Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 13

"Kemaren lo ijin pergi dari sekolah itu ada apa sih, Lang?" tanya Refan.

Di jam kosong sebelum bel pulang ini, mereka gunakan untuk mengobrol biasa setelah bermain game online. Mabar istilahnya. Di dalam kelas pun, yang lainnya sibuk masing-masing dengan kegiatannya.

Langit duduk dengan Malik, sedangkan Refan duduk di depan mereka dengan Agam duduk di sampingnya. Refan dan Agam duduk menghadap pada Langit dan Malik. Sudah bersiap untuk menggosip.

"Kan gue udah bilang kalo ada urusan," jawab Langit.

Agam mengernyit. Kemudian berkata, "Tapi, kata anak-anak yang gue denger itu, lo pergi sama anak kelas IPA 2."

Malik melotot, Refan menatap was-was pada Agam. Dan Langit menggaruk pelipisnya bingung. Empat pemuda itu salih bertukar tatapan. Bingung.

"Beneran, Lang?"

"Serius, Onta?"

Langit menampol Malik dan Refan bergantian. "Berisik lo pada!" cetusnya.

"Jadi, bener kan? Siapa tuh nama ceweknya? Lintang? Bintang? Angkasa? Meteor?" cerocos Agam. Mendapati pelototan dari Langit.

"Bintang, woy!" kata Langit ngegas.

"Nah kan, ngaku!" Agam menjentikkan jarinya.

Langit mengumpat karena keceplosan. Sementara Malik, Refan dan Agam tersenyum jail menatapnya.

"Hiya ... punya gebetan nih ceritanya?" goda Malik. Kemudian tertawa dan dihadiahi gulungan kertas oleh salah satu siswi karena merasa terganggu oleh suara tawanya yang nyaring.

"Dih! Jangan dilemparin gulungan kertas juga dong!" teriak Malik.

Siswi itu mendelik sebal. "Berisik! Dasar bocah sinting!"

Refan dan Agam tertawa. Malik selalu saja ribut dengan teman kelasnya yang perempuan, meskipun karena masalah sepele. Mengabaikan siswi itu, Malik kembali memfokuskan dirinya pada Langit.

"Langitai! Gue nanya sama lo. Jawab ngapa!" sungut Malik.

Langit jadi geram. "Apanya yang kudu dijawab, Malik?"

Malik gemas pada teman sebangkunya itu. "Itu lho yang lo punya gebetan anak IPA 2."

"Gue bingung," ucap Langit.

"Bingung kenapa?" tanya Agam.

"Bingung aja. Dia sebenernya gebetan gue apa bukan, ya?"

Refan memukul meja. "Yeuh, sambla! Kalo lo deket sama dia ya berarti udah jelas dong kalo dia itu gebetan lo," katanya.

"Bener tuh kata Refan. Terus juga, lo kan kemaren pergi sama dia. Ke mana dah tuh, hayo?"

"Gue kemaren ada urusan sama dia."

Malik mengibaskan tangannya di depan Langit. Membuat pemuda itu menjauhkan mukanya ke belakang.

"Halah! Urusan apa? Urusan pendekatan? Basi, Lang, basi!"

Langit meninju lengan temannya itu. "Urusan pokoknya mah. Kalian kepo! Cowok kok kepo-an," ejeknya.

"NAJIS!"

Pekik mereka bersamaan. Langit tertawa mendapati muka teman-temannya yang nampak kesal.

•~•

"Mau langsung pulang atau ke mana dulu, gitu?"

Di jam pulang sekolah ini, Langit sudah berada di depan kelas Bintang. Tepat setelah gadis itu keluar dari dalam kelas, ia langsung bertanya. Bintang, gadis itu memegang kedua ujung tali tasnya dan berdiri di samping Langit.

"Pulang, mungkin? Gak tau juga sih ..." sahut Bintang menjeda, "Eh, gue mau latihan nyanyi buat lomba. Jadi pulang aja," lanjutnya.

Langit mengernyit. "Bukannya kalo latihan di sekolah ya, Bin? Kan waktu itu lo latian di ruang musik?"

"Iya, itu pas latihan pertama cuma kayak diskusi doang."

"Oohh ... Terus kenapa sekarang latihannya gak di sekolah aja?"

Bintang berdecak. "Kepo!" kemudian berlalu meninggalkan Langit yang melongo.

"Lha? Ditinggalin ayang beb."

Langit menyusul Bintang. "Bin? Latihannya di rumah gue aja gimana? Di rumah gue ada gitar kok tenang aja. Tapi, kalo lo gak mau, ya gak papa sih," ucap Langit dari arah belakang.

Bintang memutar badannya sambil terus berjalan. Ia kini berjalan seperti undur-undur yang berjalan mundur. Dan Langit tersenyum geli dalam hatinya saat melihat gadis itu berjalan mundur dengan percaya dirinya.

"Di rumah lo ada siapa?" tanyanya.

"Bin, jalannya yang bener. Nanti nabrak, ih!" Suara Langit sangat menggelikan terdengar saat mengucap kata ih.

Bulu kuduk Bintang langsung meremang kala mendengarnya. Tapi, ia berusaha untuk biasa saja. Ia masih berjalan mundur, tak menghiraukan ucapan Langit.

"Dih, gue nanya juga. Di rumah lo ada siapa, Mardani?!" Suara Bintang sedikit ngegas.

"Mardani rambut lo botak!" cetus Langit.

Bintang memutar bola matanya malas. Berhenti melangkah. Membuat Langit pun ikut berhenti. Mereka kini berhadapan dengan jarak satu meter.

"Gue serius, badak!" Bintang emosi.

"Kok lo hobi banget sih nyebut gue Badak? Apa sangkut pautnya gue sama tuh hewan coba? Di mana letak kesamaannya?" Drama sekali Langit ini. Ia bertanya seolah-olah hatinya sangat tersakiti kala mendengar dirinya disebut Badak oleh Bintang.

Bintang menggelengkan kepalanya. "King Drama! Lebay!" cetusnya.

Langit cemberut. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia sedang sebal karena ucapan Bintang. Ia melipat tangannya di dada.

Bintang menahan nafasnya sebentar. Lalu berdehem pelan tanpa disadari oleh pemuda yang ada di depannya itu. Selama ia kenal dengan Langit saat masih kelas sepuluh, ia tak pernah melihat ekspresi pemuda itu seperti sekarang ini. Dan itu membuatnya--sedikit terkejut.

"Minta maaf lo, Bin, udah ngatain gue Raja Drama!" tuntut Langit.

Bintang memutar bola matanya. Malas meladeni Langit yang jago mendrama.

•~~•

"Assalamu'alaikum, Bu! Selamat siang! Langit pulang bawa cewek cantik yang masih belum sah menjadi pacar!"

Sontak saja Bintang yang berjalan di belakangnya itu mendorong tubuhnya ke depan, sehingga membuatnya hampir tersungkur. Langit, pemuda itu berteriak memasuki rumahnya. Ya, kini mereka berdua berada di rumah Langit. Setelah meyakinkan Bintang kalau tidak apa-apa jika gadis itu ke rumahnya, ia langsung tancap gas untuk pulang ke rumah.

Sebenarnya Bintang asing untuk datang ke sini dan merasa canggung. Ini baru pertama kalinya ia ke rumah Langit, dan mengetahui bahwa rumah pemuda itu ukurannya hampir sama dengan rumah Papa-Mamanya.

Ngomong-ngomong tentang kedua orang tuanya itu, Bintang diberi kabar oleh Wira kalau Mamanya besok sudah bisa pulang ke rumah karena kondisinya yang sudah membaik. Dan ia bersyukur mendapat kabar itu, tetapi ia tidak akan mengunjungi Mamanya lagi. Tidak sekarang. Mungkin nanti.

Tanpa diduga, seorang gadis kecil dengan rambut sebahu itu berlari menghampiri Langit yang sudah merentangkan tangannya. "Aka!" seru gadis kecil itu, Chana.

Langit menangkap dan menggendong tubuhnya. "Kenapa? Kangen, ya?"

Chana terkikik geli. Lalu menganggukkan kepalanya. Ia menolehkan kepalanya ke samping, melihat ada orang lain di belakang tubuh kakaknya itu. Ia langsung meminta turun dari gendongan kakaknya dan berjalan mendekati Bintang.

"Alo! Aka ciapa?" tanyanya.

Bintang tersenyum, dan mensejajarkan tubuhnya agar sama dengan tinggi tubuh Chana. Ia mengusap pipi gadis kecil itu. Langit meninggalkan mereka berdua, menuju ibunya berada.

"Hai! Nama kakak Bintang. Kamu siapa?"

"Chana."

"Oohh, Chana. Namanya lucu, kayak orangnya."

Lantas Chana nyengir kuda. Kemudian menarik tangan Bintang untuk mengikutinya. Di ruang tengah ada Litta, ibunya Langit yang kini menatap Bintang dengan raut kaget. Bintang sedikit meringis mendapat tatapan itu.

"Hai, Tante," sapa Bintang mencium tangan Litta.

Litta tersenyum dan menyuruh Bintang untuk duduk di sampingnya dengan Chana yang duduk di pangkuannya.

"Kamu temennya Langit?" tanyanya.

Bintang mengangguk. Jari-jari tangannya sedang dimainkan oleh Chana. "Iya, Tante."

"Apa kamu perempuan yang waktu itu Langit ajak hangout malam Minggu?"

Eh?

Bintang jadi salah tingkah ditanya seperti itu. Pasalnya, memang ia lah yang diajak keluar ke pasar malam saat malam Minggu kemarin. Yang jadi pertanyaannya saat ini adalah kenapa ibunya Langit bisa tahu kalau Langit akan mengajak perempuan saat hangout malam Minggu itu?

"Kok, Tante bisa tau kalo Langit ngajak perempuan pas malam Minggu?"

Litta terkekeh kecil. "Ya, tau dong. Langit kan ijin sama tante mau ngajak perempuan hangout, gitu."

Bintang terdiam. Ia merasa malu sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro