Bab 23 - Slipping Past
Tidak terasa sudah dua minggu berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Liam. Keseharianku masih berjalan seperti biasa, tidak banyak yang berubah. Aku tetap membantu Dave dan para pengacara lain untuk mencari bukti tambahan serta mengurus berkas-berkas setelah pulang kuliah. Kebanyakan waktu senggang, kuhabiskan di kantor Dave yang menjadi markas utama para pengacara Paman Robert. Sesekali Danny juga ikut membantu, tetapi ia lebih fokus mengurus perusahaan.
"Mila, kau mau makan siang apa? Biar sekalian aku belikan," tanya Pheya sebelum keluar makan siang bersama Dave. Aku menolak ikut, karena sedang tidak ingin. Lagi pula aku membawa bekal salad dari rumah.
"Tidak usah, Pheya. Aku bawa bekal, kok. Kalian pergi saja. Nanti kalau lapar, aku bisa cari snack ke minimarket sebelah," jawabku sambil tersenyum.
Pheya menghela napas. Ia pasti tahu kalau itu hanya alasanku saja. Semenjak Liam pergi, sikapku memang agak sedikit berubah. Pheya dan Nora sudah menyadarinya dari awal, tapi aku selalu berkelit setiap kali mereka mencoba menanyakan alasan.
"Baiklah. Hubungi aku jika kau berubah pikiran. Okay?"
"Okay," anggukku. Pheya dan Dave akhirnya pergi. Tinggal aku sendiri di ruang kerja Dave yang luas dan didominasi oleh perabotan serba kekayuan. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas dan bersiap untuk menyantapnya.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu tanpa permisi. Kepalaku menoleh cepat ke arah belakang.
"Ken?"
"Hai, Mila."
Ia berdiri menyandar ke pintu, sambil tersenyum lebar. Tangan kanannya membawa satu plastik makanan, dan tangan kirinya membawa dua cup kopi yang disimpan dalam satu wadah kardus.
"Lunch?" tanyanya tanpa berhenti tersenyum. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di sampingku.
"Kau tahu dari mana aku di sini?"
"Tentu saja dari sahabatmu. Ini, aku bawakan makanan kesukaanmu. Lasagna dan cappuccino." Ia mengeluarkan dua wadah berisi lasagna dari dalam plastik beserta alat makannya.
"Makanlah, sebelum dingin," katanya lagi.
Sejak tadi mataku tak berhenti mengikuti setiap gerakan Kenayo. Senyumannya menular, membuatku ikut tersenyum. Ada percikan rasa bahagia yang terasa di hati, karena kehadirannya di sini.
"Terima kasih, Ken," kataku tulus.
"You're welcome," jawabnya. "Setelah makan, bisa ikut pergi sebentar denganku? Ada yang mau kutunjukkan padamu. Penting."
"Baiklah. Tapi, jangan lama-lama, ya. Masih banyak yang harus aku selesaikan."
"Tenang saja," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata. Aku terkejut, sampai berhenti bergerak selama beberapa detik.
Sejak kapan Kenayo jadi ramah seperti ini? Bahkan ia mengedipkan matanya padaku. Belakangan Kenayo sering tiba-tiba muncul. Sesekali ia datang, lalu menghilang lagi.
Kami berdua lanjut makan, meski momen ini lebih banyak diisi dengan keheningan. Untung saja Dave sudah menyalakan pemutar musik sebelum ia pergi. Dave pernah berkata padaku. Saat waktunya istirahat, beristirahatlah secara maksimal. Salah satunya dengan menyantap makan siang sambil mendengarkan musik. Agar ketegangan yang terkumpul selama bekerja, bisa terurai dengan baik.
"Kalau sudah selesai, ayo kita pergi. Sebelum jam makan siangnya selesai," ajak Kenayo tiba-tiba hingga membuyarkan lamunan. Aku mengangguk dan segera menyuap suapan terakhir, sebelum menyusul Kenayo yang sudah berdiri di ambang pintu.
Setelah menyalakan mesin mobil, kami melaju keluar area parkir gedung kantor Dave.
"Kita mau ke mana?" tanyaku sambil melihat jalanan.
"Aku dengar dari Pheya. Kalau kau sedang mencari perusahaan untuk dijadikan topik penelitian tugas akhir. Awalnya kau mau meneliti perusahaan Paman Rob, kan?"
Aku mengangguk kikuk. Agak sedikit kaget karena Kenayo mencari tahu mengenai hal ini. Setahuku ia orang yang sangat sibuk, sampai tidak bisa menghubungiku hingga berbulan-bulan. Mengapa, tiba-tiba ia menjadi orang yang perhatian seperti ini?
Kenayo menunggu jawabanku sambil melirik sekilas di sela fokusnya menyetir.
"Jujur saja. Aku sedikit kaget, dengan perubahanmu, Ken. Dulu kau begitu sibuk, tapi mengapa sekarang kau suka tiba-tiba datang? Apa pekerjaanmu di Ceista sudah selesai?" tanyaku penasaran, sampai lupa menjawab pertanyaannya.
"Kebetulan pekerjaanku sedikit lagi akan selesai. Pembangunan hotelnya berjalan lancar, dan tidak mengecewakan. Karena itu, Ayah memintaku kembali ke kantor pusat. Sekarang aku lebih sering berada di Porthund," jawabnya bersemangat. Lalu, tiba-tiba raut wajahnya berubah. Sambil menghela napas, ia berbisik. Seperti diam-diam menyuarakan isi hatinya. Meski tidak memberi respons, sebenarnya aku bisa sedikit mendengar ucapannya.
'Andai saja aku menolak menceraikanmu waktu itu'. Sepertinya itu kalimat yang ia bisikkan tadi.
Aku memalingkan kepala ke jendela. Ikut berbisik di dalam hati. Iya, andai saja. Andai saja kau tidak mengkhianatiku waktu itu, Ken.
Setelah beberapa saat, aku kembali membetulkan posisi duduk, dan bersiap menjawab pertanyaannya tadi.
"Memang benar, awalnya aku mau meneliti perusahaan Paman Rob. Tapi, karena masalah ini aku tidak mungkin melakukannya. Sampai sekarang aku belum sempat mencari perusahaan lain."
Kenayo tersenyum, ia terlihat lega dengan jawabanku. "Aku berpikir, bagaimana jika kau meneliti salah satu anak perusahaan Ayahku? Kau tahu Frontline Corp, kan?" tanya Kenayo lagi.
"Sepertinya aku tahu."
"Perusahaan itu adalah salah satu anak perusahaan Ayah yang belum diketahui publik, karena baru saja dibeli beberapa bulan lalu. Perusahaan itu bergerak di bidang jual beli barang import dalam skala yang cukup besar. Sepertinya akan cocok dengan kriteria perusahaan yang ingin kau teliti," lanjut Kenayo. "Aku sudah menghubungi salah satu Manajer di sana, dan bertanya apa bisa mahasiswa menjadikan perusahaan sebagai topik penelitian tugas akhir. Ternyata boleh, Mila."
Aku jadi ikut bersemangat. Tampaknya satu lagi masalahku bisa selesai tanpa harus bersusah payah.
"Ken, terima kasih banyak. Aku sampai bingung harus berkata apa. Jadi, sekarang kita mau ke kantor Frontline Corp?" tanyaku.
"Anggap saja ini usahaku untuk memperbaiki hubungan kita, Mila," jawab Kenayo pelan. "Aku sudah membuat janji dengan Manajer yang kuhubungi kemarin. Oh ya, namanya Mr. Larry Ridley."
Aku kembali mengangguk dan tidak terasa ternyata kami sudah sampai di depan lobi kantor Frontline Corp. Gedung kantornya tidak terlalu besar, tetapi juga tidak kecil. Aku dan Kenayo turun bersamaan setelah Kenayo mematikan mesin mobil. Aku mengikutinya masuk ke dalam kantor. Kenayo sempat berbicara sebentar dengan petugas resepsionis, sebelum mengajakku pergi menuju lift.
"Ken, kita langsung bertemu dengan Mr. Larry?"
"Iya, seharusnya ruangannya ada di lantai sepuluh."
"Ken, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan. Tapi, nanti saja setelah kita selesai bertemu Mr. Larry," imbuhku. Kenayo terlihat agak terkejut, tapi langsung mengangguk.
Hening berlangsung selama beberapa saat sampai pintu lift terbuka. Kenayo berjalan lebih dulu, karena ia yang tahu di mana letak ruangan Mr. Larry. Setelah melewati beberapa ruangan, Kenayo berhenti di depan pintu yang terletak di ujung lorong. Ia mengetuk pintu, dan tidak lama terdengar jawaban dari dalam.
"Iya, silakan masuk."
Kenayo membuka pintu dan mempersilakanku untuk masuk lebih dahulu. Aku tersenyum begitu melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di balik meja kerjanya. Sepertinya ia adalah Mr. Larry Ridley.
"Selamat siang, Mr. Kenayo, dan Ms. Milania. Perkenalkan nama saya Larry Ridley," kata Larry padaku dan Kenayo sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Selama siang, Mr. Larry. Saya Milania, tapi panggil saja Mila," jawabku.
"Baik, kalau begitu senang bertemu dengan Anda, Ms. Mila dan Mr. Kenayo. Silakan duduk."
Aku duduk di sofa, begitu juga dengan Kenayo. Sementara Larry berjalan ke arah meja kerjanya, membawa beberapa map, lalu duduk di hadapan kami.
"Sebelumnya terima kasih Mr. Larry, sudah mengizinkan saya untuk meneliti perusahaan ini," kataku begitu Larry mendapatkan posisi duduknya yang nyaman.
Larry tersenyum, lalu mengangguk. "Tentu saja. Perusahaan kami selalu terbuka untuk mahasiswa yang ingin menjadikan perusahaan sebagai topik penelitian tugas. Apalagi Mr. Kenayo sendiri yang meminta secara langsung," jawabnya seakan-akan menekankan kalau ini semua terjadi karena permintaan Kenayo. Aku ikut tersenyum dan melirik sekilas ke arah pria yang sedang dibicarakan, dan rasanya sulit sekali untuk tidak tertarik padanya.
▪▪▪
Selama hampir satu jam, aku dan Kenayo berbincang bersama Larry. Aku juga sudah membuat janji temu selanjutnya dengan bawahan Larry, di hari Senin pekan depan. Sekarang kami berdua sedang berjalan ke mobil Kenayo. Aku mengikuti, berjalan bersebelahan tetapi sedikit menjaga jarak. Entah mengapa, situasi kami kembali canggung.
Ketika sudah berada di dalam mobil, Kenayo tidak langsung pergi. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi sangat ragu-ragu. Aku hanya melirik sekilas sambil menunggu dengan sabar.
"Mila, apa kau harus kembali sekarang?" tanya Kenayo membuka pembicaraan.
"Hm ...."
Kenayo sepertinya ingin berbicara serius. Tidak ada salahnya memberikan ia kesempatan. Kebetulan ada yang ingin kutanyakan padanya.
"Tidak juga, Ken. Aku bisa kembali sedikit agak telat. Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Ada yang ingin kubicarakan, Mila. Apa kau tidak keberatan kalau kita mampir ke apartemenku?" tanya Kenayo lagi.
Aku langsung menggeleng cepat. "Itu terlalu berisiko, Ken. Aku takut ada paparazzi yang memotret kita berdua," tolakku.
Aku harus menjaga perilaku demi Liam. Walau bagaimana pun, aku masih berstatus sebagai calon tunangannya.
"Aku tahu sebuah tempat yang aman. Bagaimana kalau kita ke sana saja?" Aku menawarkan ide yang langsung dijawab dengan anggukan setuju dari Kenayo.
"Baiklah. Kau tunjukkan jalannya, Mila."
Akhirnya Kenayo mulai menjalankan mobilnya ke arah taman kecil rahasiaku.
▪▪▪
"Kita mau turun atau mengobrol di mobil saja?" tanyaku begitu Kenayo memarkirkan mobil di pinggir taman. Hari mulai gelap, padahal sekarang masih pukul tiga sore. Sepertinya awan sedang berkumpul, menutupi matahari yang bahkan hanya bersinar sedikit sepanjang hari ini.
"Kita mengobrol di mobil saja, Mila. Begini, sebenarnya ... aku ingin bertanya mengenai kebenaran dari berita mengenai hubunganmu dengan Pangeran Liam. Apa itu semua benar?" tanya Kenayo, yang ternyata tidak mampu lagi menutupi rasa penasarannya.
Aku memalingkan wajah sebentar ke arah jendela, sebelum kembali menatapnya.
"Ya, itu benar," jawabku singkat. Mendengar pengakuanku, Kenayo memalingkan pandangan, yang awalnya tidak berhenti mengarah padaku.
"Apa kau mencintainya?" tanyanya pelan.
Aku terdiam. Butuh beberapa saat sampai aku bisa menjawab pertanyaan itu, karena sampai saat ini pun, aku belum yakin sepenuhnya kalau yang aku rasakan pada Liam itu, cinta.
"Aku, sedang berusaha mencintainya." Aku menjawab dengan diiringi keraguan yang selama ini berusaha kututup-tutupi. Entah kenapa, jika di depan Kenayo, aku tidak ingin menutupinya lagi.
Kenayo kembali menatapku. "Apa di hatimu, masih ada aku, Mila?"
Pertanyaan Kenayo berhasil membuatku membisu. Aku takut salah menjawab. Kuakui, selama ini Kenayo masih ada di dalam hatiku. Posisinya tidak pernah benar-benar tergantikan. Padahal aku hanya sebentar hidup bersamanya. Tidak terlalu banyak momen yang kami lalui bersama. Namun, sulit sekali untuk benar-benar menghapusnya dari dalam hatiku.
Akhirnya, aku memutuskan berkata jujur. Aku mengangguk, membuat Kenayo tersenyum. Ia memandangiku tanpa henti.
"Jika kita diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan, apa kau mau kembali lagi padaku?" tanya Kenayo sambil menatapku dari dekat. Aku kembali memalingkan wajah.
"Aku tidak tahu, Ken. Aku tidak ingin mendahului takdir," lirihku.
Kenayo menunduk. Mungkin ia kecewa mendengar jawabanku, karena setelah itu kami berdua diam cukup lama. Aku tahu Kenayo itu pria yang baik. Ia tidak akan memaksakan jika aku tidak mau.
"Mungkin lebih baik kita kembali sekarang," ucapnya memecah keheningan.
Suara Kenayo menghentikan lamunan, dan tanpa sadar aku malah menyentuh tangannya. Aku rindu, ya ini rindu.
"Apa kau pernah mencintaiku, Ken?" tanyaku pelan. Sebab sampai sekarang aku masih belum tahu bagaimana sebenarnya perasaan Kenayo kepadaku.
Ia membalas sentuhanku dengan menggenggam erat tanganku dengan kedua tangannya. "Aku pernah mencintaimu, dan masih hingga sekarang. Sayangnya, aku terlambat menyadarinya. Ini semua memang salahku, Mila. Aku mengerti jika kau tidak bisa menjawab pertanyaanku tadi. Karena saat ini kau masih jadi milik lelaki lain, dan tidak ingin mengecewakannya. Begitu juga denganku. Aku tidak ingin mengecewakanmu lagi. Mungkin, sekarang kita tidak bisa bersama.Tapi, aku selalu berharap. Semoga akan ada waktu di mana kita bisa kembali bersama. Tanpa menyakiti siapa pun."
Kata-katanya keluar mengalir begitu saja, hingga membuatku ingin memeluknya erat-erat. Namun, aku segera mengenyahkan pikiran-pikiran itu.
Kenapa baru sekarang kau mengatakannya, Ken? Kenapa?
"Terima kasih, Ken. Setidaknya, aku tahu kalau kau juga pernah mencintaiku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro