Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tujuh

Pagi itu, Dami tiba di apartemen setelah sedikit bergegas dari rumahnya karna terlambat. Matanya menyapu seluruh ruangan saat ia mendapati Seungjae sedang berbaring lesu di sofa. Wajah pucatnya membuat Dami langsung merasa khawatir.

"Seungjae-ssi, kenapa wajahmu pucat sekali? Apa kau sakit?" tanyanya, setengah panik.

Seungjae memandangnya sekilas dari bawah selimut, suaranya serak ketika menjawab, "Sedikit. Aku hanya tidak enak badan."

"Kalau begitu, kau butuh sesuatu? Obat? Teh?" Dami mulai mendekat, siap memberikan bantuan.

Namun, dia berhenti di tengah langkah ketika Seungjae mengangkat satu alis dan, dengan suara lemah namun jelas, berkata, "Aku ingin bubur abalone."

Dami menatapnya, hampir mendengus tak percaya. Bubur abalone? Di pagi hari, di saat mendesak seperti ini? Namun, dia menahan diri dan hanya tersenyum lemah, mencoba untuk tidak terlihat kesal. "Baiklah. Aku akan usahakan."

Dia tahu, permintaan itu lebih dari sekadar makanan. Seungjae tengah menguji kesabarannya lagi, membuat tugas-tugasnya semakin sulit untuk dilaksanakan. Namun, melihat kondisi Seungjae yang lemah, Dami tak tega menolak. Walau dalam hati dia mendesah, ia memutuskan untuk mencoba.

Selama di dapur, Dami diam-diam mencari cara membuat bubur abalone melalui ponselnya. Tangannya bergerak cepat menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Ini adalah tantangan baru, dan dia tidak ingin gagal. Lagipula, Seungjae pasti tidak akan memakluminya jika buburnya tidak sempurna.

Setelah setengah jam yang penuh konsentrasi, akhirnya bubur abalone itu siap. Dami menatap hasil kerjanya dengan bangga. Dengan hati-hati, dia menuangkan bubur ke dalam mangkuk dan membawa nampan itu ke depan sofa tempat Seungjae berbaring.

"Ini, aku buatkan bubur abalone untukmu," katanya lembut, meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur Seungjae.

Seungjae yang awalnya hanya setengah sadar, membuka mata saat mencium aroma bubur itu. "Kau benar-benar membuatnya?" tanyanya dengan nada heran, sedikit terkejut dengan ketulusan Dami.

"Ya," jawab Dami, sambil tersenyum tipis. "Aku pikir kau perlu makan sesuatu yang bergizi agar cepat sembuh."

Tanpa menunggu jawaban, Dami mengambil mangkuk dan mulai mengaduk buburnya, memastikan suhunya pas. Dia menyerahkan sendok kepada Seungjae, tapi saat pria itu mencoba duduk, kelihatan sekali bahwa tubuhnya terlalu lemah.

"Biar aku yang suapkan," ujar Dami spontan. Seungjae menatapnya, sedikit canggung, namun tak menolak. Ia membiarkan Dami menyuapinya, perlahan menikmati bubur yang hangat.

Seungjae tampak lebih manusiawi saat sakit, dan Dami tak bisa membenci seseorang yang sedang tak berdaya di hadapannya.

"Enak," gumam Seungjae setelah beberapa suapan.

Dami tersenyum kecil. "Aku senang kau suka. Kau harus cepat sembuh. Ingat masih ada deadline yang menunggumu."

Hari itu, hubungan mereka seolah mengalami pergeseran. Meski Dami tahu Seungjae bisa kembali menjadi sosok yang menyebalkan setelah sembuh, ada sesuatu yang berubah di antara mereka—sebuah pengertian yang tak terucapkan, setidaknya untuk sementara waktu.

***

Beberapa hari setelah insiden Seungjae sakit itu, Dami bisa beranggapan bahwa Seungjae tidaklah semenyebalkan itu. Sebenarnya tugas-tugas itu hanyalah tugas biasa yang ia kerjakan, tapi mungkin karna itu hal yang baru untuk Dami lakukan bagi orang lain, jadi terkesan mengerjai kali ya.

"Dami-ssi. Kau melamun? Aku sedang bicara denganmu."

Panggilan Seungjae dari sampingnya membuat Dami sedikit terkejut karna diajak bicara saat dia sedang melamun. "Maaf, aku tidak sadar."

"Hei. Kau ini sedang menyetir ya, jika perlu kuingatkan."

Oke, Dami tarik lagi. Seungjae memang menyebalkan. Dia tau bagaimana cara membuat orang kesal dengan hanya ucapan saja.

Mereka berdua sedang di jalan menuju ke perusahaan penerbitan untuk bicara mengenai novel ynag tengah ditulis oleh Seungjae ini. Hari ini jadwalnya untuk pratinjau bab 1 sampai 5, kira-kira mana yang perlu diedit, apakah sudah bagus atau perlu diperbaiki.

"Kau sudah bawa semuanya?" tanya Dami begitu mereka selesai parkir mobil.

Seungjae yang ditanya begitu, terlihat mencari-cari sesuatu di tasnya dan dompetnya. Tangannya sibuk memilah-milah barang dalam tas itu. "USBku."

"USBmu?"

Dengan mata membulat, Seungjae berbalik menatap Dami khawatir, "sepertinya USB ku ketinggalan di apartemen."

"Kau.." Dami mengambil napas dalam sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kau yakin?"

Seungjae mengangguk mantap. "Sepertinya tertinggal diatas meja ruang kerjaku."

"Lalu bagaimana? Kalau tidak begini deh. Aku kembali untuk mengambil USBmu, kau tunggu aku diatas oke."

Seakan setuju, kepala Seungjae mengangguk dan turun dari mobil dengan segera agar Dami dapat melajukan mobil itu kembali ke apartemen Seungjae. Sementara itu, Seungjae pergi duluan ke lantai yang ia tuju sesuai dengan rencana mereka.

Kakinya melangkah keluar dari lift begitu sampai di lantai yang ia tuju dengan satu tangan di saku celana dan satu lagi memegang tas ransel yang ada di bahunya.

"Tunggu..." Tangannya seperti mendapati suatu benda kecil disaku celananya. Ia mengambil barang itu keluar dari sakunya dan menghela napas begitu melihat USB yang tadi mereka cari itu ternyata ada di celananya sendiri.

Seungjae dengan cepat mengetikkan sesuatu untuk mengabari Dami kalau USBnya sudah ada, saat editor yang melihatnya sudah langsung menggeretnya ke dalam ruangan dan mulai rapat.

***

Di sisi lain di apartemen, Dami langsung buru-buru masuk dan mencari di ruang kerja Seungjae. Dimanakan benda kecil itu berada. Di atas mea tidak ada, di laci tidak ada, di tumpukan kertas juga tidak ada. Mau ia cari bagaimanapun, benda kecil bernama USB itu tidak ada. Tangannya sudah mulai lelah dan kepalanya mulai berdenyut karna hari ini dia memang sedang tidak enak badan juga.

"Argh! Dimana sih sebenarnya ia menyimpan USB itu. Astaga."

Tidak mau menyerah, Dami kembali mencari ulang di ruang kerja Seungjae, berharap mungkin matanya sempat tidak melihat di tempat-tempat kecil. Tapi ya mau dicari bagaimapun, memang tidak ada.

Jari-jari tangan Dami mencari nomor Seungjae untuk bertanya dimana sebenarnya ia menyimpan USB itu, tapi tidak diangkat sama sekali. Jadi Dami memilih untuk menyerah. Ia memilih untuk kembali ke perusahan tanpa membawa apapun. Ia bisa mengatakan maaf jika mereka marah, karna memang tidak tau itu USB ada dimana.

***

Sepanjang perjalanan, kepalanya berdenyut pelan, dan rasa pusing mulai mengganggu pandangannya. Tapi dia tak punya pilihan lain selain terus menyetir. Pikirannya melayang ke pertemuan dengan editor yang penting bagi Seungjae, dan Dami tak mau mengecewakannya meski tubuhnya mulai merasakan dampak dari kondisi kesehatannya yang memburuk.

Setibanya di perusahaan, Dami melangkah tergesa-gesa menuju ruangan di mana Seungjae dan editor sudah menunggu. Saat ia masuk, Seungjae langsung menyambutnya dengan wajah berseri-seri. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat dada Dami sesak.

"USB-nya ternyata ada di kantung celanaku," kata Seungjae dengan nada riang, sambil menunjuk benda kecil itu yang kini digenggam di tangannya, seakan tak bersalah.

Dami berhenti di ambang pintu. Tubuhnya seketika terasa lemas. Napasnya perlahan, namun berat, menahan amarah yang mulai menggelegak di dalam dada. Di satu sisi, dia tahu ini mungkin hanya ketidaksengajaan. Tapi di sisi lain, hari ini bukan hari yang baik untuk bercanda atau kesalahan kecil seperti ini. Terlebih, Seungjae tidak menyadari bahwa Dami sudah merasa tidak enak badan sejak pagi, dan dirinya memaksakan datang hanya karena ingin memastikan Seungjae tidak melewatkan pertemuan pentingnya.

"Benar-benar ada di kantong celanamu?" tanya Dami dengan suara yang nyaris bergetar, berusaha tetap tenang. Seungjae hanya mengangguk, tidak menyadari perubahan di wajah Dami. "Kenapa kau tidak mengabariku?"

Dami memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi rasa marah dan kecewa semakin sulit ditahan. Dia sudah menyetir bolak-balik ke apartemen Seungjae, bahkan menyusuri setiap sudut ruangan kerja pria itu demi mencari USB yang ternyata ada di kantongnya sendiri selama ini. Seolah-olah ini semua hanya lelucon yang mempermainkannya.

"Aku sudah mengabarimu kok. Dami-ssi? Kau tidak apa-apa?" Seungjae bertanya, nadanya berubah menjadi sedikit lebih serius melihat wajah Dami yang tak biasa.

Namun, Dami tidak menjawab. Tubuhnya terlalu lelah untuk membalas, dan emosinya terlalu kacau untuk tetap berpura-pura baik-baik saja. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Dami memutar tubuhnya dan langsung keluar dari ruangan itu, meninggalkan Seungjae yang terpana melihatnya.

"Hei! Dami-ssi!" Seungjae memanggil, tapi Dami tak menghiraukannya. Ia terus berjalan, langkahnya semakin cepat menuju pintu keluar gedung. Dia tidak bisa lagi berada di sana. Tubuhnya mulai memberontak, kepala terasa semakin berat, dan napasnya makin terasa sesak.

Sesampainya di luar gedung, Dami berhenti sejenak untuk menarik napas panjang, berharap rasa pusingnya bisa mereda. Tapi, bukannya mereda, amarah dan kesedihan yang terpendam semakin terasa berat. Dia merasa dipermainkan. Terutama karena dia berusaha keras untuk hadir demi Seungjae, padahal tubuhnya membutuhkan istirahat.

Dari kejauhan, Seungjae keluar dari gedung dan mencarinya. Tapi kali ini, Dami tak ingin berurusan dengan pria itu. Ia hanya ingin pulang, beristirahat, dan tidak memikirkan apapun lagi hari ini.

[TBC]

----------------

28 Oktober 2024

helo heloooo bagaimana bagaimana sampai sejauh ini??? 

aku jadi Dami juga akan marah sih pasti. uda lagi gaenak badan, terus malah "dikerjain" kayak gitu. ya walaupun sebenarnya gak dengan sengaja juga sih. sebenarnya kan si Seungjae uda ketik tau di hapenya, tapi ternyata gak kekirim pesannya:(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro