Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 21

Berdiri di hadapan pintu rumah berwarna coklat ini membuatnya mulas. Ia meremas tali tas slempang yang dipakanya. Di sampingnya berdiri sosok pemuda yang menemaninya, Langit. Kini, ia dan Langit telah berada di depan pintu rumah orang tuanya.

Bintang menoleh pada Langit yang hanya diam. Ia menunjukkan raut wajah yang campur aduk antara cemas, gelisah, segalanya sampai tak karuan dirasakannya.

"Balik lagi aja ya, Lang?" pintanya sambil menarik ujung kemeja yang Langit pakai.

Langit menggelengkan kepalanya keras. Lalu tangannya segera menekan bel rumah yang ada di samping pintu. Hal itu membuat Bintang menghentakkan kakinya kesal.

"Mau lari terus lo? Selesaikan hari ini juga, gue gak mau tau, pokoknya semua harus kelar hari ini. Dan tugas lo cuma dengerin apa yang mereka jelasin. Pikirin semuanya, jangan egois dan keras kepala. Gue gak suka cewek yang kayak begitu."

What?

Bintang merapalkan do'a dalam hatinya agar ia siap mendegarkan semua penjelasan orang tuanya. Sebenarnya, ia kesal dengan ucapan terakhir yang keluar dari mulut Langit. Memangnya siapa juga yang mau menjadi ceweknya si bocah tengil itu?

Dalam sekejap, pintu itu terbuka. Bintang dan Langit kompak menoleh. Di sana, yang membukakan pintu adalah Tiwi--Mama Bintang. Wanita paruh baya itu membulatkan matanya melihat siapa yang ada di depan pintu rumahnya itu. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca.

"Bi-Bintang? Kamu ... " Tiwi langsung memeluk Bintang sebelum menyelesaikan ucapannya.

Orang tua Bintang tidak ada yang tahu kalau gadis itu akan datang. Yang tahu hanyalah, Langit dan tentu saja ... Wira. Ini semua rencana mereka berdua.

Bintang menoleh pada Langit, kala Mamanya memeluk dirinya dengan erat. Ia mengelus punggungnya sekilas dan menghela nafasnya. Ini awal yang sudah berat baginya sebelum mendengarkan semuanya yang kini telah terjadi.

Langit hanya diam saat Bintang menoleh padanya. Bintang kemudian menurunkan tangannya saat Mamanya melepas pelukan itu. Mamanya mengusap pipinya yang basah dan tersenyum cerah.

"Ayo masuk! Papa ada di dalem kok, sama Cyra juga."

Mereka kemudian memasuki rumah dengan dominan bercat putih itu. Bintang mengedarkan pandangannya. Menatap seisi rumah yang tak berbeda semenjak ia pergi dari sana kurang lebih hampir dua bulan lamanya.

Tiwi, mungkin paham dengan kedatangan Bintang yang mendadak ini. Di dalam hatinya ia sudah menebak maksud dari kedatangan anaknya itu ke rumah. Apalagi selain bukan untuk mendengarkan penjelasan? Dan mau tidak mau, ia harus bisa terima resiko saat setelah Bintang mengetahui semuanya.

Berjalan ke ruang tengah, ada Putra--Papa Bintang dan juga Cyra--adik Bintang sedang bermain. Putra menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia mengangkat kepalanya dan terkejut saat mendapati Bintang lah yang datang ke rumahnya.

Putra berdiri dari duduknya. Tiwi kemudian berdiri di sampingnya, sementara Bintang mencium tangannya. Langit hanya berdiri diam di dekat sofa setelah ikut mencium tangan.

"Kamu ... kembali kan, Bintang? Barang-barang kamu mana?"

Bintang berdiri di depan orang tuanya. Ia menatap Mama dan Papanya bergantian. "Pa, Ma, Bintang cuma mau dengerin penjelasan dari kalian. Kembali atau enggaknya, Bintang gak bisa janji," katanya.

Tiwi menatap wajah Bintang yang tidak berubah itu. Ia kemudian mengangguk dan mengelus lengan kiri Bintang. "Iya, Papa sama Mama bakal ngejelasin semuanya sama kamu." Matanya kini menatap Langit. "Langit, ya? Boleh Tante titip Cyra sebentar? Ajak dia main ke halaman belakang, bisa?"

Langit sudah ingin menjawab, tapi tiba-tiba Bintang sudah bersuara. "Langit di sini, sama Bintang, jangan ke mana-mana."

"Bin, Cyra bisa denger semuanya." Langit membuka suaranya. Ia kemudian melihat orang tua Bintang. "Bisa kok, Tante. Saya ajak Cyra ke belakang ya." Berjalan menghampiri Cyra yang tengah mendongak menatap Bintang--kakaknya yang sangat ia rindukan.

Setelah Langit membawa Cyra ke halaman belakang rumah, Bintang dan kedua orang tuanya mulai berbicara serius. Bintang duduk dengan Tiwi di sampingnya, sementara Putra duduk di sofa yang berbeda.

"Bintang gak tau harus ngomong apa. Karena yang Bintang tau, Bintang cuma harus dengerin aja," ucap Bintang.

Putra menatap Tiwi dan dibalas anggukkan kepala oleh istrinya itu. Ia menarik nafas dalam sebelum berbicara. Mengorek semua kenyataan yang sebelumya berhasil ditutupi dengan rapat. Menatap Bintang yang hanya menatap meja di depannya.

"Ini bermula pada saat Mama kamu dituntut untuk memiliki keturunan oleh keluarga Papa."

Bintang menaikkan pandangannya. Menatap sang Papa yang menatapnya dengan lembut. Tatapan yang sejak dulu ia dapatkan--meskipun pada nyatanya, Papanya itu bukan papa kandungnya sendiri.

"Udah satu tahun Papa sama Mama menikah, tapi belum juga diberi keturunan. Kami berdua udah berjuang berbagai cara buat bisa memiliki keturunan. Gak ada masalah di sini, Papa sehat, begitupun Mama kamu."

"Mungkin, Tuhan belum mempercayai kami buat memiliki seorang anak. Hingga saat kamu hadir, Tuhan memberikan kepercayaan itu kepada Papa dan Mama, Bintang."

Bintang menoleh pada Mamanya, mata wanita itu berkaca-kaca. Mengingat bagaimana dulu ia hampir menyerah dengan keadaan dan ia siap bila akan kehilangan suaminya. Kehilangan cintanya.

"Keluarga Papa--Kakek dan Nenek kamu mendesak Mama buat cepet dapet keturunan. Kalo enggak, Papa akan diceraikan oleh Kakek-Nenek kamu dengan Mama."

"Papa gak mau Bintang, siapa yang mau pisah dengan orang yang kita cintai? Siapa yang mau dijauhkan dengan orang yang kita sayangi? Enggak ada, Bintang, gak ada satu orang pun yang mau dipisah dan dijauhkan oleh orang yang kita cintai dan kita sayangi. Begitupun Papa. Papa gak mau pisah sama Mama kamu."

Tiwi menggenggam erat tangan Bintang. Menyalurkan rasa sayangnya pada gadis itu. Secara tidak langsung menandakan bahwa ia tidak ingin Bintang pergi. Ia ingin Bintang selalu bersamanya.

"Kami tau, waktu satu tahun itu masih pendek untuk bisa mendapatkan keturunan, bahkan di luar sana masih banyak lagi yang diberi jangka waktu yang lama untuk bisa mendapatkan keturunan. Namun, karena orang tua Papa yang keras kepala dan sama-sama egois, mereka selalu mendesak kami."

"Malam itu, bermula pada saat kami pulang dari rumah orang tua Papa, kakek dan nenek kamu. Mereka mendesak lagi, untuk yang kesekian kalinya. Papa muak. Mama kamu pun sama begitu. Kami lelah, harus didesak dan dituntut, padahal yang menjalani ini semua adalah kami."

Dalam pikiran Tiwi, wanita itu mengorek paksa kejadian yang sudah belasan tahun silam lamanya. Tentang keputus asaan. Berputus asa jika ia memang tidak ditakdirkan untuk memiliki keturunan. Keputus asaannya untuk bisa bersama dengan orang yang ia cintai lebih lama lagi.

Bintang, gadis itu diam sambil membayangkan apa yang terjadi pada Papa dan Mamanya dulu. Ia tahu, itu pasti sakit. Papanya menarik nafas dalam sebelum melanjutkan lagi penjelasannya.

"Setelah pulang dari sana, udah cukup larut malam waktu itu. Jalananpun udah sepi, cuma ada beberapa kendaraan yang masih melintas. Tepat di jalanan yang sepi, kami liat satu mobil yang diam di tepi jalan. Papa berhentiin mobil di deket mobil itu. Papa pikir mogok atau kenapa. Ternyata, pas Papa dan Mama liat, ternyata mobil itu nabrak pohon."

"Papa dan Mama langsung keluar dari mobil, lalu mengecek apa di dalem mobil itu ada orangnya atau enggak. Dan ternyata ada. Dan di sana, ada seorang bayi dan juga sepasang suami-istri."

"Dan bayi itu, adalah kamu Bintang," ungkap Mamanya.

Bintang menoleh ke samping. Menatap wanita itu yang pipinya sudah basah karena air mata. Medadak jantung Bintang berpacu lebih cepat. Bahkan bibirnya terasa bergetar sekarang.

"Ma-maksudnya?"

"Kami mengambil kamu dari orang tua kandung kamu yang saat itu pingsan dengan luka yang ada di tubuhnya. Kami memanfaatkan keadaan itu untuk bisa mengambil kamu dan menjadikan kamu sebagai anak kami. Membiarkan orang tua kamu kehilangan anaknya."

Deg

Bintang tak bisa lagi membendung air matanya. Ia menggelengkan kepala tak percaya. Menatap Papanya yang memberikan tatapan penyesalan.

"Maafin Papa dan Mama yang egois. Mengambil kamu dari orang tua kamu, Nak," ujar Papanya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Ingin menangis menyesali semuanya, namun percuma saja. Hanya sia-sia.

"Kalian jahat. Kalian gak mikirin gimana perasaan orang tua kandung Bintang? Kalian kenapa tega? Bintang ... salah apa sampe diambil kalian gitu aja?"

Dalam hati Tiwi dan Putra, hatinya terenyuh ketika Bintang menyebut kata orang tua kandung. Mereka tahu, ini kesalahan mereka. Dan oleh karena itu, mereka akan terima apa pun risikonya. Bahkan jika harus kehilangan Bintang sekalipun, mereka rela. Jika itu yang terbaik untuk Bintang.

"Terus, kalo kalian udah dapet anak, kenapa Bintang gak dikembaliin sama orang tua Bintang? Atau kalian buang aja di pinggir jalan? Kenapa? Karena kasihan? Bintang gak butuh belas kasihan kalian! Bintang ... hiks, gak tau harus gimana. Kenapa kalian tega? Kenapa?..."

Bintang terisak. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah dan tak bisa dibendung lagi. Tiwi pun ikut terisak. Wanita itu memeluk lembut tubuh Bintang yang sudah bergetar.

Putra beranjak dan duduk di bawah karpet. Di samping kaki Bintang. Menggenggam kedua tangan gadis itu yang sebelumnya menutupi wajah. Ia mengusap air mata anak gadisnya yang sudah remaja itu. Ia menggenggam tangan itu dengan lembut. Mengelusnya dengan ibu jari dengan gerakan pelan.

"Maafin kami ya, Nak. Jujur, Papa menyesal dengan semua yang udah terjadi. Kami egois, kami tau itu. Maafin kami ya, Bintang. Papa sayang banget sama Bintang, begitupun Mama. Gak ada satu orang pun yang gak sayang sama kamu. Papa mohon, Bintang boleh marah atau pukul Papa. Sepuasnya. Sepuas yang Bintang mau. Tapi, Papa mohon, maafin Papa dan Mama. Jangan tinggalin kami lagi. Papa mohon, Sayang."

Air mata itu kembali deras membasahi pipi. Menjelang siang itu, awan memang cerah. Tapi tidak dengan mereka. Hati mereka kini sedang tertutup awan mendung. Gelap. Dan kemudian hujan. Menangis atas semua yang terjadi kini karena ulah masa lalu.

Cukup jauh dari ruang tengah, Langit memperhatikan. Ia menatap mereka dengan ekspresi yang tak bisa dibaca. Lalu menghembuskan nafas beratnya.

"Semoga, gue bisa gak bikin lo nangis kayak gini lagi."

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro