Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 23a

Hector mengisap cerutu di ruang tamu paviliun. Menikmati istirahat setelah hari yang panjang. Berangkat pagi-pagi buta dan baru saja pulang, tanpa beristirahat saat siang. Ia tidak mengeluh, bagaimana pun ini semua bagian dari pekerjaannya. Menjadi teman dan pendamping presiden, memberikan pendapat dan pandangan pada pemimpin nomor satu di negeri dan tidak lupa, membisikkan dugaan-dugaan, yang menurutnya layak diperhatikan sang presiden. Ia merasa senang, sejauh ini keinginannya tercapai. Sang presiden begitu mendengarkan pendapatnya.

Banyak orang menyarankan agar ia menjadi menteri tapi Hector menolak. Jabatan sebagai pembantu presiden bukan sesuatu yang menarik minatnya. Ia lebih suka seperti sekarang, berada di belakang kamera tapi mengendalikan semuanya. Termasuk memberikan masukan untuk setiap keputusan yang akan diambil oleh presiden.

Tentu saja, tidak semua orang menyukainya. Banyak yang mengatakan kalau dirinya terlalu ambisius dan serakah. Hector tidak peduli. Yang terpenting dalam hidupnya hanya dua hal yaitu anaknya dan politik. Anastasia sedang berbahagia sekarang, ia pun merasa ikut bahagia. Kehamilan yang ditunggu selama empat tahun akhirnya menjadi kenyataan. Tidak sia-sia ia bersandiwara dengan Tanaka, demi mewujudkan keinginan mereka untuk punya bayi.

"Papa sudah lihat bukan? Kesungguhanku untuk punya anak. Papa juga lihat hasil jajak pendapat terakhir?"

Perkataan Tanaka disambut dengan baik olehnya. Untuk pertama kalinya ia merasa puas dengan apa yang dilakukan menantunya. Tentu saja, Tanaka ingin punya bayi bukan semata-mata demi kebahagiaan rumah tangga tapi karena hal lain, yaitu politik. Hector tidak peduli, selama anaknya diperlakukan dengan baik. Ia punya cucu yang akan dididik dengan benar dan mengikuti karir politik. Demi itu, ia akan menyuap semua orang agar Tanaka menjadi menteri muda. Ia tidak menyuap dengan uang, tapi hal lain. Itulah yang membuat musuh-musuhnya membencinya. Sekali lagi, Hector tidak peduli dan menganggap mereka tak ubahnya sampah.

Hector mengernyit saat terdengar tangisan lirih. Awalnya ia mengira salah dengar tapi diperhatikan lagi, memang tidak salah. Ada seseorang menangis tidak jauh dari tempatnya bersantai.

"Siapa di sana?" teriaknya. "Keluar! Jangan menggangguku dengan tangisanmu!"

Terdengar suara langkah, Ana muncul sambil menghapus air mata di pipi. Perempuan itu berusaha menyembunyikan tangisannya dengan menunduk tapi gagal. Hector bisa melihat jelas matanya yang basah dengan wajah memerah.

"Kamu menangis, Ana? Ada apa?"

Ana menggeleng. "Nggak, Pak. Hanya sedang, anu."

"Sedih? Sampai mengeluarkan air mata? Ada apa?"

Ana menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. Bicara dengan Hector entah kenapa membuat kesedihannya makin mencuat. Ia tidak ingin dikatakan lemah, tapi tatapan laki-laki tua di depannya membuat tidak berdaya.

"Ana, bicara yang jelas. Ini perintah!"

Ana meneguk ludah lalu menggigit bibir, menahan rasa malu dari ulu hati. "Orang tua saya, Pak. Mereka ingin menjodohkan saya dengan laki-laki."

"Ah, lalu?"

"Demi utang. Laki-laki tua yang usinya lebih tua dari Pak Hector."

Hector mengernyit lalu menggeleng sambil mengeluarkan decakan tidak percaya. "Ana, apa yang dipikirkan orang tuamu? Kamu masih sangat muda, belum waktunya menikah. Apalagi dengan bandot tua."

Ana menghela napas panjang. "Terpaksa, Pak. Orang tua saya banyak utang, memang sebagian sudah saya lunasi tapi ternyata masih banyak tersisa."

"Di jaman begini, masih ada orang melakukan perjodohan demi utang? Memangnya kamu nggak bilang ke mereka, kalau kamu kerja dan akan membayar perlahan?"

Ana mengangguk sambil terisak keras. "Sudah, Pak. Mereka nggak mau tahu. Katanya, sudah menunggu terlalu lama. Pemilik uang kebetulan istrinya baru meninggal, jadi membutuhkan istri baru."

"Apa-apaan? Mana bisa begitu?"

"Me-mereka juga mengobrak-abrik rumah. Membuat pintu dan jendela hancur. Mama saya masuk rumah sakit karena tertekan. Saya bingung, Pak. Benar-benar bingung."

Hector terdiam, menghela napas panjang. Menatap Ana lekat-lekat. Membayangkan seandainya dirinya terkena masalah, pasti Anastasia akan menangis putus asa seperti halnya Ana.

"Jadi kamu butuh uang? Berapa yang harus dibayar agar kamu tidak dijodohkan? Biar aku pinjamkan."

Ana menggeleng. "Tidak, Pak. Saya nggak mau merepotkan Anda."

"Ana, kamu asistenku. Sudah seharusnya aku bantu. Kamu bisa bayar uangnya pelan-pelan, potong dari gajimu. Yang terpenting adalah, kamu bekerja lebih keras setelah ini dan lupakan urusan pernikahan."

Ana berdiri dengan perasaan bingung. Tawaran Hector sangat menggoda, membantunya terlepas dari masalah. Tapi, di satu sisi ia merasa tidak enak hati karena harus berutang pada atasannya. Dipikir lagi, berutang pada Hector mungkin jauh lebih aman dari pada dengan rentenir. Ia tercabik kebingungannya sendiri.

"Tanpa bunga, Ana. Ambil atau kamu akan menyesal karena sudah kehilangan masa depan."

Ana memejam. "Jumlahnya cukup banyak, Pak."

"Sebutkan saja berapa."

"Seratus lima puluh juta."

"Memang cukup banyak, tapi tidak terlalu banyak untukku. Mana nomor rekeningmu, biar aku tranfer sekarang."

"Terima kasih, Paak. Terima kasih. Saya berutang budi dan juga nyawa."

Ana kehilangan kata-kata, menubruk Hector dan bersimpuh di kaki laki-laki itu. Menangis tersedu-sedu dan mengucapkan terima kasih. Hector menepuk pundak Ana dengan ringan, teringat akan Anastasia yang juga pernah menangis keras seperti ini saat sang mama meninggal. Hector tersenyum, tanpa sadar mengusap rambut Ana sambil membayangkan anak perempuannya. Menurutnya, tidak ada beda. Ana dan Anastasia adalah anak-anaknya yang harus dibantu dan dilindungi.

**

Anastasia menatap Diego yang datang dengan jaket kulit serta celana denim. Sangat jarang melihat laki-laki itu tanpa seragam, seperti menimbulkan riak di hatinya. Beberapa hari tidak bertemu, ia seperti melihat wajah Diego makin tirus. Mungkin hanya perasaannya saja.

Dengan alasan ingin melihat-lihat bunga dan mencari udara segar, Anastasia berkeliling taman rumah sakit yang kecil bersama Diego. Dua penjaga lainnya sedang makan malam. Diego yang menawarkan bantuan pada mereka untuk menjaga Anastasia.

"Kenapa kamu datang? Bukannya libur?"

"Memang, tadinya mau bicara sesuatu dengan Mike. Ponselnya tidak bisa dihubungi jadi datang kemari."

Anastasia mengangguk. "Mike sedang menjaga Tanaka, menggantikan Toto yang sakit."

"Ah, pantas saja."

Sebenarnya Diego tahu kalau Mike tidak ada. Mereka punya grup di ponsel, untuk membagi pekerjaan satu sama lain. Ia memang datang untuk Anastasia.

"Diego, ada bunga matahari. Lihat!"

Mereka melangkah beriringan menuju pot bunga matahari. Diego harus berhati-hati menjaga Anastasia yang masih tersambung selang infus.

"Birapun malam, tetap cantik. Padahal nggak kena sinar matahari."

Diego menatap Anastasia dan mengangguk. "Memang cantik." Pujian yang nggak ada hubungannya dengan bunga matahari. "Kamu kelihat pucat, Nyonya. Apa kita masuk saja? Takut terkena angin malam."

Anastasia menggeleng. "Bisakah kita tetap di sini? Aku bosan berbaring terus."

Diego tidak memaksa, merasa senang karena bicara dengan Anastasia di luar ruangan. Tangannya gatal ingin merapikan anak-anak rambut di dahi perempuan itu. Anastasia meskipun berwajah pucat, tetap cantik. Tanpa sadar ia menghela napas panjang, membuat Anasatasia menatapnya.

"Diego, apa terjadi sesuatu? Kamu kelihatan gundah."

Awalnya Diego tidak ingin menjawab tapi perkataan mengalir begitu saja dari bibirnya. "Hari ini temanku yang bekerja sebagai polisi datang memberi kabar. Katanya, tidak ada titik temu pembunuhkan orang tuaku. Maksudnya tidak ada kemajuan apa pun."

Anastasia menatap heran. "Orang tuamu dibunuh? Bu-bukankah mereka masih hidup?"
.
.
Tersedia di google playbook


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro