Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14 Ini Tak Mudah

Ryan membuka pintu gerbang dan langsung masuk ke dalam rumah masih dengan mulut terkunci. Abelle melihatnya dengan tatapan bingung dan kesal, tapi akhirnya ia pun ikut masuk ke dalam.

Setelah di dalam, Ryan menghadap ke arah Abelle dan bersiap mengeluarkan kata-katanya.

“Tuh, kunci rumahmu ketinggalan. Awalnya saya mau pulang daripada diem di sini tapi tuan rumahnya makan di luar. Tapi pas saya udah jalan, saya mikir gimana nanti kamu masuk rumah kalo nggak ada saya? Kamu juga nggak ngasih tau saya jam berapa mau balik, jadi saya balik lagi ke sini.”

Abelle terdiam mendengar itu. Ia menoleh ke arah sofa dan melihat kunci rumahnya terselip.

“Cuma sekali ini aja, kak. Ini terakhir kalinya aku keluar, kenapa Kak Ryan marah banget?” Abelle menghirup napas pendek-pendek.

Ryan mengambil celemek dari tasnya, menggenggamnya erat-erat, dan menunjukkannya pada Abelle. Tangannya ancang-ancang hendak melempar celemek itu ke lantai, tapi urung. Ryan tidak akan bisa menjatuhkan celemek buatan ibunya itu. Lantas ia menatap tajam ke arah Abelle.

“Saya lulus dari sekolah masak berharap bisa cepet dapet kerja. Tapi saya salah, saya nganggur dua bulan dan bikin orang tua saya sedih. Akhirnya, ada orang yang nawarin kerjaan, dan inilah pekerjaan pertama saya. Saya udah semangat nyiapin banyak hal untuk masak di rumah ini, tapi kamu bikin saya kecewa …” lidahnya kelu melanjutkan perkataannya.

“Saya emang nggak sempurna. Saya pernah bikin kecewa. Tapi saya butuh dihargai orang lain …” Matanya mulai buram karena sesuatu. Sesuatu yang sebentar lagi akan jatuh.

Jadi laki-laki nggak boleh nangis! Apalagi di depan perempuan!

Deg.

Perkataan ayahnya langsung terlintas di kepala Ryan saat tetesan pertama air matanya jatuh.

Ia cepat-cepat mengusap matanya dengan tangannya.

“Sebenernya saya bisa diem doang di sini dan tetep dapet bayaran. Tapi saya masih punya hati. Dulu orang lain selalu ngenilai hasil kerja saya pake teori, sekarang saya pengen orang yang kerja sama saya seneng sama masakan saya.”

Abelle membeku di tempat. Kata-kata Ryan membuatnya ikut merasakan beban yang baru ia ketahui sekarang. Abelle tak tahu harus bereaksi seperti apa melihat orang di depannya sedang menahan tangis.

Beberapa saat kemudian, Abelle tersadar. Apakah selama ini ia berperan sebagai orang yang merepotkan di kehidupan Ryan? Orang yang membebaninya? Kalau benar, Abelle akan diselimuti dengan perasaan bersalah. Ia benar-benar merasa bersalah. Ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia selalu saja merepotkan orang lain?

Abelle pikir mempertahankan pendapatnya tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang egois. Ia pikir memberitahu orang-orang tentang hal yang tidak disukainya membuat mereka bisa mengerti dirinya. Apalagi sesuatu itu tidak bisa diubah, seperti tidak bisa menahan keinginannya untuk makan di luar dan tidak suka sayur.

Abelle berpendapat selama ia masih sehat walaupun ia tidak makan sayur, maka ia akan baik-baik saja. Ia juga melihat banyak anak-anak yang tidak doyan sayur tapi masih bertumbuh. Pikirannya juga mengatakan, makan di lingkungan sekitar yang indah atau menarik akan membuat selera makan bertambah. Apalagi jika ia makan bersama teman-temannya. Maka dari itu Abelle lebih suka makan di luar dan ia benci makan sendirian.

“Maaf.” Satu kata keluar dari mulut Abelle.

Ryan menoleh setelah sedari tadi menunduk.

“Aku … salah. Maaf aku selalu ngerepotin Kak Ryan,” lirih Abelle pelan.

Ryan tak dapat berekspresi. Wajahnya datar, matanya sayu, dan tidak terukir senyuman di sana. Abelle tidak melihat Ryan, ia seperti melihat orang lain.

“Aku nggak tau harus ngomong apa selain maaf.” Abelle berkata lagi setelah dua menit terlewati hanya dengan kesunyian.

Abelle akhirnya ikut menangis pula karena Ryan tak merespon omongannya. Titik air mata jatuh dari matanya, ia terduduk lemas di sofa sambil menyembunyikan wajahnya. Tangannya bergetar, lama-kelamaan hujan di matanya semakin deras.

Bodoh.

Tak peka.

Boros.

Menyebalkan.

Hati Abelle membatin dengan kata-kata yang menusuk jiwanya sendiri. Seharusnya ia lebih berusaha dan tidak melulu mengikuti egonya. Seharusnya ia tidak menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk makan di luar. Seharusnya ia lebih dewasa. Seharusnya …

“Maaf, saya jadi cerita nggak jelas.”

Abelle langsung menoleh. Ryan sudah ada di sampingnya. Senyumnya terlihat walau samar.

Ryan menepuk pelan pundak Abelle. Abelle cepat-cepat mengelap air matanya. Saat hendak berbicara, kata-kata itu menggantung di tenggorokannya.

“Saya seneng kamu akhirnya ngerti. Janji tadi itu yang terakhir?” Ryan memberikan jari kelingkingnya.

Abelle mengangkat tangan kanannya dan memberikan tanda janji sambil mengangguk pelan.

“Maaf aku lemot banget, kalo Kak Ryan nggak cerita terang-terangan, aku pasti nggak akan ngerti,” jelas Abelle masih dengan sesenggukannya.

“Nggak apa-apa, sekarang kita jadi sama-sama ngerti.” Ryan menepuk pucuk kepala Abelle dua kali.

Ryan tiba-tiba berdiri sambil menggertakkan lehernya dengan memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri. Ia membunyikan tulang jari-jarinya seperti pesilat yang hendak bertarung.

“Ngomong-ngomong, cowok tadi itu siapa?”

Abelle tersentak, bingung menjawab.

“Temen …”

“Hm?”

“Baru …”

Napas Ryan tertahan, “temen baru kok udah boncengan motor?”

Ryan mulai merepet layaknya seorang ibu yang memergoki anak perempuannya terlalu lama bermain dengan teman laki-laki.

“Tapi dia yang nawarin tebengan. Kalo nggak naik motor, aku baru sampe sini setengah jam lagi, tau.” Abelle membela diri.

“Nggak masalah sampe sini lebih lama, asal kamu nggak kenapa-napa. Kalo dia ngajak kamu main nggak bener siapa yang dimarahin? Kamu juga,’kan?”

“Tapi motornya keren, kak! Aku baru pertama kali naik motor itu, seru banget.”

“Alesan! Pokoknya, nggak ada kayak begitu lagi nanti.” Ryan menempatkan jari telunjuknya di depan wajah Abelle. Lantas ia kembali ke dapur dan memakai celemeknya.

“Kak Ryan nggak tau aja dia kayak gimana. Dia jago basket, motornya keren, bahkan bisa masukin bola sambil merem! Tapi nyebelin juga, sih.” Ryan panas mendengarnya. Lantas kenapa jika ia bisa seperti itu? Lebih keren dirinya yang bisa membuat api berkobar-kobar di atas wajan.

“Terus?”

“Ya, itu keren, ‘kan? Nggak semua orang kayak gitu.”

Ryan memutar bola matanya kesal.

“Emang dia bisa masakin kamu? Bisa masak makanan hotel bintang lima? Kalo bisa, itu baru keren.”

Ck, kak! Dia juga banyak duit, loh. Tadi aja aku ditrak—”

“Traktir? Kamu ditraktir sama dia?” Suara Ryan tiba-tiba meninggi. Abelle langsung tersadar ia keceplosan.

“Jadi kalian juga makan bareng? Berdua? Terus boncengan motor?” Ryan berkacak pinggang.

“Saya bilangin ke mamamu.”

“Eh, kak! Jangan, dong!” Abelle turun dari kursi meja makan dan berusaha mencegah Ryan mengirim pesan ke ibunya lewat ponsel.

Tak sesuai ekspektasi, Abelle ternyata bisa meraih ponsel Ryan. Mudah saja, karena tingginya hampir sama dengan Ryan. Setinggi apapun Ryan mengangkat tangn, tetap bisa diraih Abelle karena lompatannya yang tinggi. Abelle tersenyum bangga setelah ponsel itu sudah berada di tangannya.

“Eh, balikin! Iya, saya nggak bilang—”

Bruk! Ponsel itu terjatuh. Suaranya membuat Ryan ngilu.

“Abelle!!” Ryan berteriak kesal. Sementara Abelle terkejut bukan main.

“Eh, maaf, maaf! Nggak sengaja!”

“Duh, kalo rusak gimana?”

“Ih, maaf, kak … Lagian itu jatohnya di karpet. Coba sini. Tuh, masih nyala, kok!” Ryan menyambar ponselnya dari tangan Abelle., kemudian berjalan ke dapur dengan menghentakkan kaki karena kesal.

“Kak Ryan! Jangan marah lagi, dong …” Abelle merengek. Ryan tak merespon dan melanjutkan cuci piring.

Lagi-lagi Ryan marah dalam diam. Abelle tak suka melihat Ryan mengabaikannya seperti itu. Abelle memutuskan untuk membujuknya dengan sesuatu. Ia melangkah ke dapur dan mencari sesuatu di lemari.

“Mau ngapain kamu?”

“Ngapain, sih? Jangan bikin dapur berantakan.”

“Abelle!”

“Emang enak dicuekin? Nggak ‘kan? Makanya jangan suka baper!” Abelle akhirnya membalas perbuatan Ryan padanya dengan judes.

Ck, iya deh. Tapi ini kamu mau ngapain di sini?”

“Buat puding.”

“Nah, nah, mulai. ‘Kan perjanjiannya kamu—”

“Ini buat Kak Ryan, tau! Supaya jangan ngambek mulu.”

Ryan tersentak. Dua detik kemudian dia melepaskan tawanya. Ia gemas dengan perbuatan Abelle yang tak terduga itu.

“Tumben perhatian.” Abelle tak membalas dan masih tetap mencari dimana bubuk puding instan itu berada.

“Duh, ini loh, di sini,” Ryan membuka lemari dapur ujung dan mengeluarkan bubuk puding, “mending bikin pudingnya bareng aja, saya nggak mau dapurnya berantakan gara-gara kamu,” lanjut Ryan.

“Beneran? Aku juga boleh makan ‘kan? Iya ‘kan?”

“Iya, deh, iya.” Ryan mengiyakan demi menghentikan ocehannya itu. Ia juga tertawa mendengar gaya bicara Abelle.

Setelah itu, mereka pun berakhir membuat puding di dapur. Ryan kewalahan menangani Abelle yang hampir membuat satu dapur berantakan karena terlalu banyak mangkuk dan piring yang ia keluarkan. Jika tak dalam pengawasan Ryan, dapur ini pasti akan menjadi kapal pecah.

<><><>

Holaa! BJAM kembali dengan update-an nyaa~ Gimana menurut kalian chapter ini? Uwu banget ga sih? 🥺

Eh aku pengen tau gimana pendapat kalian tentang tokoh-tokoh di sini? Kalo ada masukan silakan ya 😁

Abelle?

Ryan?

Steven?

Oh ya, jangan lupa vote ⭐ dan komen 💬, yaa, thanks! ><

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro