Eunbi 2
Sepertinya sudah berjam-jam aku terkapar di sini. Berbaring kesakitan dalam kondisi baru sadar. Aku tak tahu bagian mana saja yang sudah hancur. Kepalaku tak bisa bergerak. Ada yang menahan kepalaku. Mataku juling dalam usaha melihat sesuatu di hidungku. Rupanya selang dari ventilator mekanik. Mulutku direkatkan selang untuk menyambungkan nutrisi langsung ke dalam perut.
Dadaku entah berisi kabel apa lagi. Aku tak berpakaian, kecuali sehelai selimut tipis menutupi sebagian badanku.
Ini memang bukan pertama kalinya aku dalam kondisi naas. Tulang pipiku pernah hancur. Mungkin pula badanku yang lain hancur sekarang.
Aku tidak menangis. Namun perasaan sedih mendominasi.
Aku memejamkan mata, berusaha tenang. Aku tak ingat berapa kali pintu ruangan dibuka-tutup. Dokter dan perawat mengecek kondisiku secara teratur. Hanya mataku yang mengekori pergerakan para dokter. Bibirku bahkan berat untuk tersenyum.
Ingin kutanyakan banyak hal. Berapa lama aku ada di sini? Apa yang terjadi padaku? Apakah aku sudah benar-benar lumpuh? Apakah tidak ada keluargaku yang mengunjungiku. Kenapa orang tuaku tak datang. Kenapa Seongwoo tak segera di sini?
Seongwoo-ya, panggilku dalam hati. Aku kembali memejamkan mata. Lelah menatap atap rumah sakit yang serba biru.
Anehnya, atap rumah sakit ini sangat bagus. Pembersih udaranya bekerja dengan sangat baik. Dilihat dari interior kamarnya, ini adalah kamar VVIP. Tidak ada pasien lain. Hanya ada aku sebagai satu-satunya pasien.
Hah?
Memangnya siapa yang mengurusku? Sampai aku dirawat di tempat yang serba eksklusif ini.
"Anda sudah sadar, Nyonya?"
Bah... Aku dipanggil Nyonya? Dokter, aku bahkan belum menikah!
Aku susah payah mengeryitkan dahi. Tetapi ekspresi wajahku tak berubah.
"Nyonya Cha, kami akan mengganti perbanmu." Perawat itu bicara padaku, seolah mereka minta izin.
Nyonya Cha? Siapa dia? Kenapa mereka memanggilku Nyonya Cha. Hei, namaku Jo Eunbi!
Aku ingin berteriak. Tetapi suaraku tak mampu berbunyi.
Suara derap sepatu sangat bising. Ruangan terasa sangat sesak. Tetapi pria itu memelukku sebentar. Setiap jengkal wajahku yang bebas lilitan selang dan kabel, diciumi olehnya. Ciumannya tidak bernafsu. Hanya senyum penuh kasih. Aku sangat marah pada pria itu yang seenaknya menciumku.
Pria itu asing. Wajahku mengerut berusaha mengenalinya. Tetapi pria bersetelan formal itu–secara mengejutkan—berwajah penuh belas kasih.
"Puji Tuhan, syukurlah kau sadar, Eunra-ya." Dia mengucapkan syukur dan berlinang air mata. Telapak tangannya mengelus pergelangan tangan kiriku.
Namaku Jo Eunbi. Bukan Eunra, tegasku berulang kali. Jeritanku hanya bergaung di dasar kerongkongan. Desakan itu menyebabkan tekanan darahku naik. Suara bip bip bip dari Beside Monitor semakin nyaring.
"Apa yang terjadi padanya, Dokter Hyuk? Istriku kenapa tak bisa bicara?" desak pria itu panik. "Eunra-ya, kau baik-baik saja?" Pandangan pria itu beralih padaku.
Aku masih diam.
"Nyonya Cha mengalami Spinal Cord Injury atau cedera syaraf tulang belakang yang parah. Mungkin dia masih shock. Bila menolak operasi, badannya membaik enam bulan ke depan," tutur Dokter Hyuk kebapakan.
"Tapi kenapa tak bisa bicara?" tuntut pria itu semakin marah pada Dokter Hyuk.
"Apakah Nyonya Cha pernah mengalami kecelakaan besar sebelumnya?" tanya Dokter Hyuk.
"Ya, dia pernah jatuh di Irlandia. Kecelakaan motor." Pria itu mengiyakan pertanyaan Dokter Hyuk.
"Nyonya Cha sudah diperiksa dengan X-Ray, CT Scan, MRI dan uji saraf. Hasilnya lebih parah dari kelihatannya. Dia kehilangan pita suaranya dan syaraf motoriknya tidak berfungsi. Namun kita bisa menyembuhkannya dengan bedah syaraf. Rasio kegagalan cukup riskan." Dokter Hyuk sangat menyesal telah mengatakan diagnosa itu.
Untuk apa aku masih hidup, tetapi kondisi badanku lumpuh dan bisu? Bagaimana aku bisa menemui Im Seongwoo?
"Aku akan melakukan segala cara untuk menyembuhkan istrimu, Tuan Cha." Dokter Hyuk menundukkan separuh badannya dengan hormat. Di mataku, seharusnya Dokter Hyuk yang menerima hormat karena umur. Bukan sebaliknya. Tetapi pengaruh kuasa barangkali yang menjungkirbalikkan etika.
Kelopak mataku bergetar. Aku berusaha menolak kata-kata yang menjadi vonis. Ini sungguh tidak adil. Aku menjerit dalam hati. Seluruh badanku tegang. Ketegangan itu semakin kencang. Aku kejang hebat. Tidak terima atas kondisi tubuhku.
Pergerakanku cepat diketahui oleh mesin. Dokter Hyuk langsung siaga.
"Beri Levodopa 100 ml dan Carbidopa 25 ml!" Dokter Hyuk sibuk. Dia menahan laju tanganku yang kejang. Nyeri mulai merambat di sekujur tubuh. Pria yang mengklaimku sebagai istrinya panik, terus memanggilku dengan nama Eunra tanpa hentinya.
Tekanan di seluruh otot yang berkontraksi perlahan mengendur. Aku terkulai lemas. Sepertinya ada pengaruh kantuk yang disuntikkan ke selang infus. Mataku mulai meredup. Pria itu kembali muncul di sebelahku.
Air mata menjatuhi pipinya, "Istriku, kau harus sembuh seperti sedia kala," isaknya terguncang.
Gelap. Hanya hitam yang tampak pada penglihatanku. Hidupku telah hancur.
Dan bahkan, aku tak bisa menyebut namaku dengan benar. Jati diriku tenggelam sepenuhnya.
***
Minhyun memilih tes fisioterapi. Dia lebih takut menghadapi sebuah kematian. Menurut dokter bedah di rumah sakit ini, tingkat harapanku tipis sekali. Tak ada gunanya dioperasi kalau keadaanku sudah parah. NamunDokter Hyuk terus menyakinkanku, walau dokter lain mengatakan hal yang berbeda. Dengan sebuah keajaiban, aku pasti bisa bicara dan berjalan.
Minhyun memilih menunggu mentalnya siap. Bisa saja aku malah buta bila operasi tak sesuai rencana. Lebih mungkin aku mati begitu saja. Toh aku sudah koma sekian lama.
Secara bertahap, serangkaan tes fisioterapi kujalani. Penglihatanku sangat sempurna, meskipun Cha Minhyun – pria yang mengklaimku sebagai istrinya—heran kenapa aku enggan berkacamata. Minhyun bersikeras mengenakan kacamata minus tiga padaku. Justru aku merasa semakin pusing. Menutup mata adalah satu-satunya cara menolak kacamata itu.
Pendengaranku baik-baik saja. Kemajuan yang paling signifikan, aku sudah bisa menggelengkan kepala. Jadi Minhyun lebih mudah merawatku.
Kini aku bernapas normal. Kateter sudah dilepaskan. Aku merasa bebas tanpa memakai alat apapun.
Aku koma dua bulan. Ini bulan ketiga aku dirawat di rumah sakit swasta. Hampir setengah tahun lamanya aku berada di tempat ini. Tanpa bersusah payah mencari tahu, Minhyun sendiri yang cerita kalau rumah sakit ini adalah milik yayasan keluarga. Minhyun adalah pemilik yang merangkap CEO Rumah Sakit Hyoonsang. Tak heran Dokter Hyuk membungkuk sangat dalam sebagai bentuk penghormatan pada pemilik rumah sakit.
Pria itu salah satu dari 10 biliuner muda kawasan Asia Timur. Tak banyak yang tahu mengenai wujud Minhyun. Pria itu tidak pernah memublikasikan hidupnya. Sebagian besar asetnya juga berkembang di Jepang dan Hongkong.
"Eunra-ya, kau ingin jalan-jalan?" tanyanya lembut. Dia menyeka poniku yang bertebaran menutup mata.
Minhyun tidak pernah bosan untuk merawatku. Dia yang menyuapiku kala waktunya makan. Dia yang memandikanku. Harus kuakui, aku sangat marah setiap kali dia melucuti pakaianku. Dia menyekaku dengan lembut. Untungnya tidak ada tatapan nafsu.
Anh Eunra. Wanita yang sangat beruntung bisa menikahi pria tersebut. Tetapi pria itu tidak beruntung. Dia salah menemukan wanitanya. Aku Jo Eunbi yang sangat mencintai Im Seongwoo.
Setelah sarapan bubur dan memandikanku, pria itu mengajakku jalan-jalan keluar ruangan. Minhyun meremas tanganku dengan lembut lalu mendorong kursi roda. Kami menyusuri taman rumah sakit yang luas.
Hamparan rumput membentang indah dilapisi serpihan salju. Pohon oak berdiri diapit belasan pohon mapel. Warna dahannya kompak coklat tua. Minhyun menggiring perjalanan kami ke jalan dari beton tipis. Akhir musim dingin kali ini sangat indah.
Tetapi ekspresi muramku sangat kontras. Aku merindukan Im Seongwoo. Dadaku selalu berdesir setiap ingat pria itu. Berminggu-minggu aku terjebak di dalam ruangan. Berlatih menggenggam seolah bola itu tangan Seongwoo. Tetapi bola yang kupegang menggelinding jatuh. Aku sadar, bola yang jatuh, tak ubahnya Seongwoo saat ini. Dia pergi dalam kehidupanku.
Bagaimana pun caranya, aku harus sembuh. Karena aku yakin, Seongwoo pasti sedang mencariku. Kami saling membutuhkan. Sepuluh tahun bersama, bukan waktu yang singkat. Pria itu adalah segalanya bagiku.
Aku memang wanita brengsek. Dan aku berhutang budi pada Cha Minhyun. Seandainya aku bisa bicara, sejak awal Minhyun tak akan bersikap seperti ini.
Ya Tuhan. Izinkan aku bicara, agar Minhyun berhenti merawatku!
Aku menangis tanpa suara. Air mataku berguguran. Mungkin bagi Minhyun, aku sedang meratapi nasib. Namun aku diliputi beban akibat ketidakberdayaanku. Kenapa aku harus menjadi Anh Eunra? Aku tetaplah Jo Eunbi.
"Nah, kita duduk di sini saja." Minhyun menepikan kursi rodaaku. Dia duduk di salah satu bangku taman. Tangannya menggenggam telapak tanganku yang dingin. Senyuman terukir di bibir tipisnya. "Aku tidak sabar menunjukkan hadiah pernikahanku. Kalau kau sudah sembuh, kita akan pulang untuk melihat hadiahnya."
Kenapa pria itu tidak kunjung menyerah? Aku sangat lelah dan bosan melihatnya. Setiap Minhyun muncul, aku pura-pura tidur. Dia terus menungguku sampai terbangun. Kesetiaannya pada Eunra pun dia buktikan. Entah seperti apa wanita itu. Dan aku tidak tahu, apa yang membuat Minhyun salah menganggapku sebagai Anh Eunra.
Aku selalu heran kenapa kepolisian tidak menunjukkan identitas asliku. Aku yakin dompetku ada di tempat kejadian ketika aku tertabrak truk.
"Apa kau tidak kangen Kanada? Kapan-kapan, ayo kita pergi ke sana. Tempat pertama kali kita bertemu. Aku selalu kangen tempat itu. Kau menyelamatkan proposal beasiswaku. Ingat?" Minhyun terus bermonolog. Dia tidak bosan dengan sikap dinginku.
Aku tidak merespon. Pikiranku kosong. Pohon oak di depan kami, tidak sebesar pohon oak di Jinan. Pohon oak itu mengingatkanku pada ribuan hari yang terlewati. Aku hanya mengingat Im Seongwoo. Setelah nenekku, aku mencintai Seongwoo.
Hanya pria itu satu-satunya nama yang sering kusebut setiap hari.
Kedua orang tuaku mementingkan pekerjaan. Mereka tidak suka mengurus anak. Jadi sejak kecil, aku dan kakakku, Jo Hyunsoo dirawat nenekku. Setiap ada pertengkaran berat di rumah kami, nenek menghiburku. Dan itulah kenapa aku sangat mencintai nenek dibandingkan orang tuaku. Hanya neneklah satu-satunya orang yang tak akan membuatku takut.
Aku bersumpah tak akan memaafkan Jo Hyunsoo. Pria tak tahu balas budi yang tega membunuh nenek. Perasaanku hancur. Aku tak punya keluarga. Orang tuaku tidak berusaha membebaskan putranya. Mereka malu atas perbuatan kriminal Hyunsoo. Aku bersyukur Hyunsoo masih ada di salah satu sel penjara, terkurung dua puluh tahun lamanya.
Aku juga tidak ingin Hyunsoo bebas melenggang ke sana-kemari di luar penjara. Sampai kapanpun, aku tak akan memaafkannya.
Benci dan sepi itu melemahkan mentalku. Aku lari kesetanan ingin mati. Di situlah Im Seongwoo muncul. Berusaha menekan niatku tidak terlaksana. Dia mengawasiku sepanjang hari. Mengirim makanan secara teratur. Orang tuanya tidak menyukaiku. Tetapi Seongwoo bertahan menjagaku.
Hari itu Seongwoo tidak mengunjungiku. Aku sedang mimpi buruk ketika tidur siang. Nenek bersimbah air darah. Hyunsoo menusuk perut nenek lagi. Tatapan keji Hyunsoo membuatku histeris.
Trauma itu tak akan pernah kulupakan. Aku lari keluar rumah, menjerit panik. Tetanggaku tidak peduli. Mereka terbiasa melihatku histeris sepanjang waktu di bawah pohon oak. Aku berjongkok ketakutan di sana. Seakan mata pisau itu siap membunuhku.
Seongwoo muncul setengah jam kemudian. Dia mendekapku erat-erat, mengatakan semuanya baik-baik saja. Pelukan hangatnya menentramkan. Aroma keringatnya bagai obat bius. Aku merasa rileks di pelukannya.
Di pohon oak itu, aku ingin kembali di sisinya. Namun kembali ke realitas yang menyakitkan–di sebelahku, Cha Minhyun masih menggenggam tanganku.
Minhyun mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dia sibuk mencari sesuatu, lalu menunjukkan foto pernikahan. Sepasang pengantin membelakangi pendeta. Minhyun mengenakan tuksedo. Di sampingnya, pengantinnya sangat cantik. Gaun pengantin putih sederhana sangat pas melekat di tubuh ramping istrinya. Mereka menikah di sebuah katedral di London.
"Kau ingat ini?" tanya Minhyun, jemarinya menggeser slide berikutnya.
Anh Eunra, wanita itu tersenyum menghadap kamera. Dia memamerkan cincin berlian di jari manisnya.
Wanita itu. Eunbi sangat mengenalnya. Wajah itu sama persis dengan wajah Eunbi.
Tak heran Cha Minhyun salah mengenal Eunbi sebagai Eunra.
Eunbi menggertakkan gigi. Serangan kejang kembali menguasainya. Dia berusaha menahan sakit di tubuhnya.
"Hari ini, ulang tahun pernikahan kita yang ketiga," ucap Minhyun penuh haru, "Seperti janjiku di altar, aku akan merawat dan mencintaimu seumur hidupku."
Aku bukan istrimu!
Otot-ototku mengencang. Aku mengalihkan pandanganku dari Minhyun dan foto pernikahannya. Aku tak tahan lagi. Pria malang itu. Kasihan sekali.
Jemariku menekuk. Badanku berguncang. Segalanya seperti gempa. Minhyun sangat panik. Dia langsung mendorong kursi roda, kembali ke ruang di mana kamar nomor 12 di lantai 14 telah menjadi rumah keduaku.
"Anh Eunra. Jangan tinggalkan aku, kumohon," isak Minhyun. Dokter Hyuk lagi-lagi mengurus kondisi tubuhku. Kejang itu hanya datang bila aku banyak pikiran.
Aku semakin sedih. Tidakhanya satu pria yang harus kujelaskan segalanya. Minhyun berhak menuntutku.
*
*
*
Ventilator Mekanik : Alat bantuan pernapasan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro