5. Hadiah Tanpa Nama
Meski sudah tiba di rumah, bukan berarti Naruto telah lepas dari semua beban dan bisa segera mengistirahatkan tubuh seperti apa yang tadi Itachi katakan. Tidak. Sebab, masih banyak pekerjaan yang menantinya.
Naruto memasuki rumah dengan langkah lesu. Helaan napas terdengar kala sepasang safirnya menangkap panorama seisi rumah yang begitu berantakan: sampah bekas berbagai macam makanan tampak tergeletak tak beraturan. Demikian juga dengan beberapa piring serta gelas kotor.
Setelah melepas jaket serta menyimpan tas, Naruto segera bergegas menyelesaikan setiap pekerjaan yang ada, dia tak mau mendengar omelan sang bibi serta cercaan sang sepupu bila melihat keadaan rumah yang masih berantakan saat pulang nanti.
Naruto tak heran akan ketidakberadaan Mito dan Karin, karena ini bukanlah pertama kalinya mereka pergi tanpa memberitahu Naruto terlebih dahulu. Sudah sering Karin serta ibundanya tiba-tiba pergi dari rumah tanpa sepengetahuan Naruto.
Dan Naruto tidak perlu bingung untuk mencari kunci rumah bila mereka tak ada. Karena sejak awal, Karin memberitahunya bahwa jika dia dan sang ibu pergi maka kunci rumah mereka letakkan di bawah pot bunga. Tentu saja Karin serta Mito melakukan hal itu bukan dikarenakan khawatir pada Naruto yang tidak bisa masuk ke dalam rumah sehingga tidak bisa beristirahat. Sama sekali bukan. Mereka tak pernah membawa kunci rumah saat berpergian guna Naruto bisa masuk lalu membersihkan rumah seperti biasa. Ya, hanya itu tujuan Karin serta Mito, tak lebih. Mereka tak mau saat pulang nanti keadaan rumah masih kotor.
Sekitar setengah jam sudah berlalu, Naruto juga sudah selesai membersihkan seisi rumah, merapikan barang-barang yang semula berantakan tak karuan.
Dengan peluh yang membasahi wajah serta tubuh, Naruto beranjak menuju dapur, membasahi tenggorokannya dengan segelas air dingin. Dia terdiam sejenak demi merilekskan tubuhnya. Sungguh, dia sudah sangat lelah dan ingin segera berbaring di kasur, tapi dia juga tak bisa terlelap dalam kondisi berkeringat seperti sekarang.
Karena tak memungkinkan bisa tidur dengan kondisi tubuh yang lengket, mau tak mau Naruto mandi terlebih dahulu. Dan ketika kedua tangannya mulai menggosok seluruh tubuh hingga dipenuhi sabun, tiba-tiba Naruto terdiam, teringat akan sesuatu. Dia melirik cermin gantung yang tersedia di sana sebelum menatap pantulan tubuhnya yang hanya mampu terlihat sampai bagian perut.
Sepasang safir mulai bergulir, menatap intens pada bagian-bagian tubuh yang sempat tersentuh oleh seorang pria yang sangat dicintainya dan yang dia pikir juga sangat mencintainya. Ah, namun jika diingat lebih jelas lagi, setiap bagian tubuhnya memang tak ada yang terlewat dari sentuhan Sasuke.
Wajah Naruto bersemu.
Dia malu, tetapi juga rindu. Rindu akan setiap pelukan yang Sasuke berikan. Kecupan yang Sasuke landaskan. Rasanya, dia ingin sekali mendekap Sasuke saat ini juga seraya memberi ciuman pada salah satu pipinya. Lupakan kenyataan bahwa tadi di kampus mereka sudah melakukannya, bahkan sedikit melebihi dari sekadar mencium pipi. Yah, rasa rindu Naruto pada Sasuke memang tak pernah habis.
Tak ingin lebih lama lagi di dalam kamar mandi, Naruto pun segera mengakhiri kegiatannya sebelum melangkah keluar dengan tubuh yang berbalut handuk biru.
Wajah Naruto tampak semringah kala sudah berada di dalam kamar dan melihat ponselnya menyala menampilkan pesan.
Dengan cepat dia meraihnya karena berpikir pesan tersebut adalah kabar dari sang kekasih. Namun, ternyata bukan. Itu hanyalah pesan singkat mengenai promo paket bulanan yang operator kirimkan.
Naruto mendesah pelan dengan sepasang safir yang tak lagi terlihat berbinar. Dia heran, mengapa sampai sekarang Sasuke tak ada menghubunginya. Dan untuk saat ini dia juga tak berani menghubungi Sasuke terlebih dahulu karena tadi siang Sasuke sudah mewanti-wanti dirinya untuk tidak mengirim pesan atau pun panggilan suara, dia harus menunggu sampai Sasuke yang menghubungi. Namun, sampai kapan Naruto harus menunggu? Ini sudah malam dan belum ada satu pun kabar yang Naruto terima.
Tetapi, beberapa saat kemudian, tepat setelah Naruto mengenakan seluruh pakaian, layar ponselnya kembali menyala disertai getaran singkat.
Mulanya Naruto malas untuk melihat karena mengira pesan tersebut pasti bukan dari seseorang yang dia nanti. Namun, seulas senyum penuh kebahagiaan tak mampu Naruto tahan kala membaca nama kontak yang tertera dan isi pesan yang diterima.
Tanpa berlama-lama, Naruto lantas berlari menuju pintu utama, membukanya cepat demi melihat sang kekasih yang ternyata memang ada berdiri di depan pagar seraya bersandar pada motornya.
"Seharusnya kau menyambut kedatanganku dengan senyuman," ujar Sasuke kala sang kekasih berjalan mendekatinya dan berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sedikit kesal. "Kau marah, hm?" Sebuah elusan lembut Sasuke berikan pada salah satu pipi Naruto.
"Aku hanya kesal." Naruto masih enggan menatap sepasang iris hitam di hadapannya.
"Kesal kenapa?" Sasuke mengulum senyum. Dia sebenarnya sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya seperti ini.
Naruto mendengkus. "Pikirkan saja sendiri."
Senyuman Sasuke semakin merekah hingga sedikit dari deretan gigi rapinya tampak terlihat. "Maaf," ujarnya seraya menegakkan tubuh dan menangkup kedua pipi Naruto. "Seharian tadi banyak yang harus kulakukan."
"Ya, banyak sekali, sampai-sampai kau tidak bisa memberiku sedikitpun kabar."
"Aku serius, Sayang."
"Memang apa saja yang sejak tadi kau lakukan?"
"Di keluargaku sedang ada sedikit masalah. Maaf, aku tidak bisa menceritakannya padamu, ini masalah yang cukup privasi," sahut Sasuke berdusta. "Lalu, setelah itu aku membantu Kimimaro berkemas dan mengantarnya ke bandara. Dia tidak akan tinggal lagi di sini."
Kimimaro adalah salah satu teman Sasuke yang begitu angkuh. Pemuda itu tidak berkuliah di kampus yang sama dengan mereka, namun Naruto mengenalnya karena Sasuke pernah beberapa kali membawa sang kekasih ketika bertemu dengan Kimimaro.
Mendengar alasan terakhir, Naruto sama sekali tak peduli. Terserah bila Kimimaro memang pergi. Yang Naruto ingin tahu adalah mengapa Sasuke tidak menghubunginya sama sekali.
"Setidaknya beri aku kabar," keluh Naruto kemudian. "Tidak akan menghabiskan waktu satu jam untuk mengirim pesan padaku."
"Tadi aku benar-benar tidak bisa memainkan ponsel walau sebentar." Demi menenangkan kekasihnya dan karena keadaan jalan yang sudah sepi, Sasuke pun menarik tubuh Naruto ke dalam pelukan, mengusap punggungnya dengan gerakkan perlahan. "Aku 'kan sudah minta maaf. Lagipula, aku juga sudah di sini, di hadapanmu dan... memelukmu," bisiknya seraya memberi kecupan ringan pada daun telinga Naruto.
Sebenarnya Naruto ingin lebih lama berada dalam dekapan sang kekasih. Namun, karena khawatir ada orang yang melihat, dia pun segera melepas pelukan dan memberi jarak di antara mereka.
"Maaf, ya." Sasuke mencubit gemas salah satu pipi Naruto. "Aku janji, lain kali sesibuk apapun, aku tidak akan mengabaikanmu."
Naruto tidak memiliki pikiran negatif. Dia percaya saja akan alasan dusta yang Sasuke katakan perihal kesibukannya di hari ini hingga tidak bisa memberi kabar. Ya, sebenarnya sejak pulang dari kampus, Sasuke hanya sibuk bersama Hinata. Dia menemui Hinata di persimpangan menuju rumah gadis itu, membujuknya untuk tak lagi marah serta memberi penjelasan pada Hinata tentang apa yang tadi Naruto katakan perihal hubungan mereka bahwa Naruto hanya bergurau.
Tetapi, Hinata tak percaya dan memilih untuk tetap menjauhi Sasuke bersebab dia lebih yakin akan ucapan Naruto. Dan Sasuke benar-benar kesal, sehingga kala tadi sampai sore mood dia begitu buruk, membuatnya tak ingin menghubungi Naruto untuk sementara waktu.
Ya, jujur saja Sasuke masih cukup jengkel. Karena pengakuan Naruto pada Hinata, dia jadi gagal untuk mendekati gadis bermarga Hyuuga itu. Namun, tidak masalah bagi Sasuke jika Hinata memang tak ingin mempercayainya dan tetap menjauh, tak memberinya kesempatan. Sasuke juga tak akan memaksa apalagi harus memohon-mohon. Karena Sasuke pun tak suka bila ternyata Hinata tipikal wanita yang jual mahal.
Masih lebih baik Naruto, pikir Sasuke. Mengingat betapa mudahnya membuat wanita itu luluh dan bertekuk lutut, rela melakukan apapun untuk dirinya.
Bersebab waktu yang semakin larut, Sasuke lantas memberikan kantong kertas berisi beberapa makanan khas Kota Iwa. "Oleh-oleh dari ibu dan ayah."
Sepasang safir Naruto terlihat sedikit membola. Dia tak menduga Mikoto dan Fugaku akan selalu memberinya buah tangan setiap kali berpergian ke luar kota. "Terima kasih banyak."
Kebaikan orangtua Sasuke pada Naruto memang tak diragukan lagi. Walau sebenarnya, Mikoto lah yang selalu membujuk sang suami agar membeli buah tangan juga untuk Naruto selaku teman dekat sang anak yang juga cukup akrab dengannya. Sedangkan Fugaku sendiri memiliki kepribadian yang cukup dingin, dia tak terlalu peduli pada setiap teman-teman sang anak, termasuk Naruto. Bagi Fugaku, anak-anaknya bebas berteman dengan siapapun selama tidak mengganggu dan merugikan. Dan tentu bebas dalam artian tetap tahu batasan, Fugaku tak akan suka bila teman sang anak bertindak tak sopan, tak wajar dan mengusik kenyamanan keluarganya.
Sebenarnya Naruto ingin bercerita pada Sasuke mengenai pertemuan dia dengan Itachi ketika tadi. Namun, melihat keadaan yang semakin larut malam, Naruto pun mengurungkan niatnya. Terlebih, tak lama kemudian Sasuke juga berpamit pulang.
•
•
•
Bersebab perutnya yang sudah kenyang, Naruto tak mencicipi makanan yang beberapa menit lalu diantarkan oleh Sasuke sebagai buah tangan dari kedua orangtuanya. Naruto lebih memilih menyimpannya untuk besok.
Kelopak mata mulai terasa berat. Tetapi, Naruto tak bisa tidur begitu saja. Tidak. Dia harus tetap terjaga, menunggu kepulangan sang bibi dan sang sepupu agar ada yang membukakan pintu untuk mereka. Karena jujur saja, Naruto sulit bangun bila sudah merasa sangat lelah seperti ini hingga tidurnya bisa begitu nyenyak.
"Hmmh!" Naruto menguap kecil dan berbaring terlentang di atas ranjang. Dia memainkan ponselnya, melihat-lihat isi galeri foto yang lebih dominan dipenuhi oleh potret-potret Sasuke, baik dengan dirinya ataupun Sasuke sendiri.
Seulas senyum tampak terbit ketika tampilan layar diperbesar untuk melihat potret Sasuke dengan lebih jelas. Naruto rasa, memandang wajah Sasuke melalui ponsel atau pun secara langsung memang tidak membosankan.
Tak lama kemudian perhatian Naruto sedikit terusik oleh notifikasi pesan yang tiba-tiba muncul.
Naruto tak membalas pesan tersebut. Bahkan, dia juga tak bertanya sedang ada di mana Karin dan Mito. Bukan dia tak peduli. Hanya saja, dia merasa memang itu bukanlah urusannya. Terserah bila Karin dam Mito tak akan pulang, karena ini pun bukan pertama kalinya mereka berpergian hingga pulang pagi.
•
•
•
Dering alarm mengusik lelapnya tidur. Naruto melenguh sembari menggeliat malas. Sungguh, Naruto berharap hari ini tiba-tiba berubah menjadi hari libur sehingga dia bisa kembali melanjutkan tidur. Namun, kenyataan tetaplah kenyataan, dia tak bisa mengabaikan segala kewajiban serta rutinitas yang sudah terjadwal.
Dengan kelopak mata yang belum terbuka sempurna, Naruto berjalan malas memasuki kamar mandi sampai akhirnya kedua kelopak mata itu benar-benar membuka ketika beberapa tetes air menyentuh kulit kepala.
Naruto ingin tubuhnya lebih lama menikmati guyuran air. Tetapi, waktu yang semakin bergulir membuat dia terpaksa segera keluar kamar mandi, mengenakan baju sehari-hari sebelum berkutat di dapur demi menyiapkan sarapan pagi untuk sang bibi dan sang sepupu yang sebentar lagi akan pulang.
Karena tak ada pekerjaan lain yang harus dia selesaikan, usai menyiapkan makan pagi dan mencicipi sedikit dari makanan yang menjadi oleh-oleh dari orangtua Sasuke, Naruto lantas mengganti baju mengenakan pakaian yang lebih pantas untuk digunakan ke kampus kemudian bergegas pergi menaiki bus. Sebelumnya, Naruto juga sudah membekal sebagian makanan pemberian orangtua Sasuke untuk di kampus nanti atau bisa dia makan saat di tempat kerja. Dan sebagian lagi dia simpan di rumah, terserah bila Karin atau Mito akan memakannya. Tak masalah. Karena Naruto pun tak mau menghabiskan semuanya sendiri.
Di dalam bus, Naruto hanya terdiam seraya memandang panorama jalanan di pagi hari melalui jendela yang sedikit terbuka. Dia tidak sendirian di bus itu. Ada penumpang lain yang beberapa di antara mereka adalah mahasiswi di kampusnya, bahkan ada juga yang satu fakultas dengannya.
Tetapi, ketika pandangan mereka bertemu, tak ada sapaan, perbincangan singkat atau pun sikap lain selayaknya orang yang saling mengenal. Yang justru Naruto dengar adalah bisik-bisik disertai tawa penuh cemooh.
"Benar-benar tidak modis."
"Apa dia tidak punya pakaian yang sedikit lebih pantas?"
"Orang miskin seperti dia mana mungkin memiliki pakaian yang bagus."
Tidak ada nama yang disebut dengan jelas, tetapi Naruto paham ucapan itu ditujukan pada siapa karena ini bukanlah pertama kalinya. Mereka memang selalu melontarkan ucapan-ucapan tak menyenangkan hati bila bertemu dengan dirinya atau ada dia di sekitar mereka.
Inilah salah satu alasan mengapa Naruto tak memiliki teman selain Sasuke. Tak ada yang mau berteman baik dengannya, bahkan mereka justru sering merendahkannya, memandangnya sebelah mata.
Naruto sedih, tentu saja. Dia juga ingin memiliki teman banyak seperti orang lain. Tapi, setiap kali dia mencoba untuk mendekat, mereka malah memandangnya tak suka. Sampai akhirnya, Naruto berhenti mendekati siapapun, dia hanya akan berinteraksi bersama orang lain bila ada hal yang berkaitan dengan kampus atau tugas sekolah. Selebihnya, dia selalu mengasingkan diri.
Dan ini juga menjadi salah satu penyebab mengapa Naruto teramat tak ingin kehilangan Sasuke. Hanya Sasuke satu-satunya orang yang sejak awal berkenalan tak memandangnya penuh kebencian seperti orang lain. Hanya Sasuke satu-satunya orang yang tetap berada di sampingnya di kala semua orang justru menjauh dari dirinya.
"Aku heran, kenapa bisa-bisanya Sasuke mau berteman dengan orang seperti dia?"
"Benar. Aku juga heran."
Naruto mengepalkan kedua tangan. Dia sudah sering menerima ejekan. Tapi, baru kali ini dia mendengar ada orang yang terang-terangan mempertanyakan perihal mengapa Sasuke bersedia berteman dengan dirinya.
Pertanyaan itu sangatlah mengganggu hati Naruto, melebihi cemoohan yang sering dia terima.
Tak bisa Naruto bayangkan, akan seheboh apa bila mereka tahu bahwa dia dan Sasuke tak hanya sebatas teman, melainkan juga sepasang kekasih. Pasti cemoohan yang Naruto terima tak akan berhenti di setiap harinya.
Tanpa mempedulikan sekumpulan para gadis yang selalu memandangnya sinis, saat bus berhenti Naruto bergegas keluar mendahului mereka dan berjalan memasuki area kampus.
Bersamaan dengan itu, sebuah ducati merah juga memasuki kampus, hendak bergegas ke area parkir. Namun, si pengendara lebih memilih melambatkan laju motornya tepat di samping Naruto yang berjalan lamban.
"Sasuke," gumam Naruto, melirik dan tanpa menghentikan langkah.
Di balik helm dan tanpa diketahui oleh siapapun selain Naruto, Sasuke tersenyum seraya mengedipkan salah satu matanya. "Tunggu aku di kantin."
Belum sempat Naruto menjawab, Sasuke sudah lebih dulu melajukan kembali motornya.
•
•
•
Bukan hal yang aneh ketika Sasuke dan Naruto makan bersama di kantin, baik saat sarapan pagi atau pun saat waktu istirahat. Sebab sejak awal, mereka memang selalu begitu sehingga sebagian mahasiswa tidak berpikir berlebihan mengenai hubungan mereka. Meski kebanyakan dari mereka masih terheran-heran akan kedekatan keduanya. Lebih tepatnya, heran pada Sasuke yang bersedia berteman dekat dengan Naruto. Padahal mereka rasa, tak ada yang istimewa dari gadis bermarga Namikaze itu.
"Hanya minum susu?" Sasuke tak lantas memakan roti coklat dalam genggamannya kala melihat sang kekasih yang tak memesan makanan apapun dan hanya meminum satu cup susu.
"Aku tidak lapar."
Dahi Sasuke sedikit berkerut. "Kau terlihat tak senang kita sarapan bersama."
"Bukankah aku harus menjaga sikap?" Naruto menghela napas. "Jika ekspresiku terlalu berlebihan, orang-orang di sini akan curiga."
Ya, Sasuke paham. Dan memang dia sendirilah yang meminta Naruto untuk tetap bersikap layaknya teman, tak mengeluarkan ekspresi berlebihan atau pun sikap yang menunjukkan bahwa mereka memiliki hubungan lebih dalam. Tetapi maksud Sasuke, kali ini Naruto terlihat kurang ceria.
Di kampus hari itu, tak banyak yang mereka bicarakan karena Naruto lebih memilih diam, enggan berbicara apapun dengan Sasuke selain sekadar menjawab pertanyaan yang diberikan. Bahkan, saat waktu istirahat pun Naruto tidak menemui sang kekasih seperti biasa atau membuat janji untuk berjumpa di halaman belakang kampus, tempat rahasia mereka. Tidak. Hari itu Naruto hanya menyendiri dengan perasaan tak menyenangkan yang sedikit mengusik hati.
Hingga waktu pulang tiba, Naruto tetap tak menyempatkan diri meski untuk sekadar menyapa sang kekasih ketika tak sengaja mereka bertemu di koridor.
Sasuke menatapnya cukup lama, namun Naruto hanya fokus berjalan, bahkan melirik saja tidak.
Hari ini dia kenapa, sih?
Sasuke benar-benar bingung akan sikap Naruto yang sedikit aneh.
•
•
•
Usai pulang dari kampus, seperti biasa Naruto langsung bergegas menuju kedai kopi di mana dia bekerja.
Jujur, dia merasa tak nyaman harus mendiamkan Sasuke sejak tadi. Tetapi, pertanyaan dari para mahasiswi saat di bus rupanya sangat tidak bisa dia abaikan.
Mereka benar ... sebenarnya apa yang membuat Sasuke bersedia berteman denganku? Bahkan, dia juga menjadikanku sebagai kekasihnya.
Naruto menghela napas. Dia ingin membicarakan ini dengan Sasuke, namun saat di kampus tadi tidak ada waktu untuk mereka berbincang banyak sehingga Naruto lebih banyak diam dan merenung.
Waktu terus bergulir dan tanpa terasa hari pun mulai gelap. Naruto beberapa kali melirik jam tangan hanya demi memastikan berapa lama lagi dia bisa pulang dari sini.
Sedangkan di kediaman keluarga Uchiha, Sasuke tampak merapikan penampilan hingga kegiatannya itu menarik atensi sang ayah yang tak sengaja berjalan melewati kamarnya.
"Kau mau ke mana?" Fugaku memindai tubuh sang anak dengan tatapan yang selalu saja terlihat mengintimidasi.
"Ada acara dengan teman."
"Acara apa malam-malam seperti ini?"
Sasuke meraih kunci motor. "Hanya acara makan biasa. Tadi, kami sudah janji untuk berkumpul di rumah Juugo."
Fugaku terdiam sejenak. Dia sebenarnya tak mau mengizinkan Sasuke pergi bersebab khawatir bahwa sang putra bungsunya ini bukan pergi makan-makan bersama teman melainkan main tidak jelas atau justru melakukan balap liar hingga membahayakan nyawa.
"Jangan pulang terlalu malam," tutur Fugaku seraya beranjak pergi. Tidak ada pilihan lain selain percaya pada sang anak, karena selama ini pun semua putra-putranya tak pernah ada yang mengecewakan atau pun membuat masalah besar, termasuk Sasuke.
"Hn." Tanpa berlama-lama, Sasuke lantas bergegas. Dia juga mengatakan hal serupa ketika bertemu dengan sang ibunda serta sang kakak di anak tangga.
Dan semuanya percaya begitu saja bersebab mereka tak tahu tujuan Sasuke yang sebenarnya pergi dari rumah di malam ini. Sasuke pergi bukan semata-mata hanya sekadar menghadiri acara makan malam yang Juugo dan Suigetsu adakan untuk reuni mereka karena sudah lama tak berjumpa, melainkan Sasuke berniat untuk menemui sang kekasih yang dia yakini masih berada di tempatnya bekerja.
•
•
•
Naruto memang ingin bertemu Sasuke untuk membicarakan hal yang sudah mengganjal di hatinya. Tetapi, dia tak menduga pertemuannya dengan Sasuke akan terjadi secepat ini, bahkan tanpa ada janji sebelumnya. Sasuke datang tepat setelah dia keluar kedai karena jam bekerja sudah selesai.
Mengingat hari yang sudah gelap dan waktu mereka hanya sedikit, tanpa berbicara banyak Sasuke segera meminta sang kekasih untuk menaiki motor serta mengenakan helm.
"Kita mau ke mana?" Naruto bertanya setelah motor mulai melaju memasuki jalan raya.
"Rumah Juugo."
"Siapa?"
"Teman lamaku. Aku diundang untuk makan malam."
"Dan kau berniat membawaku ke sana?"
"Kau tidak mau?" Laju motor sedikit melambat, Sasuke melirik wajah sang kekasih melalui spion.
Naruto tak menjawab. Yang dia lakukan hanyalah balas menatap Sasuke tanpa senyuman.
Sasuke menghela napas melihat sikap kekasihnya yang tak kunjung membaik. Tapi meski begitu, dia tak bisa bertanya dengan keadaan seperti ini. "Peluk," pintanya seraya kembali fokus pada jalanan dan laju motor pun kembali normal.
"Apa?"
"Peluk aku," jelas Sasuke.
Tanpa bertanya apapun lagi, Naruto segera melingkarkan kedua lengannya pada pinggang sang kekasih, memeluknya cukup erat dan menyandarkan kepala pada punggung lebarnya.
Hanya membutuhkan waktu sekitar dua belas menit untuk mereka bisa tiba di kediaman Juugo.
Naruto sontak melepas pelukan dan sedikit memberi jarak kala melihat ada dua orang yang berdiri di halaman rumah. Walau mereka tampak sibuk dengan kegiatannya, tapi Naruto tetap takut mereka melihat kedekatan dia dengan Sasuke.
"Jangan khawatir." Sasuke meraih salah satu tangan Naruto, menggenggam serta menuntunnya. "Mereka orang pertama yang tahu tentang hubungan kita sebelum Hinata."
Naruto terkesiap. Dia tak percaya. Karena bagaimana bisa mereka mengetahui hubungannya dengan Sasuke sedangkan dia baru sekarang bertemu dengan mereka? Lalu, bagaimana bisa Sasuke tetap bersikap santai kala hubungannya diketahui orang lain? Bukankah pria itu selalu menutupi semuanya dengan sangat apik?
Sasuke yang melihat kebingungan sang kekasih pun hanya mendengkus pelan seraya tersenyum. Dia memang belum pernah memperkenalkan Naruto pada kedua orang di hadapannya ini sehingga wajar saja bila Naruto tampak sangat kebingungan.
"Dia Juugo," tunjuk Sasuke pada pemuda bertubuh tinggi besar dengan surai oren pudar. "Dan dia Suigetsu," lanjutnya pada seorang pemuda yang melempar senyuman ramah.
Naruto mengangguk. "Aku Namikaze Naruto. Se-senang bisa bertemu dengan kalian."
Juugo yang tak suka berbasa-basi pun hanya mengangguk pelan kemudian meminta semuanya untuk segera bergegas ke halaman belakang di mana pesta barbekyu akan dimulai.
Naruto tak merasa risi berada di antara dua orang yang masih asing baginya. Sebab, Juugo dan Suigetsu selalu asyik dengan kegiatan mereka sendiri tanpa mempedulikan Naruto yang duduk tak jauh dari mereka berada. Mereka tak banyak bertanya atau pun menatap sehingga Naruto cukup merasa sedikit nyaman.
Jujur saja, sebenarnya Naruto sedang tidak lapar dan dia sangat tak berselera ketika Sasuke memberinya seporsi barbekyu yang baru saja dibuatnya bersama Juugo dan Suigetsu. Namun, karena merasa tak enak bila menolak, dengan terpaksa Naruto pun mencicipinya sedikit demi sedikit.
"Untuk apa kau memfotonya?" Naruto heran ketika melihat Sasuke yang mengambil potret beberapa piring barbekyu berserta sosok Juugo dan Suigetsu yang juga sengaja Sasuke tangkap menggunakan kamera ponsel.
"Untuk bukti kepada ayah dan ibu." Sasuke menjawab tanpa menatap. Ia hanya fokus pada ponsel untuk beberapa saat sebelum memilih duduk di sisi Naruto kemudian memandang sepasang safirnya dengan lekat. "Kau sedang ada masalah apa sebenarnya?"
"Tidak ada."
"Tidak mungkin." Sasuke mengelus sebelah pipinya. "Kau tidak akan bersikap seperti ini jika tidak ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, bukan?" lanjutnya, menunjukkan bahwa dia mengenal Naruto dengan sangat baik.
Naruto sedikit menghela napas seraya menundukkan pandangan. "Aku hanya ingin tahu ..."
"Tentang apa, Sayang?"
Kembali, Naruto menatap lekat sepasang iris hitam di hadapannya. "Apa yang membuat Sasuke memilihku?"
"Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti ini?"
"Sudah kubilang, aku hanya ingin tahu ... kenapa Sasuke bersedia berteman denganku dan bahkan menjalin hubungan yang lebih bersamaku?" Naruto tak mengalihkan tatapannya walau sesaat. "Kenapa? Bukankah tidak ada yang istimewa dari diriku?"
Sasuke terdiam sejenak seraya menata poni dari surai pirang Naruto yang tampak tak rapi karena diterpa angin. "Jika memang tidak ada yang istimewa dari dirimu, mana mungkin aku memilihmu."
" .... "
"Kau bisa membuatku sangat nyaman." Perlahan, Sasuke menyandarkan kepala sang kekasih pada dadanya. "Itu yang membuatmu sangat istimewa, Naru."
Namun, jika saja Naruto bisa menilik lebih dalam, Sasuke berkata nyaman bersama dirinya bukan karena sebuah perasaan tulus. Melainkan karena Naruto yang rela melakukan apapun hingga keinginannya selalu saja terpenuhi. Sasuke tak lain hanya sekadar memanfaatkan perasaan tulus yang selama ini Naruto berikan. Memanfaatkan cintanya yang begitu dalam dan besar.
"Jangan memikirkan hal yang tidak penting." Sasuke mencubit pelan ujung hidung Naruto. "Aku tak mau kau mendiamku tidak jelas lagi seperti tadi."
Beberapa meter di hadapan mereka, Suigetsu tampak mengulum senyum geli melihat tingkah Sasuke pada Naruto. "Menurutmu, bagaimana jika Paman Fugaku mengetahui hal ini? Apa yang akan terjadi?" tanyanya pada Juugo. Dia tahu betul bahwa orangtua Sasuke sangatlah melarang keras putra-putranya untuk memiliki hubungan seperti ini selama masih bersekolah. Tapi, lihat apa yang terjadi di depan mata mereka, Sasuke bersikap begitu mesra pada seseorang yang selama ini hanya dipikir sebagai teman dekatnya saja.
"Jangan mencampuri urusan orang lain." Juugo tampak tak peduli. Dia tidak mendukung Sasuke berbuat demikian atau menentang sikap Sasuke yang diam-diam membohongi keluarganya. Tidak. Juugo tak memihak ke mana pun. Bagi Juugo, terserah bila Sasuke memang ingin seperti itu karena itu pun bukan urusannya. Juugo tak mau ambil pusing dengan ikut memikirkan.
"Boleh aku pinjam kamar mandi di sini?" Naruto tak lagi bersandar pada dada Sasuke.
Sasuke mengangguk. Dia segera mengantar sang kekasih ke dalam rumah setelah sebelumnya meminta izin terlebih dahulu pada Juugo.
Di dalam kamar mandi, tepatnya di hadapan wastafel, Naruto lantas membuka tas untuk meraih sikat serta pasta gigi dan sebuah sabun wajah berukuran kecil yang memang sering dia bawa bila berpergian.
Melalui cermin, Naruto yang tengah menggosok gigi pun melirik sang kekasih yang rupanya masih berdiri di ambang pintu, menunggunya.
Sasuke melirik jam tangan sebelum menutup rapat pintu kamar mandi serta menguncinya dari dalam setelah melihat Naruto yang sudah selesai menggosok gigi serta membersihkan wajah.
"Kenapa ditutup?" Naruto bertanya seraya mengusap wajahnya yang basah menggunakan beberapa lembar tisu.
Sasuke tak lantas menjawab. Dia hanya membalik tubuh sang kekasih agar menghadap penuh pada dirinya.
"Sas?"
Masih tak ada satu kata pun yang terucap. Yang Sasuke lakukan hanyalah menangkup salah satu pipi Naruto dan mendekatkan wajah mereka. Sedangkan satu tangan lagi dia gunakan untuk menyentuh bebas seluruh bagian tubuh Naruto yang dia inginkan, terutama ketika permukaan bibir mereka bertemu dan kecupan hangat pun dia lakukan secara perlahan.
Tanpa terasa, mereka sudah berada di dalam kamar mandi sekitar dua puluh menit. Dan kini, penampilan mereka sangat jauh berbeda dengan tadi. Begitu pula dengan posisi mereka yang telah berubah karena sekarang Naruto tengah terhimpit antara tubuh Sasuke dan dinding.
Seluruh pakaian Naruto hampir sepenuhnya terlepas jika saja dia tidak mengeluh pada Sasuke bahwa dia sangat kedinginan sehingga Sasuke pun hanya sekadar menanggalkan celananya, sedangkan kemeja pendeknya masih melekat dengan seluruh kancing yang terbuka.
Tak hanya Naruto, Sasuke juga demikian kondisinya. Seluruh pakaian bawah mereka tersampir di atas pipa besi kamar mandi, tempat biasa untuk menaruh handuk.
"Sas, sudah." Naruto mencengkeram bahu Sasuke dengan kuat demi menahan tubuhnya yang terus terhentak. "Aku takut ... kita tidak sendiri di sini," keluhnya lagi.
Sasuke hanya menggeram merasakan kenikmatan yang menyelimuti tubuh bagian bawahnya. Dia tak sedikit pun melambatkan tempo atau bahkan berhenti demi menuruti keinginan sang kekasih. Karena bagaimana mungkin dia akan berhenti begitu saja sedangkan pelepasan belum dia dapatkan.
"Mereka tidak akan tahu," sahut Sasuke kemudian dengan cengkeraman yang semakin kuat pada salah satu kaki Naruto yang terlipat namun terangkat cukup tinggi hingga menyentuh dadanya sendiri.
Bagi Sasuke, sebenarnya tidak sulit untuk bercinta dengan posisi berdiri. Sebab, tubuh Naruto sangat ramping. Namun, karena ingin bergerak lebih bebas dan cepat, Sasuke pun meminta sang kekasih untuk berganti posisi. Kali ini dia berdiri di belakang tubuh Naruto, sedangkan Naruto sendiri menumpukan kedua tangannya pada wastafel.
Di saat Sasuke melirik wajah mereka melalui cermin di tengah-tengah kegiatannya, Naruto justru sama sekali tak mampu melakukan itu karena dia hanya bisa memejamkan mata, berusaha fokus menahan posisi tubuh agar tidak terjatuh karena hentakan kuat yang terus Sasuke berikan.
"Jangan terus menahan suaramu." Sasuke memperkuat cengkeramannya pada pinggang sang kekasih. "Keluarkan saja. Jangan khwatir, tidak ada yang mendengarnya selain aku."
Naruto yang sejak tadi memang menahan erangan serta desahan pun mulai melepaskan seluruh suaranya. Membuat Sasuke semakin bergairah.
Sasuke benar-benar tidak ingin berhenti. Dia ingin bercinta lebih lama lagi. Namun, waktu serta tempat yang tidak memungkinan, membuat Sasuke akhirnya melakukan pelepasan setelah sebelumnya Naruto yang terlebih dahulu mencapai klimaks.
"Sas!" Naruto terkejut ketika merasakan tubuh bagian bawah di dalamnya menghangat. "Kenapa tidak di luar!?" tanyanya, panik.
"Jangan khawatir." Sasuke tampak tenang tanpa segera menjauhkan tubuh mereka. Dia masih terlihat menikmati sisa-sisa klimaksnya di dalam tubuh Naruto. Sungguh, Sasuke merasakan sensasi yang berbeda. Ketika mengeluarkannya di dalam, semuanya terasa lebih nikmat. "Kau marah?" tanyanya kemudian kala melirik wajah sang kekasih yang begitu serius.
"Aku takut!" Naruto tak menduga Sasuke akan dengan sembarangan mengeluarkannya di dalam. Bahkan, tanpa memberitahu Naruto terlebih dahulu.
Sasuke tak menjawab. Dia hanya segera bersandar pada dinding seraya menarik tubuh sang kekasih yang kedua kakinya benar-benar lemas dan tak mampu berpijak dengan benar.
Sasuke menyandarkan tubuh Naruto pada tubuhnya. Napas mereka masih tampak memburu.
"Jangan khawatir." Sasuke mengulang ucapannya yang kali ini seraya memberi kecupan panjang pada salah satu pipi Naruto.
"Bagaimana bisa aku tidak khawatir!? Kau tidak melakukannya seperti kemarin!"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena kau tidak akan hamil, Naru." Sasuke mendekap tubuh sang kekasih dari belakang dengan cukup erat. "Aku hanya melakukannya satu kali. Tidak mungkin kau akan hamil hanya karena aku mengeluarkannya di dalam kali ini."
Dengan perasaan yang masih gelisah, Naruto menjauh dari tubuh Sasuke dan mulai mengenakan celananya kembali serta merapikan tubuh bagian atas termasuk rambutnya yang acak-acakan disertai keringat.
"Kau sungguh marah padaku?" tanya Sasuke yang juga sudah merapikan seluruh penampilannya. Dia sedikit tak nyaman melihat Naruto yang tak lagi berucap apapun, tapi wajahnya menunjukkan kekesalan dan kegelisahan.
Naruto menghentikan langkah di hadapan pintu yang masih tertutup. "Aku tidak marah, Sas. Aku hanya takut. Apa kau--"
"Naruto, percaya padaku." Sasuke dengan cepat meraih salah satu tangan Naruto, menariknya pelan hingga Naruto kembali menghadap padanya. "Semua akan baik-baik saja."
Naruto belum berucap apapun lagi sampai akhirnya Sasuke memberi pelukan hangat disertai elusan lembut nan menenangkan pada punggungnya.
"Tapi, bagaimana jika aku--"
"Aku akan bertanggung jawab." Sasuke menyela cepat. Dia tahu apa yang akan diucapkan kekasihnya. "Bukankah aku sudah berjanji akan menikahimu?"
Hening.
Naruto masih membisu untuk beberapa saat sebelum mengangguk dan balas memeluk Sasuke. Ah, jika ada yang bertanya pada Naruto: hal apa yang paling membuat Naruto nyaman? Maka Naruto akan menjawab bahwa berada di dalam pelukan Sasuke adalah kenyamanan paling sempurna.
•
•
•
Juugo tidak menaruh curiga sedikitpun pada Sasuke dan Naruto yang baru kembali ke halaman rumah setelah nyaris setengah jam berpamit ke kamar mandi. Ya, lebih tepatnya dia tak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Sedangkan Suigetsu sudah tertidur di atas kursi karena terlalu kenyang.
Karena waktu yang semakin bergulir, Sasuke tak bisa berlama-lama lagi berada di sana. Dia segera berpamit pulang dengan mengantar Naruto terlebih dahulu.
"Sampai jumpa besok." Naruto melempar senyuman manis disertai kaki yang hendak beranjak menuju pagar jika saja Sasuke tak segera menahan salah satu pergelangan tangannya.
"Ibu memintaku untuk membawamu ke rumah, besok setelah pulang kuliah," ujar Sasuke setelah teringat akan amanah sang ibu kala tadi siang.
Kedua pipi Naruto merona. Tampaknya dia grogi mendengar hal tersebut. "A-ada apa?"
Tidak ada yang bisa Sasuke jelaskan karena dia sendiri juga tak tahu apa tujuan sang ibu yang meminta Naruto untuk datang ke kediaman mereka. Namun meski begitu, Sasuke tidak keberatan, besok dia akan membawa Naruto ke rumahnya sesuai permintaan sang ibu.
•
•
•
Naruto memasuki rumah dengan lesu. Tubuhnya benar-benar lelah, terutama setelah apa yang dia dan Sasuke lakukan kala di dalam kamar mandi milik Juugo. Tetapi, mau tidak mau dia harus tetap melakukan rutinitasnya seperti biasa sebelum tidur: membersihkan rumah serta menunggu perintah Karin dan Mito yang terkadang selalu tiba-tiba memintanya membuat makanan.
Begitupula ketika ke esokan paginya: sebelum pergi ke kampus, Naruto menyelesaikan segala pekerjaan rumah terlebih dahulu.
Setelah tiba di kampus, Naruto tak lagi mendiamkan Sasuke tanpa alasan seperti kemarin. Kali ini, dia kembali bersikap biasa. Mereka juga silih menyapa layaknya seorang teman saat tak sengaja bertemu di kantin. Bahkan, Naruto sedikit tersipu malu ketika mengingat apa yang sudah dirinya dan Sasuke lakukan.
Naruto tidak bisa berlama-lama di kantin walau dia masih ingin menatap Sasuke. Ada hal lain yang harus dia lakukan.
"Eh?" Naruto terkesiap ketika menemui salah seorang administrasi kampus dN berkata padanya bahwa seluruh biaya kuliah Naruto sudah lunas, tak ada lagi yang harus dibayar olehnya. "Ba-bagaimana bisa ...? A-aku 'kan tidak mendapat beasiswa."
Iruka, selaku salah satu pengurus administrasi kampus hanya tersenyum canggung. "Sebenarnya minggu lalu ada seseorang yang datang ke sini, mempertanyakan seluruh biaya kuliahmu kemudian dia membayar semuanya di hari itu."
"Apa?"
"Maaf, aku baru memberitahumu sekarang. Aku benar-benar sibuk dan sulit sekali untuk menemuimu."
Naruto masih belum percaya dengan apa yang sudah didengarnya. Bahkan, setelah melihat bukti tertulis di dalam buku khusus yang terdapat di ruang administrasi tentang bayaran setiap mahasiswa pun Naruto masih belum bisa percaya.
Karena bagaimana bisa ada orang yang berbaik hati membayar seluruh biaya kuliahnya? Lagipula, siapa orang itu? Apakah Mito? Oh, tidak mungkin. Sangat-sangat tidak mungkin. Lalu, siapa? Naruto benar-benar penasaran dan sekaligus bingung. Selama ini dia tak pernah memiliki kenalan atau teman yang sedermawan ini. Terkecuali Sasuke tentunya. Tapi, tetap saja Naruto merasa mustahil bila Sasuke yang membayar semuanya. Sebab, Sasuke sendiri masih seorang mahasiswa, belum bekerja dan seluruh biaya kuliahnya pun ditanggung oleh orangtuanya.
"Guru Iruka, kumohon katakan padaku siapa orangnya." Naruto memelas. Sejak tadi, dia sudah beberapa kali meminta Iruka untuk memberitahu siapa yang sudah melunasi seluruh biaya kuliahnya. Namun, Iruka enggan buka suara.
"Maaf, Naruto, aku tidak bisa memberitahumu."
"Kenapa?"
"Karena dia sendiri yang memintanya. Dia tidak mau kau tahu identitasnya. Bahkan, dia juga meminta pada pihak kampus untuk benar-benar merahasiakan hal ini."
"Jadi, mahasiswa lain pun tidak ada yang tahu?"
"Tentu saja, Naru. Hanya beberapa guru yang tahu tentang hal ini."
"Aku benar-benar bingung ..." Naruto mencengkeram dompetnya dengan erat. Dia sudah menyiapkan uang dari jauh-jauh hari untuk membayar cicilan dari biaya kuliahnya. Tapi, setelah menemui bagian administrasi, dia justru mendapat kabar yang mengherankan karena dia tak perlu membayar sepeserpun untuk biaya kuliahnya bersebab semuanya sudah terlunasi.
"Jangan terlalu dipikirkan. Kau cukup bersyukur saja karena memiliki orang yang sangat menyayangimu." Iruka meraih sesuatu dari dalam meja kerjanya. "Kemarin lusa dia menemuiku di luar dan menitipkan ini untukmu," ujarnya seraya memberikan sebuah kantong kertas berisi jaket dan tas baru bergaya kasual, keduanya masih berlapis plastik khusus, tanda bahwa barang-barang tersebut memang masih baru dan belum dibuka sama sekali. "Dia harap kau menyukainya."
Naruto mematung. Bagaimana bisa dia tak menyukai tas dan jaket yang sebagus ini? Walau tak ada harga yang tertera, tapi Naruto percaya harga dari kedua barang ini tidaklah murah. Naruto benar-benar yakin dengan melihat merk brandnya. Jika dia yang membelinya sendiri, butuh waktu berbulan-bulan serta menghemat segala pengeluaran untuk mengumpulkan uang demi membeli salah satu dari kedua barang ini.
"Ini serius ... untukku?"
"Tentu saja, Naru. Jika untuk orang lain, aku tidak akan memberikannya padamu."
Naruto masih terlihat gelisah. "Tapi, barang ini terlalu bagus untukku. Aku me-merasa tidak pantas memakainya."
"Tidak baik menolak pemberian." Iruka tersenyum. "Terima saja. Hargai dia. Dia pasti senang jika kau memakai jaket dan tas itu."
Naruto kembali terdiam sebelum mengucapkan terima kasih pada Iruka serta menitipkan salam dan juga ucapan terima kasih sedalam-dalamnya untuk siapapun yang sudah melunasi biaya kuliahnya serta memberi barang-barang ini.
Dengan langkah pelan, Naruto keluar dari ruang administrasi seraya membawa kantong kertas dan dompet dalam genggaman. Kebingungan Naruto semakin bertambah kala dia tersadar bahwa warna dasar dari jaket serta tas tersebut adalah warna kesukaannya: tas berwarna hitam sedangkan jaket berwarna marun.
Dahi Naruto berkerut dalam. Dia benar-benar ingin tahu siapa yang sudah memberinya semua ini? Mengapa orang itu seolah-olah sudah mengenalnya? Sangat terlihat dari barang pemberiannya yang tidak asal, melainkan menyesuaikan dengan selera Naruto.
Apa dia memang mengenalku?
Tapi ... siapa? Mengapa dia begitu baik ...?
•
•
•
TBC | 20 Desember 2021
Sumber Gambar Ilustrasi : Pinterest
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro