Bab 15a
Seorang perempuan setengah baya, melangkah tertatih menyusuri jalanan kecil. Kepalanya tertutup kain segitiga yang diikat di bawah dagu. Pandangannya tertuju ke lantai, menghindari orang-orang dan anak-anak yang menatapnya ingin tahu. Di area ini mereka mengenalnya sebagai perempuan misterius, tidak berkeluarga, tinggal di rumah petak yang kumuh dengan lalat dan sampah di kanan-kiri jalan. Meskipun begitu, ia punya pekerjaan bagus sebagai buruh pabrik. Diupah dengan layak untuk kehidupan sehari-hari. Meskipun gaji yang diterimanya tidak bisa membuat kaya, paling tidak membantunya untuk tidak kelaparan. Terutama saat musim dingin menyerang dan tubuhnya mulai kesakitan karena cuaca. Ia membutuhkan makanan hangat, air panas, dan selimut yang tebal. Tidak masalah kalau rumahnya hanya berupa bilik, yang terpenting bisa hidup di dalamnya.
Sehari-hari ia bekerja untuk membungkus keramik. Cukup berat tapi rela melakukannya. Tidak mudah menemukan pekerjaan dengan upah bagus di daerah sini. Ia berniat untuk mempertahankan pekerjaaanya selama mungkin. Langkahnya terhenti di depan supermarket. Menarik segulung koran dan membaca berita yang tertulis di dalamnya. Mendongak saat televisi yang tergantung di tiang menayangkan berita tentang politus kenamaan yang menyatakan akan menggugat siapapun yang sudah merusak nama baik anaknya. Ia tersenyum tipis, melangkah tertatih ke kasir dan membayar koran. Selain koran, ia memutuskan untuk sedikit bersenang-senang dengan membeli roti, susu, dan sebatang cokelat. Sebuah cemilan cukup mewah untuk perayaan malam ini.
Ia melanjutkan perjalanan sambil bersenandung, bahkan mengedipkan sebelah mata pada anak-anak yang mengejeknya. Membuat mereka semua melotot ketakutan dan lari kocar-kacir. Tentu saja, semua orang takut. Tidak masalah, ia cukup bahagia hari ini untuk merasakan hinaan mereka.
Ia masuk ke rumahnya yang kumuh, membuka pintu kayu dan menyalakan lampu sebelum masuk. Mengambil gunting untuk memotong berita yang dianggapnya menarik dari koran dan menempelkannya ke dinding dengan steloptip. Ada banyak berita di menempel di dinding kayu yang sudah lapuk, banyak lagi tersimpan di dalam laci lemari. Ia suka berlama-lama, membaca berita dan menatap wajah yang ada di sana.
"Darcy, kamu sudah pulang?"
Suara perempuan membuat perempuan itu menoleh dan membuka kain yang menutup kepala. "Iya, aku sudah pulang." Sebagian rambutnya menipis bahkan nyaris botak. Dengan luka bakar memanjang di sisi kanan wajah. Ia selalu menutupi wajah dan kepalanya dengan kain dan masker, dengan begitu tidak banyak orang yang tahu dan mengernyit takut saat memandangnya.
Seorang perempuan tua berambut putih mendatanginya dengan semangkok mi rebus. "Makanlah, baru saja aku masak."
Darcy menerima mangkok, mengendus bau kaldu ayam yang menggiurkan dan menerbitkan selera makan. Ia mengambil sebungkus roti dan memberikan pada perempuan berambut putih. Menyeringai dan menunjukkan giginya ompong.
"Roti."
Si perempuan tua mengambil sambil tersenyum. "Lagi senang, heh."
"Memang."
Menarik kursi dan duduk menghadap dinding, Darcy makan dengan lahap. Perempuan berambut putih mengamati gambar-gambar di dinding.
"Sampai kapan kamu menyembunyikan semuanya. Waktunya sudah tiba dan orang-orang seharusnya tahu kebenarannya."
Darcy menggeleng. "Tidak ada kebenaran. Apa pun yang aku katakan mereka tidak akan percaya."
"Tapi, kamu mengalami semua?"
"Hah, mana ada yang akan tertarik? Mereka semua pasti mengatakan kalau aku bicara omong kosong."
"Kamu belum mencoba."
"Sudaah! Dan mereka menertawakanku!" Darcy menatap temannya sambil menyipit. "Cory, kamu jelas tahu apa maksudku. Tidak tahan rasanya aku menerima penghinaan penghinaan ini tapi tidak banyak yang bisa aku lakukan untuk sekarang."
Keduanya bertukar pandanga dengan muram. Cory menyadari kebenaran dari kata-kata temannya. Tapi, sebuah kejahatan tidak bisa selamanya disembunyikan. Suatu saat, orang-orang harus tahu apa yang sudah menimpa Darcy.
"Aku akan membantumu, Darcy. Mencari cara mengungkapkan kebenaran."
Darcy mengangguk. "Terima kasih. Tapi, aku sekarang sedang menikmati kesenanganku. Ternyata nasib orang itu tidak terlalu mulus. Penuh skandal."
"Itulah kalau berjiwa busuk dan jahat, maka segala kehidupannya juga busuk."
"Masalahnya, tidak banyak orang yang tahu Darcy. Aku yakin dia menutupnya dengan rapi."
"Jelas, karena sekali saja terbongkar maka tamat riwayatnya." Darcy meletakkan mangkok yang sudah kosong di atas meja kayu keropos, mengelap mulut dengan punggung tangan. "Masalahnya, aku tidak percaya dengan ungkapan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga."
Cory menyeringai, menunjukkan giginya yang kuning. "Aku lebih percaya dengan ungkapan, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, bauya akan tercium juga."
Mereka bercakap di dalam ruang sempit berperangan remang-remang, memaki kehidapan, laki-laki dan juga banyak hal yang dianggap tidak adil. Keduanya tidak peduli dengan aroma yang menyengat dari got mampet di depan mereka, atau teriakan anak-anak yang sedang bermain. Semua hal yang ada di sekitar mereka begitu berisik, kotor, dan semrawut. Tapi, mereka menyukainya karena membuktikan kalau lingkungan mereka hidup.
**
Anastasia duduk berdampingan dengan Arley di teras, menikmati kopi dan makanan kecil. Mereka berencana untuk makan malam bersama, menunggu Tanaka pulang tapi ternyata, yang ditunggu sedang sibuk di kantor dan tidak tahu kapan pulang.
"Bagaimana kabarmu, Kak? Sepertinya kamu makin cantik?"
Pujian Arley membuat Anastasia tertawa. Wajahnya berseri-seri. "Mulutmu manis sekali. Sudah lama nggak ketemu, kamu makin tampan. Sudah punya pacar?"
Arley mengangkat bahu. "Belum. Prioritasku sekarang mendapatkan gelar S2."
"Ckckck, dasar kutu buku! Kamu nggak berubah."
"Jangan, cukup kamu saja yang berubah. Aku tetap ingin menjadi Arley-mu."
Anastasia mengulurkan tangan, untuk mengusap rambut Arley. Ia harus meneggakan tubuh saat melakukannya karena Arley lebih tinggi darinya.
"Sayang sekali, kamu nggak bisa ketemu Tanaka," gumamnya.
Arley tersenyum, menangkap jemari Anastasia dan mengecupnya. "Nggak masalah, Kak. Aku sudah melihatnya saat kalian menikah dulu."
"Hanya sekali, dan setelah itu setiap kali kamu pulang, dia tidak pernah ada di rumah."
Arley tidak mengatakan apa pun, tapi cukup mengerti dengan sikap Tanaka. Bagi laki-laki itu, dirinya hanya anak angkat Hector. Bukan orang yang penting dan perlu diperhatikan. Sikap meremehkan Tanaka sudah terlihat saat pertama kali mereka diperkenalkan. Arley tidak mempermasalahkan itu, menganggap sudah biasa laki-laki kaya dan berkuasa memandang sebelah mata pada anak pungut sepertinya. Yang terpenting adalah Anastasia bahagia.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah ending
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro