswa yang sedang asyik bermain game di ponselnya.
Caca hanya menaikkan salah satu bibir atasnya. Hal itu membuat Heru menarik pipi kanannya dan berlalu begitu saja. Setelah itu, Caca kembali fokus pada Alani--melanjutkan obrolan mereka yang sempat tertunda.
"Ca, lo sama Heru ada hubungan apa sih?" tanya Alani. Sudah tidak kuat menahan kepo rupanya.
"Temen kelas," jawab Caca enteng. Bintang yang mendengarnya itu menebak kalau temannya yang heboh itu kurang peka dalam masalah perasaan.
Alani menggelengkan kepalanya tak percaya. "Gak mungkin cuma sekadar temen kelas. Heru lembut gitu sama elo. Dih, gue berasa jadi jones banget deh!" gerutunya.
Caca ingin angkat bicara, namun Alani kembali bersuara, "Caca punya Heru. Bintang punya Langit. Terus, gue punya siapa dong?"
Bintang melotot mendengar namanya dan nama bocah tengil itu disebut. Ya siapa lagi kalau bukan ... Langit?
"Kok bawa-bawa nama gue sama dia?" protes Bintang.
Alani menoleh dan menyengir. "Hehe ... Ya, lo sama dia juga pasti ada apa-apa kan? Cuma lo-nya aja yang nggak pernah cerita sama gue. Ya kan? Ngaku lo, Bin!"
Bintang mendengus sebal. "Gue cuma temenan sama dia," katanya. Seharusnya Bintang sadar kalau tebakannya untuk Caca itu juga pantas untuk dirinya sendiri--kalau ia juga kurang peka dalam masalah perasaan.
"Awas aja lo! Gue ramal jadian nanti, tau rasa!"
Bintang bergumam saja. Ponsel yang ada di laci mejanya bergetar. Sepertinya ada pesan masuk. Ia mengambil ponselnya dan langsung mengecek siapa yang mengiriminya pesan. Dan ternyata dari Langit. Hm. Pemuda itu. Baru saja disebut, sudah nongol saja.
Langit
Bin, pulang sekolah nanti ke kedai es krim, yuk? Kali ini gue bayarin. Sampai ketemu pulang sekolah nanti, gue tunggu di depan kelas lo ya. Bye, Zeyeng :)
Tong sampah mana tong sampah? Zeyeng ndasmu! gumam Bintang dalam hati setelah membaca pesan itu.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro