Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22

Kendaraan berderet-deret memenuhi halaman di sebuah vila yang letaknya di sebuah lereng gunung. Vila itu masuk dalam sebuah komplek rumah peristirahatan yang elit. Rumah-rumah di sana tidak ada yang kecil, minimal dua lantai dengan lima kamar. Selebihnya, ada tiga atau empat lantai dengan dua kolam renang pribadi. Pemilik rumah-rumah peristirhatan itu rata-rata pengusaha, politikus, atau juga artis papan atas dengan bayaran tinggi. Orang biasa dengan penghasilan pas-pasan tidak akan tinggal di sana. Selain system keamanan yang tinggi, privasi pengunghuninya juga terjaga. Tidak akan sembarangan orang bisa masuk komplek kalau tidak jelas identitasnya.

Tanaka berdiri di antara deretan sofa yang penuh terisi. Ada sekitar lima belas orang di sana, termasuk dua asistennya Tim dan Tom. Minuman keras berupa anggur, sampanye, dan bir diedarkan oleh pelayan. Mereka tertawa-tawa sambil minum dan sesekali menggoda para pelayan yang kebanyakan adalah gadis cantik berseragam hitam putih yang sexy. Tubuh para pelayan dibalut minidress hitam yang ketat dan menonjolkan dada mereka. Panjang minidress hanya sepangkal paha dengan renda putih. Mereka memakai stoking serta sepatu hak tinggi warna hitam dengan bando berbentuk kelinci. Melangkah mondar-mandir di antara para tamu untuk menyajikan minuman dan cemilan.

"Selamat atas kehamilan istri Anda, Pak Gubernur."

Seorang laki-laki gemuk mengangkat gelas dan tepuk tangan riuh terdengar. Tanaka mengangkat gelas ke arah laki-laki itu dan tertawa.

"Terima kasih temanku. Mari kita berbahagia untuk hari ini."

"Bersulang!"

"Cheers!"

"Akhirnya, Nyonya Anastasia hamil juga. Aku pikir salah seorang di antara kalian ada yang mandul!" Kali ini seorang laki-laki kurus berkacamata, bicara dengan lantang. Diikuti oleh tawa yang lain. Tanaka hanya memandang masam ke arah orang itu, kalau bukan partai pendukungnya, sudah pasti akan memukul mulutnya yang lancang. Bergelut dalam politik, membuatnya harus sabar menghadapi berbagai macam situasi termasuk yang menguji kesabarannya.

Alih-alih marah, Tanaka hanya mengedikkan bahu. "Tentu saja kami nggak mandul, hanya saja kulitas bercinta kami sepertinya kurang. Maklum, sama-sama sibuk."

"Benar, juga. Setelah pulang bulan madu langsung hamil."

"Demi bayi dalam kandungan, yang akan membuat kita meraih kemenangan."

"Kita hancurkan Adolf!"

Orang-orang itu kembali bersorak-sorai. Tanaka melayani semua ajakn bersulang, hingga membuatnya mabuk. Tidak masalah kalau hari ini ia kehilangan kesadaran, hatinya sedang bahagia dan harus dirayakan dengan berpesta pora. Tanaka sudah menandaskan gelas kelima saat Tom menyeretnya ke sudut. Asistennya itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, memastikan tidak ada yang mendengar sebelum bicara.

"Pak, apakah sudah mengecek, di antara orang-orang ini ada pendukung Pak Hector atau tidak?"

Tanaka mengangguk. "Sudah, saudaramu yang memastikan. Kenapa?"

Tom berdecak, menghela napas panjang. "Saya sudah bicara sebelumnya dengan Tim, untuk hati-hati memilih undangan. Bukan tidak mungkin, ada pengkhianat di antara orang-orang ini."

Tanaka terkekeh. "Kamu takut mertuaku yang agung itu marah karena aku mengadakan pesta?"

"Ya, bisa dikatakan begitu. Saya tahu persis sifat Pak Hector."

"Tenang saja, Tim. Selama ada kamu dan Tom, aku tidak takut apa pun. Mertuaku jauh di seberang pulau, sedang menemani presiden kunjungan kerja, dan melakukan lobi politik demi aku. Kamu pikir, dia akan ada di sini dan memantau kita? Aku rasa, mertuaku tidak punya banyak waktu untuk itu."

"Tetap saja, saya kuatir."

"Terima kasih atas kekuatiranmu. Sekarang, bisakah kamu membiarkanku menikmati hari ini? Anggap saja aku sedang mendapatkan hadiah atas kerja kerasku, Tim. Aku janji, akan bekerja lebih keras besok. Bagaimana?"

Tim tersenyum dan mengangguk. "Selamat bersenang-senang, Pak."

"Terima kasih, Tim. Sebaiknya kamu juga, malam ini kita berpesta sampai esok hari."

Tanaka meninggalkan asistennya, menuju ke tengah ruangan dan naik ke meja. Mengangkat gelas tinggi-tinggi dan berteriak keras. "Teman-teman, siapkan mental kalian. Puncak acara, dimulai sekarang!"

Gorden ditutup, lampu ruangan dimatikan. Tak lama, terlihat satu titik cahaya di mana seorang perempuan sedang menari dengan busana yang minim. Di belakang perempuan itu ada seorang laki-laki yang juga berpakaian minim. Musik ceria dan menghentak berkumandang, lampu dinyalakan dan penari perempuan itu melepas bagian atas pakaiannya. Bertelanjang dada, meliuk di antara pada penonton. Menerima siraman anggur, belaian di tubuh, dan banyak lagi. Uang dilemparkan ke udara dan para hidung belang itu menatap dengan mata nyalang ke arah penari yang sedang melucuti celananya. Tarian disajikan telanjang, untuk orang-orang yang mengaku diri mereka terhormat.

Tanaka tertawa, menikmati pertunjukan di depannya. Gerakan penari itu membuatnya bergairah dan kejantananya menegang. Ia selalu suka suasana seperti ini. Glomur, liar dan membuat terangsang. Ia makin senang saat melihat para laki-laki yang biasanya arogan dan sombong, menanggalkan keangkuhan mereka. Berteriak, mabuk, dan menari, semuanya berada di bawah kendali Tanaka.

**

Mereka duduk bersebelahan di sebuah kedai kopi. Diego lebih senang bicara di rumah tapi Mili menolak. Mengatakan ingin mengobrol di luar karena sudah lama tidak berkencan dengan Diego.

"Tadinya aku berharap kamu menelepon untuk mengajakku ke bioskop atau dinner. Ternyata hanya bicara sambil ngopi. Nggak masalah, sih. Asalkan sama kamu."

Mili mengaduk kopinya, menambahkan sedikit creamer dan gula. Ekpreso di kedai ini rasanya terlalu pahit untuknya. Di depannya Diego asyik menyeruput es americano. Mili mendesah, menyadari betapa tampan dan gagah kekasihnya. Tidak dapat dipungkiri, daya tahan Diego sangat besar. Setiap perempuan yang masuk ke kedai, akan menatap Diego dua kali lebih lama dari pada biasa.

"Aku lihat lapangan sudah mulai digunakan. Apakah kamu menyewa tempat itu lagi?"

Diego mengangguk. "Iya."

"Wow, punya banyak uang kamu. Setelah membantu orang tuamu, kini sewa lapangan. Diego, kamu sungguh nggak tertebak."

Mili mengucapkan pujian itu dengan rasa sakit hati. Sudah beberapa kali ini mendapati Diego banyak melakukan hal tidak terduga tanpa memberitahunya. Padahal, mereka sepasang kekasih dan sudah semestinya saling terbuka. Tapi Diego, makin lama makin menjauh, membuatnya tidak berdaya.

I menyesap kopi, mendecakkan lidah dan mencoba menikmati rasa di dalam mulutnya. Ada sepotong cake keju di depannya, tanpa malu ia memotong dengan garpu kecil dan menawarkan pada Diego.

"Mau?"

Diego menggeleng. "Nggak."

"Aku habiskan?"

"Iya, tentu saja."

Mereka saling pandang, Diego tidak menjawab pertanyaan Mili tentang uangnya. Tidak mungkin mengatakan pada gadis itu dari mana mendapatkan uang banyak untuk membayar tagihan dan semua kebutuhan.

"Diego, mau bicara apa? Sepertinya hal serius. Jujur saja, aku lebih suka kalau kita bicara tentang hal; yang ringan-ringan dan membuat bahagia." Mili mencoba melucu, tapi gagal karena Diego tidak tertawa. Akhirnya ia kembali menunduk, menekuri kopinya.

"Mili ...."

Panggilan Diego membuat Mili menggeleng. Mengangkat tangan dan tersenyum tanpa memandang Diego. "Aku mengenali nada ini. Diego, apa pun yang akan kamu katakan, aku jawab, tidak!"

"Bagaimana kamu bisa menjawab kalau belum mendengar perkataanku."

"Sudah! Mengenal dan bersamamu selama beberapa tahun, membuatku mengerti kapan kamu marah, senang, atau sedang ingin menegurku. Kali ini, aku bisa menebak apa maumu dan jawabku tetap sama, tidak!"

Diego menghela napas panjang, meraih jemari Mili dan meremasnya. Tetap menggenggam erat dan tidak dilepaskan meski gadis itu berusaha menepiskan. Hari ini semua masalah di antara mereka harus selesai, tanpa menunda-nuda lagi.

"Dengarkan aku, kamu berhak mendapakan yang lebih baik dari pada aku."

Mili menggeleng. "Nggak mau."

"Carilah pengusaha seperti keinganan orang tuamu. Laki-laki baik yang bisa memberimu semuanya, bukan seperti aku, yang hanya pekerja biasa.":

"Diego, please. Kamu bicara apa?"

Mili merasa matanya memanas. Apa yang ditakutkannya selama beberapa bulan ini menjadi kenyataan. Diego yang tidak lagi mengajaknya berkencan, jarang menelepon apalagi mengirim pesan untuk berkabar. Sikap Diego yang menjaga jarak saat mereka bersama, sudah menjadi kekuatiran yang besar untuknya. Ia masih berusaha mengingkari semuanya, tidak ingin kehilangan kekasih yang selama ini bersamanya. Mili punya mimpi membangun rumah tangga bersama Diego, bukan laki-laki lain.

"Mili, maafkan aku," ucap Diego lirih. "Tidak bisa menjadi kekasih yang baik padamu. Padahal, kamu adalah gadis terhebat yang pernah aku temui. Mili, aku banyak salah, banyak dosa, yang tidak bisa aku jabarkan. Yang pasti, kamu berhak bersama laki-laki lain yang jauh lebih baik dariku."

Mili terisak sekarang, mengibaskan genggaman Diego dan mengusap air mata dengan tisu di atas meja. Tidak peduli dengan pandangan ingin tahu yang diarahkan orang-orang itu padanya. Ia sedang bersedih, tidak ingin kehilangan laki-laki yang dicintainya.

"Ba-bagaimana kalau menurutku kamu yang terbaik, Diego," ucap Mili tergagap. "Bagaimana kalau aku bisa menerimamu apa adanya, mencintaimu dengan segenap jiwa. Apakah itu tidak cukup? Kita sudah bersama begitu lama, aku sudah mempunyai mimpi untuk bersamamu. Kenapa kamu hancurkan?"

Diego meneguk kopinya sampai tandas. Menyadari kalau pembicaraan ini tidak akan berlangsung mudah. Tetap saja semua harus diluruskan. Ia tidak ingin menunda masalah sampai berlarut-larut. Bagaimana ia bisa tetap berhubungan dengan Mili, sementara hati dan pikirannya tertuju pada Anastasia. Ia adalah laki-laki penuh dosa, yang jatuh cinta dan menuduri perempuan bersuami. Sedangkan Mili gadis baik-baik dengan cita-cita cemerlang. Ia tidak akan merusak masa depan gadis itu.

"Sebenarnya, malam itu aku melihat kamu keluar dari restoran bersama laki-laki itu. Kalian terlihat serasi dan kamu tertawa bahagia, Mili."

Mili menatap heran, dengan mata sembab. "Maksudmu siapa?"

Diego menggeleng. "Aku tidak tahu dia siapa. Kalian bergandengan dan saat itu untuk pertama kalinya aku menyadari kalau kamu akan bahagia dengan laki-laki yang cocok."

Mili memejam, teringat akan Noah yang mengajaknya berkencan. Saat itu ia menerima karena sedang suntuk di rumah.

"Diego, aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Noah."

"Mili, nggak masalah kalau memang ada. Aku bisa terima kenyataan. Jangan lagi memaksakan diri kita untuk tetap bersama. Kamu berhak bahagia bersama Noah atau laki-laki lain, tapi bukan denganku. Mili, aku tidak cukup baik untukmu."

"Nonsense! Aku benci perkataan kalau aku terlalu baik untukmu. Diego, aku nggak mau putus!"

"Sayangnya, keputusanku tidak bisa diubah. Kita akhiri semuanya di sini. Tentu saja, kita tetap berteman kalau kamu mau. Cari orang yang sepadan denganmu Mili."

Sekarang Mili tahu, alasan Diego menolak satu mobil dengannya. Laki-laki itu memilih menggunakan motornya sendiri. Sekarang ini, ia duduk di kedai kopi dengan berlinang air mata, sedangkan Diego pergi dengan motornya. Ia tidak tahu kenapa laki-laki itu tega meninggalkannya di kedai. Sikap Diego yang dingin, membuat hati Mili remuk redam. Ia menelungkup di atas meja dan terisak-isak.

Sebenarnya, Diego tidak pergi. Ia hanya memindahkan motornya ke tempat yang tersembunyi. Mengawasi Mili yang menangis dari kejauhan. Semua yang dilakukannya agar gadis itu membencinya. Ia ingin Mili berpikir kalau dirinya laki-laki brengsek dan tidak berperasaan.

"Maafkan aku, Mili. Sudah menjadi laki-laki yang mengecewakamu. Maafkan aku, tidak bisa memenuhi janji kita," ucap Diego di antara kesedihan yang merambat di dada.

Menunggu hingga satu jam, Mili akhirnya meninggalkan kedai. Diego keluar dari tempatnya bersembunyi, mengedarkan pandangan ke sekeliling yang ramai. Perasaannya memburuk, berniat menghabiskan malam ini dengan mabuk. Ia akan ke toko terdekat dan membeli alkohol. Tidak masalah kalau malam ini ia mabuk sampai muntah dan nyaris pingsan. Besok masih hari liburnya. Namun, sesuatu menggelitik kesadarannya dan entah kenapa ia sangat ingin bertemu Anastasia. Diego mengambil helm, menghidupkan motor dan melarikannya ke rumah sakit. Memang belum tentu Anastasia keluar untuk menemuinya, tapi apa salahnya dicoba.

Diego merasa kalau keberuntungan sedang berpihak padanya. Ia menyusuri koridor rumah sakit, sampai di depan ruang rawat Anastasia dan tertegun. Perempuan itu berdiri menatap bunga di pot dalam balutan seragam merah muda. Diego menghela napas, melangkah perlahan. Anastasia mendadak menoleh dan tersenyum.

"Diego, bukannya libur?"

Pertanyaan dan senyum perempuan itu, membuat Diego menyadari kalau keputusannya untuk datang adalah hal yang benar.
.
.
Tersedia di google playbook

https://play.google.com/store/books/details?id=E-_DEAAAQBAJ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro