Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Hector menatap orang-orang yang berdiri di ruangannya, sambil merokok tiada henti. Ia sudah melakukan banyak panggilan, mengupayakan agar video asli tentang penganiayaan itu bisa ditemukan. Sungguh hal yang tidak masuk akal, kalau anaknya yang lemah lembut bisa memukul orang. Ia yakin kalau istri dari Adolf bekerja sama dengan pihak salon untuk menjatuhkan Anastasia. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah menemukan pelaku sebenarnya dan berapa banyak pihak salon dibayar.

Hector mendongak saat asistennya datang. "Bagaimana?"

"Pak Tanaka masih belum bisa dihubungi. Kata stafnya, beliau ada rencana keluar kota dan sepertinya sinyalnya susah."

"Selama ini?" Hector mengernyit. "Sudah berjam-jam dia tidak bisa dihubungi. Bagaimana dengan dua cecunguk yang selalu bersamanya?"

"Tom dan Tim? Mereka ikut serta dengan Pak Tanaka dan sama, tidak bisa dihubungi!"

Hector merasa geram, di saat penting seperti sekarang justru Tanaka sama sekali tidak bisa dihubungi. Ia sendiri sudah mengurus hal ini selama berjam-jam. Beberapa hal sudah bisa diselesaikan, tinggal mencari rekaman CCTV yang asli. Karena yang sekarang beredar sudah dimanipulasi sedemikian rupa.

Hector menatap orang-orangnya, mengembuskan rokok lalu berdehem. "Aku tidak mau tahu caranya, tapi dapatkan bukti asli. Aku ingin kasus pemukulan ini selesai sampai paling lambat besok sore."

Orang-orang di ruangan serentak mengangguk.

"Bagaimana kalau Adolf dan istrinya mengajukan tuntutan?" tanya salah seorang dari mereka."

Hector mendengkus. "Bagus itu, kita bisa ringkus mereka di pengadilan. Sekaligus membuktikan kebohongan mereka."

Sebenarnya ia tidak ingin menimbulkan masalah pada anak dan menantunya, tapi kalau disuruh memilih lebih suka menghadapi Hector di pengadilan. Ingin sekali memberi pelajaran pada politikus licik yang menggunakan segala cara untuk menjatuhkan anaknya.

Hector mengakui kalau dirinya tak kalah licik dalam berpolitik. Ia tidak pernah tebang pilih dalam mematahkan lawannya. Semua yang menghalangi langkah dan rencananya, akan dibabat sampai habis. Tapi, ia selalu berusaha untuk tidak menyerang anggota keluarga. Terkadang, sang istri hanya menjadi pendamping suami. Anak-anak hanya pelengkap untuk kampanye, akan lebih adil kalau menyerang lamgsung pada politikusnya. Adolf, harusnya bertarung langsung dengan Tanaka, dan bukan menyerang anaknya. Laki-laki itu salah pilih lawan.

"Panggil pengacara, aku ingin bertemu mereka sekarang."

Sang asisten mengangguk lalu keluar, tak sampai sepuluh menit masuk kembali. "Pak, ada tamu penting."

Hector yang baru saja duduk untuk membaca laporan, mendongak dari layar laptopnya. "Siapa?"

"Pak Hector pasti senang melihatnya."

Sang asisten menyingkir, dari belakang tubuhnya masuk seorang laki-laki tampan berumur kurang lebih 27 tahun. Laki-laki itu berambut kecoklatan yang panjangnya sedikit melewati bahu. Memakai jas dan dasi lengkap dengan langkah tegap menghampiri Hector.

"Pak, saya pulang."

Hector terbelalak, bangkit dari kursi dan mengembangkan lengannya. "Arley, kenapa pulang nggak bilang-bilang?"

Laki-laki bernama Arley masuk dalam pelukan Hector, mengecup pipi lalu punggung tangan dan tersenyum lebar.

"Pekerjaan baru selesai, Pak. Makanya saya baru bisa pulang."

Hector terkekeh, rona kebahagiaan terlintas di wajah. Lelah memikirkan masalah politik, kedatangan Arley membuatnya sangat senang.

"Aku senang kamu pulang. Semoga kali ini, kamu bisa tinggal bersamaku. Di rumah besar ini, aku kesepian karena tinggal seorang diri."

Arley mengangkat sebelah alis, mengedarkan pandangan pada orang-orang yang duduk mengitari meja panjang dari kayu. Orang-orang itu mengangguk hormat padanya saat pandangan mereka bertemu. Ia mengangguk kecil, kembali menatap Hector.

"Pak, sepertinya kata-kata sendiri kurang cocok. Karena seingat saya, rumah ini selalu ramai."

Hector menepuk-nepuk pundak Arley dengan lembut. "Kamu, dari dulu selalu punya jawaban untuk membantahku."

"Maafkan saya."

"Kenapa minta maaf, justru itu yang menarik darimu."

Orang-orang mendengarkan perkataan Hector dengan murung. Mereka saling pandang, seolah ingin mengatakan hal yang sama, kalau tidak ada yang menarik dari pertanyaan Hector yang dibantah. Mereka yakin, kalau bantahan keluar dari mulut mereka, maka kaki mereka tidak akan utuh lagi. Rupanya, laki-laki bernama Arley sangat istimewa bagi Arley.

"Pak, saya hanya berkunjung beberapa hari, setelah itu akan ke negara tetangga."

Hector mengangguk. "Aku tahu kamu sibuk, dan bangga dengan pencapainmu sekarang. Tapi, kamu harus bertemu dengan kakakmu dulu."

Arley tersenyum. "Tentu saja, bertemu dengan Kak Anastasia adalah tujuan utama saya datang."

"Kalau begitu, kamu istirahat dulu. Aku sedang menyelesaikan masalah yang menimpa Anastasia. Kalau sudah selesai kita bicara nanti. Lagi pula, Anastasia sedang ada di luar kota sekarang."

"Masalah video pemukulan palsu itu?" ucap Arley perlahan.

Hector mengangguk. "Benar, kamu pasti lihat berita itu."

Arley menatap Hector tajam. "Kalau diijinkan, biarkan saya ikut membantu menyelidiki."

"Kamu baru datang, pasti lelah."

"Nggak, Pak. Demi Kak Anastasia, lelah ini nggak seberapa."

Hector terdiam sesaat, menatap laki-laki muda tampan di hadapannya. Waktu berlalu begitu cepat, dari semula anak kecil kurung kering, kini menjelma menjadi laki-laki muda, gagah, dan juga sukses.

"Arley, kakakmu pasti senang dengan bantuamu."

Senyum terkembang dari bibir Arley. Ia membuka tas hitam yang tergantung di pinggang, menarik kursi dan mulai menyalakan laptop. "Biar aku yang periksa, kejanggalan dari video itu dan bagaimana kita bisa mendapatkan aslinya."

Orang-orang tidak ada yang berani bertanya, siapa Arley. Karena setahu mereka Hector hanya punya satu anak yaitu Anastasia. Lagi pula, laki-laki mud aini tidak pernah terlihat. Saat datang justru Hector sangat percaya padanya. Mereka yakin kalau Arley bukan orang sembarangan. Sekali lagi, tidak ada yang berani bertanya tentang Arley pada Hector, karena takut menyinggung perasaan laki-laki tua itu.

Keduanya saling peluk di atas ranjang yang tidak terlalu besar. Penerangan remang-remang dari kamar hotel menambah sahdu suasana. Diego melampiaskan semua hasratnya. Sudah beberapa hari ini, menahan diri saat bersama Anastasia. Tidak ingin menyentuh sedikitpun karena takut kehilangan kendali. Ia nyaris tidak bisa menahan niat untuk memeluk dan mengecup, saat melihat Anastasia. Waktu yang dihabiskannya bersama perempuan ini, seolah adalah masa-masa penyiksaan.

Ia tersiksa, melihat Anastasia tersenyum. Ingin menghentikan senyuman itu dengan ciuman. Ia tidak suka melihat Anastasia marah atau kesal, ingin menggantinya dengan erangan penuh gairah. Ia lebih tidak suka melihat Anastasia sedih, karena menurutnya saat tertawa lebih terlihat cantik dan menggairahkan. Diego tenggelam dalam fantasynya sendiri soal istri laki-laki lain.

"Nyonya, buka pahamu," desahnya.

Anastasia menuruti ucapannya, membuka paha dan membiarkan Diego berada di atasnya. Bibir mereka saling melumat, dengan desahan terdengar nyaring.

Satu per satu pakaian tanggal, hingga mereka saling bergumul di atas ranjang tanpa sehelai kain menutupi tubuh. Diego menyusuri kulit Anastasia dari pundak, perut, pinggang, hingga paha dengan bibir dan jemarinya. Menyukai kulit yang halus dan licin, dengan aroma yang memabukkan.

"Nyonya, kenapa kamu begitu cantik?" ucap Diego.

Anastasi tersenyum, dengan bibir Diego mengecupi lehernya. "Kam uterus merayu. Apa kamu lupa kalau aku lebih tua dari kamu?"

Diego mengangkat wajah dari leher Anastasia. "Lalu, apa masalahnya?"

Anastasia tersenyum. "Banyak tentu saja, tidak seharusnya perempuan yang lebih tua dipuji menggoda."

Diego mengarahkan jemarinya ke paha Anastasia dan membukanya perlahan. Ia mengusap area intim Anastasia, menggerakkan jemarinya dengan lembut. Kadang naik turun, sesekali melingkar dan mendadak masuk untuk mengejutkan. Menyukai Anastasia yang menggigit bibir karena menahan gairah.

"Kamu hanya lebih tua beberapa tahun dariku. Tidak masalah. Yang terpenting adalah tubuhmu menggairahkan."

Diego terus menggoda Anastasia, membuat perempuan itu menggelinjang dan terangsang. Mereka saling mencumbu, memberikan hasrat yang membuncah dalam dada. Anastasia berteriak saat merasakan lidah Diego menyapu area intimnya. Ia mencengkeram rambut laki-laki itu, tubuhnya bergerak menggila. Saat gairha tidak lagi tertahan, Diego mengangkat tubuh dan meosisikan diri di tengah. Satu hujaman pelan membuat keduanya menyatu.

"Rasanya enak sekali," bisik Diego.

Anastasia menangkup wajah pemuda itu sementara tubuh mereka menyatu dengan cepat. "Ini harusnya hanya menjadi bagian dari pekerjaan," bisiknya. Menggigit bibir, melemparkan kepala ke belakang saat Diego menghujam cepat.

Diego menangkup dagu Anastasia dan tersenyum kecil. "Benarkah? Dari awal mungkin, iya, tapi sekarang tidak lagi."

"Kenapa?"

"Kamu masih tanya kenapa? Karena setiap melihat matamu, Nyonya. Aku berpikir seolah kamu sedang merayuku."

"Hah, itu, aah."

"Kenapa? Sukaa?"

Anastasi tidak tahu, mulai kapan suka dengan kata-kata mesum dan penuh arogansi dari bibir laki-laki. Saat Diego mengejek dan menggodanya, ia merasa kalau itu kurang ajar tapi di lain pihak juga sangat sexy. Kemana perginya harga diri sebagai perempuan anggun dan penuh wibawa, saat takluk hanya karena sebuah sentuhan. Ia melenguh, tubuh mereka berpeluh dan tidak ada yang ingin mengakhiri.

Diego mengangkat tubuhnya, menarik Anastasia berdiri. "Hei, mau kemana?" protesnya.

Diego mendorong Anastasia hingga berdiri di depan jendela hotel. Membuka tirai dan menatap pemandangan jalan. Tidak ada yang bisa melihat mereka tentu saja karena jalanan cukup sepi, meski begitu langit temaram dengan lampu-lampu yang berpendar membuat pemandangan yang berbeda.

"Kita harus tetap siaga." Diego mengangkat dagu Anastasia dan melumatnya dari belakang, Sementara tangannya meremas dada perempuan itu yang tegak. "Jangan sampai lengah dengan musuh."

Anastasia mencoba mengelak. "Ini gila, kita menghadap jalanan."

"Harus waspada, Nyonya. Siapa tahu ada musuh tersembunyi."

Tangan Diego mencengkeram pinggang Anastasia, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Mengangkat sedikit pinggulnya dan dengan lembut menyatukan diri. Anastasia mendesah, mencengkeram tirai jendela dengan Diego bergerak cepat. Rasanya mereka berdua sudah gila, melakukan hal seperti ini di saat banyak masalah. Tapi, siapa yang peduli saat gairah tidak tertahan,

Mata Anastasia menatap lampu yang berpendar perlahan, membiarkan Diego mengecup bahu dan menjilat telingannya. Laki-laki yang sekarang sedang memasukinya dengan cepat, tidak pernah segan untuk memujanya. Cara Diego memperlakukan tubuhnya, seolah benar-benar menikmati percintaan mereka. Tanpa rasa sungkan dan rasa enggan.

Ia teringat dengan suaminya. Percintaan mereka selalu berlangsung cepat dan tanpa kemesraan. Suaminya yang menganggap sex hanya membuang waktu, tidak pernah memberinya kenyamanan dalam berhubungan intim. Itulah kenapa pernikahan mereka terasa hambar, tanpa sex yang menggairahkan. Kini, bersama Diego ia perlahan mengerti, apa artinya terkurung dalam gairah yang dalam. Tidak peduli kalau orang lain mengecap mereka liar, yang terpenting adalah rasa panas yang menguasai tubuh terasa menyenangkan.

"Anastasia, apa yang kamu pikirkan?" bisik Diego.

Anastasia menatap Diego lekat-lekat, merasa kaget karena pertama kalinya laki-laki itu memanggil namanya. Ia tersenyum kecil.

"Menurutmu apa?"

Diego tersenyum, menarik kejantanannya dan membalikkan tubuh Anastasia. "Sepertinya, kamu kurang panas, aku harus berusaha lebih keras lagi kalau begitu."

"Maksudmu apa?" tanya Anastasi bingung.

"Membuatmu mengenyahkan semua masalah yang sekarang ada di otakmu. Apa pun itu, sekarang hanya ad akita berdua."

Diego melumat bibir Anastasia, memberikan hal lain untuk dipikirkan perempuan itu. Ia tahu Anastasia sedang menghadapi banyak kesulitan. Ia ingin membantu menenangkan dengan caranya sendiri, agar Anastasia tahu ada dirinya untuk tempat bersandar.

Diego menyatukan mereka sekali lagi, mengangkat pinggul Anastasia untuk melingkari pinggangnya. Ia menempelkan tubuh perempuan itu di dinding dan menggerakkan tubuhnya keluar masuk. Ia tidak tahan untuk tidak menghujam dengan cepat, karena menyukai desahan dari bibir Anastasia. Di luar sana, banyak masalah yang menanti, banyak hal yang meresahkan Anastasia, tapi di sini ada dirinya yang mengisi dan memberi gairah.

Diego mungkin sedang gila, saat tidak peduli lagi meski Anastasia sudah bersuami. Meskipun yang menjadi target mereka adalah seorang anak, menyatukan tubuh mereka dalam rasa panas jauh lebih penting dari itu.

"Nyonya, ayo, berteriak kalau mau," desahnya.

Di dalam kamar yang remang-remang, mereka saling pandang dengan tubuh bergelimang peluh. Merobek kewarasan demi hasrat yang membelah dada.
.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah ending.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro