Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Eunbi 1

Hari keempat tanpa kabar dari Seongwoo. Satu pun panggilan tak muncul di list panggilan ponsel. Seongwoo kali ini benar-benar luar biasa. Dia bisa-bisanya tidak menghubungiku semenjak diusir malam-malam. Namun tetap saja aku ingin Seongwoo menelponku. Pria itu selalu mengalah padaku. Berusaha menurunkan egonya agar tak ada pertengkaran. Sikapnya yang tenang membuat aku bergantung sepenuhnya, tak mau ditinggalkan lebih lama.

Aku ingin sekali tahu kabar Seongwoo. Rasa gengsi membentengi sikap diamnya yang keras kepala. Aku tak akan mendatangi bank tempat Seongwoo bekerja. Biarlah Seongwoo yang berlutut memohon maaf padaku. Seongwoo akan selalu datang pada hari ketiga untuk berdamai. Namun ini hari keempat.

Rasanya aku ingin meledak akibat kecemasan luar biasa sepanjang hari.

Pelarianku atas ketiadaan kabar Seongwoo adalah rokok. Tetapi masih ada yang kurang kalau tidak ada teman merokok. Aku pun nekat mendatangi rumah Sungcheol. Pria itu untungnya ada di rumah, sendirian pula sambil mengisap nikotin.

Itu adalah hal yang patut disyukuri. Aku berpuas diri mencurahkan perasaannya pada sahabat seperti Sungcheol. Sialnya, kata-kata Sungcheol malah balik menyerangku.

"Sebenarnya aku tidak menyesal pernah kehilangan. Dan tidak ada rasa sakit hati telah mengenalnya. Walaupun kami berpisah, tapi dia sangat berharga dalam hidupku, dulunya. Dia pernah ada untukku kala aku terlibat banyak masalah. Dia memiliki banyak waktu untukku. Aku hanya agak sedih, kami tidak bersama lebih lama lagi. Karena ya, kami punya banyak perbedaan."

Nah, kan?

Mataku nanar. Ingin sekali beralih topik. Sudah pening dengan masalahku, jangan diperkeruh oleh kisah dramatis Sungcheol ditinggal mantan kekasihnya setahun yang lalu.

Sungcheol bersandar di ambang pintu. Wajahnya muram, meskipun tersenyum lebar. Pria itu bersikap tabah. Sayang aksinya gagal membohongiku. Aku bisa melihat ekspresi di matanya. Ada banyak kegusaran yang tersimpan di baliknya.

Jemari Sungcheol yang panjang terkepal. Semakin lama memikirkan seseorang dari masa lalunya, justru membuatnya terpuruk. Dia terpekur di sana, menjelajahi waktu yang berlalu. Tatapannya kosong.

"Sungcheol-ah," panggilku lembut. Aku menarik napas dalam-dalam. Tak sanggup mendengar omongannya tentang wanita itu.

"Ya, dia memilih jalannya sendiri. Aku tak akan bisa memaksa keinginannya untuk pergi. Karena kebahagiaannya tidak bersamaku. Dan aku bahagia dengan apa yang kumiliki sekarang."

Mata kosong itu mengarah lembut padaku. Dia tampak hidup selama beberapa detik. Lalu menerawang ke tembok kamar di belakangku.

"Kita tidak perlu menyalahkan perpisahan itu. Kadang itu lebih baik daripada dipertahankan malah semakin membuat hati terluka. Kita hanya bisa memaafkan diri sendiri, untuk mencari kebahagiaan yang sekarang, kan?"

Aku tidak menjawab. Kubiarkan kata-kata Sungcheol meresap ke pendengaranku. Sejujurnya aku tidak suka melewatkan waktuku dengan segala omong kosong Sungcheol.

Reaksiku justru membuat Sungcheol bergetar menahan isak tangisnya. Sungcheol berusaha tersenyum. Usahanya gagal besar. Matanya merah akibat tekanan emosi yang mendadak naik. Sungcheol mengerjabkan mata. Sepintas aku menyadari, Sungcheol berusaha membohongi dirinya sendiri. Sungcheol belum bisa menerima hubungannya dengan Kim Aerin kandas begitu saja.

"Hentikan," pintaku semakin jengah. Tampaknya air mata Sungcheol menular. Mataku mulai panas. Tak tahan dengan buncahan emosi yang meledak di depanku. Ekspresi Sungcheol menjalar. Aku sudah berada dalam situasi yang sulit.

Hubunganku dengan Im Seongwoo terbilang tidak baik. Semakin renggang karena kesibukan dan perbedaan. Pertengkaran yang kemarin adalah yang paling buruk. Mulanya mengunjungi Sungcheol di rumahnya akan membuat hatiku baikan. Sayangnya aku keliru besar.

Dadaku sesak. Pemikiranku semakin berat. Tak mampu kmempertimbangkan jalan mana yang ingin kurengkuh. Serba salah bila aku mempertahankan hubunganku dengan Seongwoo, tapi kami sudah tak cocok. Sungcheol menjelaskan, bahwa sebaiknya kami putus bila tidak bahagia.

"Lebih baik aku pulang!" Aku merapikan mantel yang melapisi badanku. Musim gugur membuatku gampang flu. Tak heran pakaianku selalu tebal.

"Aku antar?" tanya Sungcheol.

Tawarannya langsung kutolak. Aku tidak ingin membuat Seongwoo salah paham, hanya karena waktu yang kuhabiskan dengan sahabat dekatnya. Hubunganku dengan Sungcheol terbilang sangat akrab. Sejak SMA, dia sudah berteman denganku. Tetapi tingkat kecemburuan dan posesifnya Im Seongwoo tak mampu kubendung. Sungcheol adalah alasan utama pertengkaran kami.

"Aku bawa sepeda sendiri," kataku santai. "Terima kasih untuk nasihatmu."

"Eunbi-ya." Sungcheol memanggilku hati-hati. Ada konflik batin yang semakin dalam di hatinya. Dalam satu tarikan napas panjang, dia pun bicara. "Aku hanya mengingatkan, itu sudah pilihanku putus dengan Aerin, tetapi, pilihanmu beda. Kalian saling mencintai. Mungkin berpisah tidak akan membuatmu bahagia."

Pesan Sungcheol yang satu ini jelas mencekikku. Keyakinanku terus goyah. Rasa sakit di hatiku tak kunjung padam. Bicara dengan orang yang berpengalaman soal masalah romansa gagal, justru menjadikan segalanya memusingkan.

"Oke," kataku singkat.

Aku keluar dari rumahnya. Dengan motor matic, aku menyusuri jalanan Seoul yang tak pernah sepi. Seharusnya aku pulang dengan menaiki bus. Lebih aman begitu. Sangat rawan bagiku mengendarai motor, bila pikiranku semakin kalut. Kalau kalut, aku lebih sering mengalami kecelakaan.

Masa remajaku sudah sangat sulit. Perceraian orang tua. Kematian nenek yang kucintai lebih daripada orang tuaku sendiri. Kakak yang masuk penjara karena kasus pembunuhan. Berbagai masalah menyebabkan aku mengidap PTSD bertahun-tahun. Aku menyerah untuk berobat. Semua obat resep dokter telah kubuang ke tempat sampah, padahal Seongwoo susah payah menebus semua obat anti-depresan itu.

Hanya Im Seongwoo yang membuatku sedikit normal. Dia berusaha meluruskan jalanku. Setiap minggu dia mengajakku ke gereja untuk berdoa. Tapi bila aku mengingat keluargaku, terkadang aku merokok diam-diam tanpa sepengetahuannya.

Dan sampai hari ini, Im Seongwoo berhenti menghubungiku.

Itu jelas sebuah pukulan telak untukku. Aku kehilangan dan merindukannya. Namun aku benci dikekang. Aku tidak suka caranya mengingatkanku dengan marah-marah. Im Seongwoo sudah berubah. Dia lelah menghadapi kebandelanku.

Apalagi aku pergi menemui sahabatnya. Aku, Sungcheol dan Seongwoo sudah bersahabat sejak SMA. Ke mana-mana kami bertiga. Tetapi hubungan sedikit canggung enam bulan terakhir. Malam itu, aku sangat mabuk. Kuputuskan bermalam di rumah Sungcheol yang sangat dekat dengan bar tempat aku minum-minum. Sungcheol tidak melakukan apa-apa selain hanya menyelimutiku. Untuk pertama kalinya Im Seongwoo mengamuk pada sahabatnya. Dia melarang Sungcheol melakukan apapun padaku, termasuk memberikan selimut dan membukakan pintu. Bahkan Seongwoo tidak sudi kalau Sungcheol menanyakan keadaanku keesokan harinya.

Dari pancaran matanya, Seongwoo sangat cemburu. Sungguh tidak masuk akal sama sekali.

Berulang kali aku dan Sungcheol menyangkal segala tuduhannya. Semakin keras kami bersuara, Seongwoo semakin tidak percaya. Aku menyerah dan lelah untuk mendebatnya.

Aku sangat membutuhkan Im Seongwoo. Tetapi aku tak tahu, bagaimana caranya untuk mendapatkan setitik kepercayaan. Dia kembali akur pada Sungcheol. Menghabiskan akhir pekan pergi ke sauna dan rental komputer. Terkadang minum bersama teman SMA kami yang lain. Namun, Im Seongwoo tidak semudah itu untuk memaafkanku.

Pikiran itu membuat tangisanku luruh, lebih keras daripada malam Seongwoo meninggalkanku.

Ada deru klakson yang panjang dari arah kiri. Bersahutan. Terdengar jeritan panik dari segala arah. Terlambat bagiku untuk menyadari apa yang terjadi. Ketika aku melihat sumber klakson, mataku terkunci pada laju truk di depanku.

Aku terpental dari arah samping. Sial, aku menerobos lampu merah. Tanpa tahu seharusnya aku berhenti. Aku tak bergerak. Seluruh badanku mati rasa. Hanya indra penciumanku yang berfungsi. Aku hanya bisa mencium aroma darahku.

Langit masih cerah. Di hari yang sempurna, aku malah mengalami kecelakaan tragis. Ini bukan yang pertama. Aku pernah menabrakkan diri di depan truk pengangkut barang. Hampir semua badanku mengalami patah tulang. Butuh enam tahun untuk bisa sembuh total. Itu terjadi ketika daya juangku sudah padam.

Hari ini aku sangat ingin hidup. Aku ingin membuktikan kesetiaanku pada Im Seongwoo.

Orang-orang mengelilingiku. Wajah-wajah panik itu menghalangi langit yang ingin kusaksikan. Lalu suara sirine memekakkan telinga. Dengan hati-hati, aku diangkat ke tandu. Aroma alkohol menghapus amis yang kucium. Leherku disangga oleh Cervical Collar. Paramedis mengobati tangan, kepala dan kakiku. Perih itu bukan apa-apa.

Hatiku yang lebih sakit. Hancur. Hanya Im Seongwoo yang kuinginkan. Senyumnya adalah obatku. Aku tak butuh apa-apa. Aku ingin pria itu ada di sisiku.

Bulir air mata menetes. Paramedis menanyai kondisiku. Tetapi aku tetap diam menahan ngilu.

Aku harus hidup. Aku tak akan mati, sampai pria itu mau memaafkanku.

*
*
*

Cervical CollarBantalan penyangga leher. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro