Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 34 - In Loving Memoriam

Aku hanya sempat melihat tatapan dari sepasang mata Danny yang melihatku dengan penuh dendam, sebelum semuanya menghitam. Bersamaan dengan datangnya sesuatu yang berat, mendorongku hingga terjatuh. Pasti aku sudah tertembak. Dadaku terasa basah dan lembab. Aku juga bisa mencium bau darah yang menyeruak.

Mungkin ... sudah waktunya aku bertemu dengan kedua orangtuaku.

Saat merasakan ada yang menyentuh pipi, mataku segera terbuka lebar. Bibi Meelan sedang tersenyum menatapku, tetapi ada cairan merah keluar dari dalam mulutnya. Aku panik dan berusaha untuk duduk.

Aku membeku ketika akhirnya menyadari yang sebenarnya telah terjadi. Bukan aku yang tertembak, melainkan Bibi Meelan. Tubuhnya sudah terbaring lemah di pelukanku.

"Bibi! Tidak, tidak. Jangan pergi, kumohon! Siapa pun, panggil ambulans, polisi. Semuanya, cepat!" Aku berteriak sekencang yang kubisa. Mataku kembali beralih pada wajah Bibi Meelan yang masih berusaha tersenyum untuk menenangkanku.

"Mila ... Bibi sayang sekali padamu, Nak. Jangan ... salahkan siapa pun. Berbahagialah ... Sayang. Titip ... pamanmu, ya? Promise me...."

Air mataku sudah mengalir bagai tetesan hujan di hari yang gelap. Aku menggeleng terus-menerus, sembari memegang erat tangan Bibi Meelan yang masih berada di daguku.

"Jangan pergi... Kumohon, Bi... Bertahanlah... Sebentar lagi ambulans datang," pintaku putus asa.

Bibi Meelan menggeleng, tanpa menghilangnya senyuman dari wajahnya. Aku mengeratkan pelukan, mengusap rambutnya yang memutih. Aku tidak ingin kehilangannya juga.

Aku mohon Tuhan...

Jangan ambil Bibi Meelan dari sisiku.

"Mila ... jaga dirimu."

"No! Please don't! Please ... please ...." Aku berteriak berulang kali.

Putus Asa. Dadaku sakit bukan main. Meski tanganku gemetaran, aku tidak berhenti mengusap pipinya yang merona. Hingga perlahan tangan Bibi Meelan bergerak turun. Matanya menutup, senyumnya memudar. Aku menangis meraung-raung, memeluk Bibi Meelan yang sudah tidak sadarkan diri.

"Jangan tinggalkan aku... Aku mohon ... Bibi Meelan... Bibi Meelan...!"

Berkali-kali aku berusaha menyangkal kenyataan pahit yang terjadi di depan mataku. Aku mencoba mencari denyut nadi di pergelangan tangan Bibi Meelan, dan memeriksa embusan napasnya, tapi hasilnya nihil.

Dalam sekejap, luapan amarah menguasai. Mataku beralih dari sosok Bibi Meelan yang sudah terbujur kaku, ke sosok lelaki yang sudah menyebabkan semua ini terjadi.

Ternyata Kenayo dan Liam sudah mengamankan Danny. Liam mengambil alih senjata yang Danny pegang, sedangkan Kenayo mengunci kedua tangannya. Sekarang ia bersimpuh seraya menangis. Meratapi kematian ibunya sendiri. Ia tidak menangis meraung-raung sepertiku. Ia menangis tanpa suara.

Kebencian menyeruak di dadaku. Aku benci Danny. Aku ingin ia mati.

Langkahku tercipta cepat dan semakin cepat. Sepertinya tidak ada yang menduga. Aku rebut pistol dari tangan Liam, dan kuarahkan tepat ke kepala Danny yang menatapku kalut.

"No! Mila ... don't!!" teriak Liam keras.

Aku memejamkan mata sebelum melepaskan tembakan. Namun, ada yang lebih dulu mengarahkan tanganku ke atas. Hingga peluru yang kutembakan, mengenai atap ruangan.

Liam segera merebut pistol dari tanganku dan melemparnya ke sembarang arah. Ia menarikku masuk ke dalam pelukannya. Seketika aku berteriak, menangis keras hingga rasanya pita suaraku akan terkoyak, kemudian hancur berkeping-keping.

Tepat setelahnya, beberapa polisi serta petugas medis menerobos masuk. Liam semakin mengeratkan pelukan, menahanku agar tidak berbuat bodoh lagi.

Aku masih bisa melihat jelas, ketika Danny ditangkap dan diseret keluar. Namun, ketika mataku beralih ke arah Bibi Meelan yang sedang diangkat ke tandu dan diselimuti kain putih hingga menutupi kepalanya, kesadaranku perlahan lenyap. Mataku terpejam. Aku tidak kuat lagi. Bahkan di dalam mimpi pun, aku terus menangis.

Ah, ini pasti mimpi. Saat aku bangun, pasti semua baik-baik saja.

▪▪▪

Rintik hujan mengiringi prosesi pemakaman. Kakiku belum berhenti gemetaran sejak tadi. Sementara mataku tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Kenayo merangkulku erat, membantuku untuk tetap berdiri.

Cukup banyak orang yang menghadiri pemakaman Bibi Meelan. Mulai dari kerabat, relasi, teman-teman Paman Robert dan Bibi Meelan, juga teman-temanku.

Paman diizinkan hadir dengan penjagaan ketat dari beberapa polisi yang ikut serta. Ia duduk di kursi lipat tidak jauh dariku, menangis tersedu-sedu. Isakannya begitu menyayat hati. Aku tidak mampu menenangkannya, karena aku sama-sama terpuruk.

Ketika peti kayu putih mulai diturunkan ke relung dalam lubang kubur, tangisanku mengeras. Kenayo merengkuhku. Melingkari tubuhku yang semakin lemah. Kakiku berangsur kehilangan tenaga, seiring dengan menghilangnya Bibi Meelan dari pandangan.

Saat kedua orangtuaku pergi lebih dulu, aku masih berusia lima tahun. Mungkin duka yang kurasakan waktu itu sama besarnya dengan yang aku alami sekarang. Namun, kehilangan seseorang yang sangat penting di hidupku ketika sudah dewasa, sepertinya akan lebih sulit kuterima.

Sejak kemarin, Kenayo sama sekali tidak pernah meninggalkanku sedikitpun. Bahkan ketika aku tidur, Kenayo memaksa untuk menemani. Ya, semalam aku menginap di rumahnya, atau lebih tepatnya di kamar Kenayo. Mantan ibu mertuaku bersikeras memaksaku untuk tinggal di rumahnya sampai keadaanku membaik. Tentu saja kedua sahabatku juga mendukung, karena mereka tahu aku tidak bisa ditinggal sendiri saat ini.

Gundukan tanah merah yang sudah selesai ditumpuk rapi menjadi penanda bahwa sebentar lagi proses pemakaman usai. Para pelayat mulai menaburkan bunga di atas pusara. Paman Rob juga berdiri dan berjalan pelan menuju gundukan itu. Aku mengikuti dengan dituntun Kenayo, Pheya dan Nora.

IN LOVING MEMORY

MEELAN MISTREAL

7 September 1969 – 28 January 2021

Tangisanku yang sempat mereda kembali pecah ketika melihat batu nisan Bibi Meelan dari dekat. Aku terjatuh bersimpuh, seraya memegangi nama yang terukir di batu marmer hitam. Hatiku terasa seperti ditusuk-tusuk, lalu dihancurkan sampai habis. Nyeri, sesak bercampur jadi satu. Pheya dan Nora memelukku. Mereka ikut menangis sejak tadi.

Setelah membiarkanku menangis hingga puas, Kenayo menyentuh pundakku dan membantuku untuk bangkit. Pheya menyerahkan keranjang berisi kumpulan kelopak bunga mawar merah dan kuning padaku. Aku menaburkannya ke atas makam Bibi Meelan dibantu oleh kedua sahabat.

Paman Robert menghampiriku. Ia menatap sedih cukup lama. Matanya merah, wajahnya basah. Bahkan bahunya masih bergetar. Kemudian ia memelukku erat. Paman Robert mengusap kepalaku sebentar sebelum tatapannya beralih pada Kenayo yang setia berdiri di sampingku.

"Ken, aku titip Mila, ya? Jaga ia baik-baik. Dampingi ia. Jangan biarkan Mila merasa kesepian. Tolong, bahagiakan ia ya, Ken," pinta Paman Robert sembari menahan tangis.

Kenayo mengangguk. "Paman tenang saja. Saya akan menjaga Mila sebaik-baiknya."

Paman Robert mengangguk, lantas memeluk Kenayo. Setelah itu ia kembali melihat ke arahku. Aku berusaha tersenyum melepas kepergian Paman Robert yang harus segera kembali ke penjara. Danny tidak diizinkan hadir ke pemakaman. Pihak kepolisian berdalih kalau proses pemeriksaan kasusnya tidak bisa ditunda.

Aku sama sekali tidak keberatan. Anggap saja ini salah satu hukuman untuknya, karena sudah tega mencelakai kedua orangtuanya sendiri.

"Sudah mau pulang?" tanya Kenayo pelan.

Aku melihat ke arahnya, lalu mengangguk. Hujan memang sudah mereda, tetapi langit tak kunjung cerah. Masih gelap, seperti hatiku.

"Mila, kau mau kami temani?" Kali ini Pheya yang bertanya padaku.

Aku menggeleng pelan. "Kalian berdua pulang saja. Aku sudah sangat merepotkan dari kemarin. Kau tenang saja Pheya, Nora. Aku tidak akan kesepian. Ada Kenayo yang menemaniku," jawabku sembari tersenyum, lalu memeluk kedua sahabatku erat-erat.

"Baiklah. Hubungi aku kapan saja. Okay?" tambah Pheya lagi.

Aku mengangguk patuh. Tatapan Pheya beralih ke Kenayo, lalu ia mengangguk. Akhirnya Nora dan Pheya berbalik. Mereka berjalan bersama kedua orangtuanya yang ikut hadir sore ini.

"Ken."

"Hm?"

"Bisa kita mampir ke restoran Italia yang waktu itu, sebelum pulang? Aku ingin makan lasagna," kataku.

Kenayo langsung mengiyakan, tanpa bertanya lebih jauh. Selain kehadirannya, yang kubutuhkan saat ini adalah makanan enak, juga kopi. Lebih baik lagi wine.

"Apa kau punya wine di rumah?" tanyaku lagi.

Kenayo kembali mengangguk. "Kau mau minum?" tanyanya tidak percaya.

Aku mengangguk mantap. "Mungkin dengan mabuk, aku bisa tertidur nyenyak. Nanti aku minta wine-mu, ya?"

"Tentu saja boleh, Mila. Mulai sekarang aku akan menjagamu," jawab Kenayo sembari menatapku serius. Ia memegangi kedua tanganku. Bersungguh-sungguh berjanji. Kalimat terakhirnya tadi terdengar berbeda kali ini.

Aku mengangguk, tersenyum untuknya. "Terima kasih, Ken. Terima kasih, banyak."

Setidaknya, aku memiliki Kenayo sekarang. Aku tidak akan menyangkal perasaanku lagi. Aku tidak ingin kehilangannya untuk kedua kali. Aku berjanji, mulai sekarang akan menjaga orang-orang yang kucintai dengan sebaik-baiknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro