Bab 7 - The Scandal
Setelah memakirkan mobil di lantai basement, kami berdua keluar dan berjalan ke lift. Begitu terkejutnya aku, ketika Liam menekan tombol angka dua belas tanpa ragu. Ia sudah tahu di lantai berapa aku tinggal, padahal aku belum memberitahunya. Bahkan pada Pheya dan Nora saja tidak.
Lalu, dari mana Liam tahu?
Tanpa sadar, aku sedikit menjauh darinya dan memposisikan diri lebih waspada. Ia langsung menyadari, tetapi berpura-pura tidak menghiraukan.
Ketika kami sampai di lantai dua belas, Liam berjalan lebih dulu di depanku. Seolah-olah ini adalah daerah kekuasaannya. Ia berjalan tenang dan santai, lalu berhenti tepat di depan pintu apartemenku. Lagi-lagi, aku dibuat terkejut dengan segala yang ia ketahui.
Aku diam sejenak sebelum menekan password pintu apartemen.
"Apa kau juga tahu password apartemenku?" tanyaku dengan nada kesal.
Liam hanya menggeleng, dan membuatku harus mengalah untuk mengikuti kemauannya. Aku menekan tombol-tombol angka sambil menutupinya dengan tanganku yang satunya lagi. Liam sengaja memberi sedikit ruang, agar aku bisa lebih leluasa. Setelah bunyi beep terdengar, aku membuka pintu apartemen dan mempersilakan Liam masuk.
Mungkin apartemen tipe studio yang kutempati saat ini, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan penthouse Kenayo. Namun, ada satu hal yang membuatku langsung menyukai apartemen ini ketika pertama kali melihatnya, yaitu walk in closet yang sangat besar.
Ada tempat tidur berukuran sedang yang kuletakkan di sudut. Menyatu dengan dapur, ruang makan dan ruang TV. Jarak ketiga ruangan itu dekat satu sama lain. Kamar mandiku juga tidak terlalu besar. Hanya diisi oleh shower tub, wastafel, kloset, gantungan handuk juga mesin cuci. Secara keseluruhan, studioku sudah sangat cukup dan nyaman menjadi tempat tinggal untuk satu orang.
Aku mempersilakan Liam duduk di kursi makan, lalu pergi mengambil sekaleng minuman ringan untuknya dari kulkas dan meletakkannya di meja makan. Aku duduk di hadapannya, sambil menikmati minuman. Liam mengamati sekeliling dalam diam, lalu mengangguk-angguk sendiri.
Aku hanya diam melihat tingkahnya. Setelah menghabiskan minuman, aku sengaja sedikit menaruh kaleng minumanku dengan sedikit kasar, hingga meja makan sedikit bergetar. Liam kaget, dan menatapku kebingungan.
"Jadi, apa yang sebenarnya ingin kau katakan Liam?" kataku tidak sabar.
Liam memainkan jari-jari tangan. Raut wajahnya berubah mengkerut, sedangkan matanya melihat ke sana-kemari, menghindar dari tatapanku.
"Aku hanya ingin mengetahui di tempat seperti apa kau tinggal sekarang. Maaf, jika aku membuatmu takut. Sebenarnya, sudah beberapa hari ini aku mengikutimu. Lebih tepatnya menyuruh seseorang mengikutimu. Karena itu, aku bisa mengetahui di mana gedung apartemen, dan di lantai berapa kau tinggal," jawab Liam berusaha tenang.
"Kau gila." Hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.
"Aku memang gila, tapi, sebenarnya aku hanya ingin memastikan bahwa kau hidup dengan baik dan layak." Liam menyesap minumannya tanpa menatapku. Sementara aku menggelengkan kepala, menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Liam, kau kira aku akan semiskin apa setelah bercerai dari Kenayo? Asal kau tahu saja. Aku mendapatkan banyak darinya. Aku juga masih mempunyai tabungan. Walaupun orangtuaku sudah meninggal, tapi mereka meninggalkan warisan untukku," kataku tidak terima, sampai membentaknya.
"Iya, aku tahu itu, Mila. Tapi, aku tidak bisa untuk tidak khawatir dengan keadaanmu."
Aku diam, kehabisan kata-kata. Cukup tatapan tajam ini yang mewakilkan kemarahanku padanya.
"Kumohon, berhentilah menatapku seperti itu. Aku bukan seorang penguntit yang berbahaya. Aku hanya khawatir denganmu. Hanya itu saja," lirihnya.
Akhirnya, aku memalingkan muka. Lalu bangkit untuk membuang kaleng minuman yang sudah kosong ke tempat sampah dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku menyalakan kran wastafel untuk mencuci wajah. Berharap air akan membersihkan otakku dari pikiran-pikiran negatif terhadap Liam.
Hingga secara tiba-tiba, ia muncul dan bersandar di ambang pintu kamar mandi yang kubiarkan terbuka. Liam menyilangkan kedua lengan, sementara matanya terus mengamatiku.
"Mila, aku benar-benar minta maaf jika telah membuatmu takut. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Sekarang, aku akan pergi. Sampai ketemu besok," pamitnya sebelum berbalik untuk mengambil tas dan topi.
Ia sempat berhenti di depan pintu kamar mandi untuk melihatku sekali lagi. Kemudian lanjut berjalan ke arah pintu apartemen.
Tanpa pikir panjang, aku memacu langkah secepat mungkin. Berusaha mengejarnya sebelum terlambat. Saat sudah tiba di dekatnya, aku segera menyerbu punggung Liam dan memeluknya erat sambil membisikkan ucapan terima kasih.
Liam mengangguk, lalu benar-benar pergi setelah aku melepaskan pelukan. Menyisakanku dengan banyak pertanyaan di kepala.
Mengapa aku mulai merasa nyaman jika berada di sekitar Liam?
▪▪▪
Aku terbangun karena ponsel yang sudah berdering sejak tadi. Awalnya, aku pikir itu hanya nada dering tanda pesan masuk, tapi sepertinya bukan. Bunyinya tidak kunjung berhenti. Hingga aku terpaksa meraihnya dengan susah payah. Aku menggosok mata, berusaha menjernihkan pandangan dan melihat ke layar ponsel. Tertera nama 'Nora' di sana, lalu aku menekan tombol hijau dan menerima panggilannya.
"Milaaaaaa!" teriak Nora, tepat setelah aku mendekatkan ponsel ke telinga. Aku langsung mengaktifkan speakerphone untuk berjaga-jaga jika Nora berteriak lagi.
"Nora, kumohon. Apa kau harus berteriak di pagi buta seperti ini?" jawabku sedikit membentak.
Sekarang kesadaranku sudah pulih seutuhnya, berkat teriakan Nora.
"Hei, sekarang sudah pagi! Dasar pemalas!" balas Nora.
"Baiklah. Sekarang apa maksudmu meneleponku sepagi ini?"
Kini aku menaruh ponsel di meja rias, lalu mengikat rambut menjadi satu ikatan besar. Cahaya matahari sudah mengintip sejak tadi. Aku membuka tirai jendela dan berjalan ke kamar mandi.
"Mila, apa kau sudah melihat berita di majalah atau surat kabar pagi ini?" tanya Nora pelan, akhirnya.
"Majalah? Surat kabar? Aku belum melihatnya. Memangnya ada apa?" Aku bertanya penasaran sambil membasuh muka.
"Sebaiknya kau lihat sekarang juga! Aku akan menelepon 10 menit lagi."
Setelah mengatakan itu, Nora memutuskan sambungan teleponnya tanpa pamit.
Aku berjalan santai ke arah pintu, lalu membukanya. Kebetulan sejak beberapa hari yang lalu, setiap pagi ada petugas yang menaruh majalah atau surat kabar di depan pintu apartemenku. Jadi, aku tidak akan ketinggalan berita. Sepertinya ada berita penting mengenai diriku pagi ini.
Aku membolak-balik surat kabar, berusaha mencari berita yang Nora maksud. Namun, isinya kebanyakan mengenai masalah politik yang sama sekali tidak berhubungan denganku. Lalu, aku masuk dan membuat secangkir teh hangat. Membaca surat kabar di pagi hari dengan ditemani secangkir teh hangat atau cappuccino memang sudah menjadi kebiasaanku belakangan ini.
Saat sedang kembali mencoba mencari, ponselku berdering lagi.
"Sudah ketemu belum?" Nora langsung bertanya ketika aku menerima panggilannya.
"Belum. Aku sedang melihat surat kabar sekarang, tapi tidak ada berita yang istimewa," kataku sambil terus mencari yang Nora maksud.
"Coba kau buka halaman 20. Di bagian pojok bawah kiri."
"Baiklah, tunggu sebentar."
Aku segera mencari halaman yang disebutkan Nora, dan langsung melihat ke bagian pojok bawah. Seketika mata dan mulutku terbuka lebar. Aku sangat terkejut sampai tidak sengaja menjatuhkan ponsel.
Di bagian pojok bawah tertulis berita mengenai diriku dan Liam yang disertai sebuah foto. Pasti fotonya diambil kemarin sore saat kami berdua masuk ke dalam gedung apartemenku.
"Inikah kekasih baru Nona Mila yang baru saja bercerai dengan seorang pewaris perusahaan Nomor 1 di Atheya? Seorang Pangeran?"
Berita macam apa ini?
Aku membanting surat kabar yang sudah aku remas hingga tak berbentuk. Aku berjalan gelisah ke sana-kemari. Berita itu berhasil mendatangkan kepanikan dan membuatku tidak bisa berpikir jernih. Merasa putus asa, aku mengambil ponsel yang tadi terjatuh dan kembali menghubungi Nora.
"Nora, apa yang harus kulakukan? Argh ...!" teriakku frustasi.
Belum lama sejak bercerai dengan Kenayo, tapi aku sudah terlibat skandal lainnya. Pasti Bibi Meelan akan mengomel habis-habisan.
"Mila, kita harus bertemu. Datanglah ke rumahku. Aku akan menelepon Pheya secepatnya."
"Baiklah, aku mandi dulu. Terima kasih, Nora."
Aku langsung mematikan sambungan telepon, dan menghempaskan diri ke tempat tidur. Tubuhku mendadak lemas, tapi aku harus mengabari Liam. Ia harus tahu, karena mungkin ini merupakan skandal pertamanya.
Aku menekan tombol-tombol di ponsel, mencari kontak Liam, lalu meneleponnya. Namun, Liam tidak kunjung mengangkat panggilan.
Sepertinya lebih baik aku bersiap pergi ke rumah Nora. Aku yakin, Pheya pasti sudah berada di sana.
▪▪▪
Aku menelepon Nora saat dalam perjalanan. Memberitahunya untuk membukakan pintu gerbang, karena sebentar lagi aku akan sampai. Begitu tiba di depan rumah Nora, seorang satpam penjaga sudah menungguku dan segera membuka lebar pintu gerbang rumah. Aku memarkirkan mobil di halaman rumah Nora, dan melihat ia sudah menungguku di pintu masuk.
"Mila!" seru Nora memanggilku. Ia terlihat sangat panik.
"Nora, ada apa denganmu? Mengapa kau begitu panik?" tanyaku.
Tanpa menjawab, Nora menyeretku ke ruang tengah dan mendudukkanku di sofa. Di hadapanku sudah tergeletak beberapa majalah dan sebuah surat kabar. Aku membaca satu per satu berita mengenai diriku.
Hampir semua wartawan menilaiku salah. Mereka menulis cerita seolah-olah aku adalah seorang wanita penggoda yang berselingkuh dari suaminya. Mereka menyangka kalau alasanku bercerai dari Kenayo, karena aku memiliki hubungan dengan Liam! Itu jelas salah besar.
"Mila, apa semua berita itu benar?" tanya Nora pelan. Aku segera menggeleng.
"Tentu saja tidak benar, Nora. Apa kau mempercayai semua berita-berita ini? Ini semua salah! Aku tidak bercerai karena Liam!" jawabku berteriak.
Nora sedikit terkejut, lalu menghampiri dan memelukku. Tangisku pun akhirnya pecah. Entah mengapa aku begitu lemah dengan pelukan di saat sedang berada dalam masalah.
Lagi pula, mengapa orang-orang itu selalu saja ikut campur dalam urusanku, sih?
"Tenang, Mila. Aku percaya padamu. Pheya juga percaya padamu. Kau masih memiliki kami berdua. Tenang saja," ujar Nora menenangkan. Aku kembali mengangguk, lalu tiba-tiba ponselku berdering.
"Mila, kau di mana? Aku sekarang ada di depan apartemenmu. Mengapa kau tidak membukakan pintu?" tanya Liam panik, begitu aku mengangkat panggilan.
Aku berusaha menenangkan suara sejenak, sebelum menjawab pertanyaan.
"Mila, kau menangis? Oh Tuhan, cepat katakan di mana kau sekarang? Aku harus bertemu denganmu."
"Aku ada di rumah Nora, Liam."
"Baiklah, aku segera ke sana. Kirimkan alamatnya kepadaku."
"Oke." Lalu, Liam menutup teleponnya.
Dengan jari yang sedikit gemetaran, aku mengetikkan alamat rumah Nora dan mengirimkannya pada Liam. Pheya tiba tidak lama setelahnya, dan langsung menghampiriku dan Nora.
"Mila, tadi aku melewati gedung apartemenmu, dan di sana sudah banyak sekali wartawan yang berjaga di depan pintu gerbang utama. Untung saja kau sudah pergi sejak pagi tadi," ujar Pheya sambil menyeka keringat di kening.
Entah mengapa orang-orang di sekitarku terlihat begitu kelelahan. Kali ini aku benar-benar menyusahkan mereka.
Pintu gerbang rumah Nora kembali terbuka lebar, aku mengintip dari balik tirai jendela. Sebuah mobil sedan besar berwarna hitam masuk ke dalam pekarangan rumah Nora. Liam terlihat keluar dari dalam mobil dan segera berjalan ke pintu masuk. Aku membukakan pintu sebelum Liam mengetuk.
Ia langsung memelukku. Anehnya, aku hanya diam saja. Pelukan Liam seperti pembangkit energi. Aku mulai bisa merasa lebih tenang saat ia ada di sekitarku.
"Ehm, ehm." Nora sengaja membunyikan suara batuk palsunya untuk menyadarkan kami. Aku sedikit menjauh dari Liam, lalu melihat ke arah Nora dan Pheya.
"Jadi, sekarang sudah selesai acara berpelukannya? Ahhh, mengapa tiba-tiba aku merasa kedinginan?" kata Nora sengaja menyindirku.
Aku tersenyum kikuk, lalu memeluk Nora dan Pheya. Kemudian, aku menarik mereka untuk duduk di sofa dengan Liam mengikuti di belakang. Aku sempat melirik dan memperhatikan raut wajahnya. Ia terlihat sangat tidak tenang. Melebihi Nora yang menurutku sudah sangat gelisah. Aku yakin, pasti berita ini begitu berpengaruh terhadapnya.
"Mila, kalau menurutku lebih baik kalian mengadakan jumpa pers, untuk menjelaskan masalah berita ini sebelum lebih banyak lagi berita-berita tidak jelas yang muncul ke permukaan. Itu akan semakin memperburuk citra kalian berdua. Aku khawatir Bibi Meelan akan terkena dampaknya. Perusahaan Paman Rob sedang hangat-hangatnya saat ini, dan berita ini hanya akan membawa pengaruh buruk untuk semuanya. Bagaimana pendapatmu?" tanya Pheya padaku.
Aku melihat ke arah Liam, bermaksud meminta pendapatnya. Sebab yang terlibat langsung adalah kami berdua. Jadi semua keputusan harus diambil secara bersama-sama, terlebih lagi kami harus memikirkan keadaan kerajaan.
Saat aku masih berkutat dengan pikiran-pikiran, tiba-tiba pintu masuk rumah Nora terbuka lebar. Seorang satpam yang terlihat sangat panik, masuk dengan tergesa-gesa menghampiri kami.
"Ada apa, Pak?" tanya Nora cepat.
"Nona, ada segerombolan wartawan yang memaksa masuk ke dalam rumah. Saya dan Pak Rai sudah mencoba menghalangi mereka dan mengunci pintu gerbang, namun mereka masih mencoba untuk masuk. Apa yang harus kami lakukan sekarang Nona?!" serunya.
Aku langsung berdiri dan menghampiri Nora. Tanpa pikir panjang aku meminta satpam itu untuk menyampaikan pesanku kepada para wartawan.
"Pak, tolong katakan saja pada mereka, kalau saya akan mengadakan konferensi pers malam ini juga," tegasku.
Nora dan Pheya menatapku bersamaan. Aku menatap mereka sambil mengangguk mantap. Cepat atau lambat aku harus berbicara kepada media. Aku juga tidak ingin masalah ini berlarut-larut dan menyusahkan orang-orang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro