Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Beware of Fairytales

Sinfoni terang bulan
Nyanyikan padaku tatkala bakung putih bersemi
Bimbing aku pada Elysium
Hadang ia menelanku
Karena aku jiwa yang rapuh
Sementara ia lebih buruk dari kematian

Auristela menyenandungkan potongan-potongan lirik lagu yang terlintas di kepalanya. Kakinya yang telanjang menapaki ubin kamar dengan perlahan, menari dalam kegelapan kamarnya sendiri. Ia berputar sekali sebelum berhenti tepat di bawah basuhan cahaya rembulan yang merasuk dari jendela besar yang dibiarkan terbuka. Cahanya laksana berkah surgawi, menyirnakan separuh kegelapan yang memeluk sepanjang malam.

“Dongeng apa yang akan dibawanya?” Manik matanya yang sewarna kastanye berbinar, memikirkan kisah-kisah yang akan dibawa peri cantik dari ranah dongeng paling menakjubkan. Ia akan terjaga sepanjang malam dan pergi ke kasurnya menjelang pagi.

Gadis berusia sepuluh tahun itu duduk melipat kakinya di depan jendela. Jam besar yang dilingkupi kegelapan menunjukkan pukul sepuluh. Untuk seukuran anak kecil, matanya belum dirambati kantuk sama sekali. Sebagai putri seorang Count yang bangkrut, ia tak mendapatkan perlakuan layaknya nona muda lagi. Para pelayan—yang seharusnya mengurusi dirinya—sibuk mengutili sedikit demi sedikit sisa harta tuannya sebelum kabur, sampai-sampai tak ada waktu sekadar membantu nona muda mereka bersiap untuk tidur.

Ayahnya, sang Count, hanya terpuruk menghabiskan waktunya untuk mabuk-mabukan di atas sofa ruang tamu hingga wajahnya macam pengemis. Berkhayal tentang kuasanya sebagai bangsawan paling berlimpah hartanya di seluruh benua. Sedangkan ibunya yang sudah gila dipasung di penjara bawah tanah. Diisinya sisa usia yang sia-sia itu dengan jeritan dan ratap tangis. Tinggalah Auristela sebagai satu orang waras, seorang gadis kecil yang menghabiskana waktu di kegelapan kamarnya untuk bermimpi, menekuni kisah dalam dongeng, atau menyenandungkan penggalan lirik lagu yang muncul di penghujung ingatan.

Bayangan di bawah kasurnya menggeliat saat Auristela menatap bulan purnama. Matanya yang bulat sempurna berkedip-kedip, memperhatikan punggung gadis kecil itu. Lengannya yang hanya berupa bayangan hitam bergerak-gerak merambati lantai, berusahan menarik dirinya dari bawah kolong.

“Ja-ng-an te-mu-i di-a.” Suaranya yang serak dan terputus-putus membuat Auristela menoleh dengan wajah berkerut. Bunga-bunga yang mekar di dalam hati sebelumnya melayu dalam satu kedipan.

“Menyingkirlah, Jelek!” Gadis itu beranjak gusar, menendang-nendang bayangan agar kembali ke dalam kegelapan. Ia tak tahu pasti tentang bayangan itu, tapi dia monster penghuni kolong tempat tidur yang menjengkelkan. Tubuhnya yang menggeliat dalam kehgelapan membuatnya tampak bagai serangga paling menjijikan. Auristela lantas melemparkan barang-barang yang dapat digapainya, berteriak dan menjerit hingga mengentakkan kakinya.

“Auris kecil?” Saat Auristela sibuk merutuk, seorang pemuda dengan daun telinga meruncing dan surai keemasan menjuntai muncul di muka jendelanya. Manik matanya yang sewarna batu zamrud berkilat oleh cahaya rembulan.  “Kupikir kau tertidur karena tidak bernyanyi.”

“Chevel!” Auristela bersorak dan menghambur kepada pemuda itu. “Aku menunggumu.” Ia menenggelamkan wajah pada perutnya dan mendapati aroma pinus dari jubahnya.

“Maafkan atas keterlambatanku, Nona kecil.” Jemari Chevel mengelus pucuk kepala Auristela sebelum duduk di kosen jendela. “Kau tidak bernyanyi untukku?”

Auristela menjereng gigi, melepaskan pelukannya. Ia membuka mulutnya dengan wajah berseri. “Saat anak-anak mulai bermimpi, para peri mengetuk jendela kamar mereka. Satu bintang harapan dan serbuk emas, kau akan bahagia.”

Ia memutar tubuh, membiarkan sinar rembulan membasuh tubuh kurusnya yang tak pernah kehilangan pesona gadis kecil yang jelita. Sementara Chevel mendengarkan lagunya dengan segaris senyuman.

“Hmm, dari mana kau dapatkan lagu-lagu itu?” Chevel mulai bertanya saat Auristela menyelesaikan lagunya.

Mata gadis itu berbinar, seperti mendapat pasokan cahaya ekstra dari bintang-bintang. “Nanny-ku menyanyikannya saat aku masih kecil.” Ia tertawa kecil, merasa sangat senang. Ia tak pernah menyangka bahwa lagu masa kecil yang tak ia ingat dengan baik dapat mempertemukan dirinya dengan peri cantik. “Apa yang Tuan Peri bawa hari ini?” matanya semakin berbinar tatkala memikirkan hadiah untuknya.

Chevel mengeluarkan beberapa buku dari jubah dan memberikannya pada Auristela. Buku itu basah oleh air dan lumpur serta dipenuhi aroma pepohonan pinus hutan. Tampak bahwa ia memungutnya sembarangan dari suatu tempat.

“Apa ini dari hutan?” Auristela memandangi buku dongeng yang Chevel bawakan untuknya, sebelum menggapai sapu tangan dan mengelapnya dengan penuh perhatian.

“Anak-anak bermain di hutan dan meninggalkan buku mereka di sembarang tempat.”

Auristela beranjak dan berdiri di sisi Chevel. Matanya yang penuh mimpi menatap kegelapan hutan yang hanya tampak sebagai lahan dengan jajaram pinus yang rapat. Pucuk-pucuk pohon pinus itu berusaha menggapai bulan yang benderang, mendengki dengan kecermelangannya. Orang-orang enggan datang ke sana. Hutan itu telah dikutuk dan siapa pun yang masuk dalam pelukannya tak akan pernah kembali, sekadar memberi kabar pada telinga penasaran denga apa yang ia lihat di dalamnya.

Namun, cerita yang keluar dari bibir Chevel benar-benar berbeda adanya. Tuturnya, hutan itu hanya dapat dimasuki orang-orang berhati bersih, terutama anak-anak--di mana belum ada kebencian dan dosa di hati mereka. Hutan itu adalah tempat di mana banyak dongeng dan mimpi menjadi kenyataan. Peri-peri cantik, kunang-kunang yang menari, bintang-bintang yang mengabulkan permintaan, serta serbuk emas yang dapat membuatmu tidur dengan mimpi paling indah. Chevel sendiri mengaku datang dari pelosok hutan yang paling jauh.

“Hei, Tuan Peri. Apa memang begitu?”

Chevel menatap Auristela dengan kernyitan di dahinya. Namun, ia menyadari apa yang dipikirkan gadis kecil itu. Wajahnya yang cantik menampilkan segaris senyum indah. “Apa aku tampak seperti pembohong?”

Auristela menyisir Chevel di hadapannya. Ia berulang kali memperhatikan wajahnya yang tampak seperti pahatan yang paling sempurna, surai emas yang dikaruniai kilauan, dan manik zamrudnya yang cemarlang. Sekilas, dirinya tampak seperti seseorang yang turun dari langit dan diberkahi oleh cahaya bulan sepanjang hidupnya. Ia adalah manifestasi dari peri-peri pada buku dongeng bergambar yang Auristela koleksi. Tidak, dia hampir mencapai tingkatan keindahan malaikat jika sepasang sayap putih terbentang di punggungnya.

Tersenyum, Auristela menyandarkan tubuhnya pada Chevel. “Apa semua peri di hutan cantik sepertimu?”

“Ya.” Chevel mengangguk. “Kami membasuh diri di telaga cahaya.”

Auristela memandang Chevel dengan kekaguman yang meluap-luap. “Apa aku bisa mandi di sana juga?”

Chevel tertawa lantas menegelus pucuk kepala Auristela. Dia gadis yang banyak bermimpi di tengah kehidupan yang mengutuknya. Betapa menakjubkannya bahkan ia tetap tampak cemerlang dengan kegelapan yang berusaha menelannya. Para pelayan manor tampak tak pernah sekalipun menyambangi kamarnya, membuatnya kini tampak sebagai ruangan tua yang dipenuhi debu dan barang bersepah. Kandil-kandil besi dengan lilin yang telah meleleh seutuhnya menjadikan kamar itu sarang kegelapan.

Pemuda itu menatap Auristela penuh kasih. “Jika kau ingin ikut denganku, aku akan membawamu kepada telaga itu. Tidak, aku akan membawamu ke hutan di mana dongeng dalam bukumu menjadi kenyataan.”

Sebelum Auristela menjawab, bayangan di bawah tempat tidur kembali menggeliat. Ia tampak susah payah berteriak pada keduanya, “Ja-ngan per-gi de-ngan-nya!”

Auristela bergidik jijik dan merapatkan dirinya pada Chevel. Makhluk yang menghuni kolong tempat tidurnya sejak dua tahun belakangan kini berusaha keluar dari kekangan kegelapan. Tubuhnya yang berupa bayangan hitam merambat di lantai, berusaha mencapai Auristela dengan seluruh dayanya. Namun, sebuah panah cahaya membuatnya menjerit-jerit. Tubuh bayangannya sejenak sirna sebelum kembali membentuk raganya yang niskala. Tubuhnya bergerak-gerak seperti lidah api yang merambat pada potongan kayu. Sementara Chevel menciptakan panah cahaya lain di telapak tangannya.

“Menyingkirlah, makhluk menjijikan.” Sorot mata Chevel menajam, seolah-olah dapat merobek apa pun yang ditatapnya. Auristela melihat ekspresi baru dari wajahnya yang cantik. Ekspresi kebencian yang tak pernah gadis itu bayangkan akan muncul di wajah perinya.

“Au-ris-te-la.” Suara bayangan itu lebih parau daripada sebelumnya. “men-ja-uh! Dia—“

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, makhluk itu diliputi sihir cahaya Chevel. tubuhnya terselubung penuh hingga tak dapat terlihat. Jeritan kesakitan terdengar begitu keras, merobek telinga siapa pun yang mendengarkan. Di tengah rasa sakitnya yang luar biasa, makhluk itu masih terus berteriak kepada Auristela dangan kalimat yang sama, memintanya menjauh. Semakin lama, kalimat itu terdengar seperti tangis keputusasaan.

Auristela yang kebingungan dengan situasinya, menatap wajah Chevel yang dipenuhi kemarahan. Namun, pemuda itu menyadari tatapannya dengan cepat dan berlutut padanya. Telapak tangannya yang sedingin embun di pagi hari mengelus pipi gadis itu. “Tidak papa, Auris kecil. Semua baik-baik saja,” bisiknya terdengar seperti bujukan. “Ikutlah denganku dan tinggalkanlah semua hidupmu yang tidak nyata ini.”

Sejak awal lebih baik untuknya meninggalkan manor dan tinggal di hutan tempat semua dongeng menjadi nyata. Mengikuti Chevel juga tampak bukan masalah. Namun, kenapa kini hatinya merasa kalut? Auristela mencuri pandang ke arah makhluk penghuni kolong tempat tidurnya yang ditelan cahaya, tangisannya memilukan hatinya. Ia mulai mengasihani makhluk yang tak ia ketahui asal-usul atau identitasnya itu. Jika ia makhluk yang jahat, ia sudah akan melukainya saat pertama kali muncul atau paling tidak melukainya saat ia tengah terlelap. Alasan keberadaannya membuat Auristela terlarut dalam pikirannya sejenak dan melupakan Chevel di hadapannya. Kekalutan hati mulai menelannya.

“Auris kecil.” Panggilan lembut Chevel mengambil perhatiannya lagi.

“Chevel, kau ini sebenarnya apa?” Pertanyaan yang tidak gadis itu pikirkan keluar dari bibirnya begitu saja.

Chevel memasang ekspresi rumit yang tak terbaca, kebungkamannya kini menjadi sejuta kemungkinan. Namun, wajahnya berubah dengan cepat. Ia menghela napas panjang sebelum berkata, “Apa yang membuatmu gelisah? Kau tentu mengetahui bahwa aku peri hutan.”

“Kenapa kau melukainya?” Auristela menunjuk bayangan hitam yang ditelan oleh cahaya dengan jemarinya yang mungil.

“Karena dia makhluk yang jahat.” Chevel menyelipkan anakan rambut Auristela yang terburai pada telingannya. ia mendekatkan bibirnya pada telinga gadis itu dan mulai berbisik, “Ikutlah aku sebelum semuanya menjadi lebih buruk.”

Pemuda bertelinga runcing itu mengulurkan tangan. Sebelum berhasil menggapainya, tubuh Auristela ditelan kegelapan dan terdorong mundur. ia melihat Chevel dihantam bayangan hitam yang pekat sebelum terlempar jauh. Tubuhnya menghantam dinding yang catnya telah mengelupas. Ia terbatuk sebelum berusaha untuk bangkit.

Auristela yang terkejut menatap sosok dalam balutan gelap di hadapannya. Seorang perempuan bersurai hitam berdiri terhuyung, beberapa luka terbuka menghiasi kulitnya yang berwarna pucat, sementara jubah hitamnya koyak di beberapa bagian. Tubuhnya bergetar tatkala menahan perih dari segala luka yang ditorehkan padanya.

“Aku tak membiarkanmu lagi.”

Auristela mengingat suaranya. Kini, suara itu begitu jernih didengar telinganya, tak terhalang oleh parau, tidak pula terputus-putus. Suara yang hanya di dengarnya di bawah kolong tempat tidurnya kini menunjukkan wajah aslinya. Sekalipun demikian, gadis itu kini dihantam kebingungan demi kebingungan di kepalanya. Mengapa peri dan penghuni kolong kasurnya saling membenci?

“Auristela sayang, mundurlah.” Perempuan berambut hitam itu menatap Auristela dengan tatapan sendu, luka-luka di wajahnya membuatnya tampak seperti binatang sekarat. “Kau akan terluka,” katanya membuat gadis kecil itu beringsut mundur.

Dengan ketidakmengertiannya, Auristela mengambil sisi lain kamar, tepat di samping lemari kayu pohon ek. Ia menatap Chevel berubah menjadi seberkas cahaya, begitu pula perempuan berambut hitam kembali pada wujud bayangannya. Cahaya dan bayangan berusaha saling menelan satu sama lain, membuat kamar yang barangnya bersepah makin porak poranda. Mereka bertarung dengan cara tak biasa, di mana Auristela tak dapat mengenali dengan pasti apa yang mereka lakukan. mereka tidak beradu rapalan sihir atau saling menghunuskan bilah senjata, mereka hanya saling menelan satu sama lain. Dominasi cahaya atas bayangan, begitu pula sebaliknya.

Gadis pemilik mata sewarna kastanye yang bergetar itu meringkuk, berharap bahwa keajaiban membawanya pergi. Pertarungan mereka seolah mengikis rasa amannya. Ia merangkak perlahan ke sudut ruangan sebelum menyinggung benda keras dengan telapak tangannya. Auristela terperanjat dan melocat mundur. Dalam kegelapan kamarnya, ia menyadari seonggok kerangka terbujur di salah satu sisi ruangan, di mana ia tak pernah menyadarinya. Kerangka tulang itu dibalut pakaian one piece biru muda, serupa dengan apa yang selalu dipakainya. Seberkas ingatan yang terlintas di kepalanya begitu saja membuat air mata gadis itu luruh membanjuri pipi.  Sebuah kenyataan menghantamnya, seperti dilecuti keras-keras.

“Ini kehidupanmu yang tidak nyata, Auristela Wynford.” Auristela mendengar suara Chevel dengan kesan yang berbeda di telinganya. Gadis itu menyadari perempuan bersurai hitam terbaring dengan tubuh penuh luka, menyisakan pemuda bersurai keemasan yang mengeklaim kemenangan.

“Aku sudah mati?” Chevel tak menjawab, dia hanya tersenyum. “Kau akan membawaku ke Elysium?”

Chevel tertawa. “Pemandu rohmu ada di sana.” Ia menunjuk perempuan berambut hitam sebelum berjongkok di hadapan Auristela yang matanya memerah. “Sayang sekali dia tidak menjalankan tugasnya dengan baik.”

“Lalu kau ini apa?”

Tangan dingin Chevel menggapai Auristela dan pandangan gadis itu berubah menjadi kegelapan. “Aku sesuatu yang tak akan kau harapkan untuk datang. Semua dongeng itu adalah kebohongan."

Sinfoni terang bulan
Nyanyikan padaku tatkala bakung putih bersemi
Bimbing aku pada Elysium
Hadang ia menelanku
Karena aku jiwa yang rapuh
Sementara ia lebih buruk dari kematian

THE END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro