Bab 14 - Conditions To Be With Him
"Aku akan langsung bicara ke pokok permasalahannya."
Raja Adrian membuka pembicaraan setelah aku dan Liam duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa yang diduduki Ratu Grace. Ia duduk menyandar pada kursi kerja yang terletak di balik meja kayu penuh ukiran dan berukuran besar.
Ekspresi wajahnya tidak sama seperti kemarin, tetapi suasana di antara kami masih dipenuhi ketegangan. Beberapa kali Liam melirik ke arahku, lalu ke arah ibunya yang terlihat gelisah.
Kecemasan masih tampak di wajah cantiknya yang mulai berkeriput di beberapa tempat karena usia. Meski begitu ia tetap terlihat tenang dan anggun. Melihatnya mengingatkanku pada Bibi Meelan. Aku merasa semakin bersalah karena sudah menjadi penyebab merenggangnya hubungan antara anak dan suaminya.
"Apa yang kemarin kau lakukan sangat di luar perkiraan Ayah, Liam. Ayah tidak pernah menyangka, kau mampu melakukan hal nekat seperti itu. Seharusnya kau lihat wajah Ibumu kemarin. Kau membuat Ibumu menangis karena wanita yang kau cintai," ucap Raja Adrian dengan menatap tajam ke arahku yang segera menundukkan kepala. "Rasanya Ayah sangat ingin menjebloskannya ke penjara, atau mendeportasinya ke negeri yang jauh dari Atheya."
Aku terkejut mendengar pengakuannya. Mataku sampai memelotot, tetapi mulutku tertutup rapat. Rasanya ingin lari dari sini, tapi tangan Liam menahanku. Sorot matanya seakan mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.
Aku menelan ludah. Terus mencoba mengatur tarikan napas yang sempat tak beraturan.
"Maafkan perkataanku yang terlalu impulsif. Kalian berdua tenang saja. Amarahku sudah mereda. Itu hanya ide-ide gila yang sempat terlintas di pikiranku kemarin. Bujukan istriku membuatku banyak berpikir semalaman. Aku tahu, kalau Miss Milania bukan wanita licik yang menerima Liam hanya karena statusnya. Kainan sudah menyelidiki latar belakangmu. Tidak ada yang cacat di sana. Untuk seorang yatim piatu, kau tumbuh dengan cukup baik. Pernikahanmu juga terjadi karena perjodohan, kan?" tanyanya menatap tepat ke mataku. Kepalaku mengangguk kaku.
"Secara keseluruhan, kau memang bisa dibilang pantas saja untuk Liam. Hanya status jandamu yang sulit aku terima. Namun, kita tidak bisa berbuat apa-apa dengan itu." Raja menghela napas. Kelihatannya sebentar lagi ia akan sampai pada kesimpulan.
"Aku memutuskan, untuk menyetujui hubungan kalian berdua," lanjut Raja Adrian sedikit enggan.
Ratu Grace tersenyum puas. Ia tampak bangga dengan keputusan yang diambil oleh suaminya. Sejak tadi aku memperhatikan tatapan mata penuh cinta dari Ratu Grace pada Raja Adrian. Lalu, aku menoleh ke arah Liam.
Apa suatu hari tatapanku padanya juga akan seperti itu?
"Tapi dengan beberapa syarat," lanjut Raja Adrian tiba-tiba.
"Ayah, tapi—," potong Liam.
"Aku belum selesai berbicara, Liam," responsnya tidak senang. Lalu, Raja Adrian kembali menatap lurus langsung ke mataku. "Jika Miss Milania memang benar-benar mencintaimu, seharusnya ia akan menyanggupi apa pun syarat yang aku katakan. Anggap saja itu harga yang harus ditebus, agar tetap bisa bersama dengan seorang Pangeran. Terlepas dari status jandanya itu," sindir Raja Adrian.
Aku merasa terpojok, tetapi tidak bisa menolak. Semuanya sudah telanjur basah.
"Saya akan berusaha menyanggupi dengan sebaik-baiknya, Yang Mulia," jawabku pelan. Raja mengangguk puas, berbeda dengan Liam yang menatapku khawatir. Pasti ia bisa merasakan keterpaksaan di dalam ucapanku barusan.
"Ada tiga syarat, Miss Milania. Kainan, bawa kemari," titah Raja pada sang penasehat. Kainan mendekat ke arahku dan Liam. Ia menyodorkan sebuah map berlapis kulit berwarna hitam. Aku membuka map itu, dan melihat selembar kertas dengan lambang kerajaan di atasnya.
Tertulis tiga poin dengan beberapa kalimat dalam setiap poinnya. Aku membaca ketiga poin itu dengan saksama, sembari berusaha memahaminya. Persyaratan pertama, aku harus bersedia mempelajari segala hal yang harus diketahui oleh Putri Kerajaan. Meskipun aku belum akan menikah dengan Liam dalam waktu dekat. Sebab, setelah Raja menyetujui hubungan kami, pihak Kerajaan akan mengumumkannya secara resmi kepada seluruh rakyat Atheya.
Persyaratan kedua, aku harus mau mematuhi semua peraturan dan protokol Kerajaan yang akan diberlakukan mulai besok. Aku masih diberikan kebebasan untuk berkuliah seperti biasa, dengan beberapa penyesuaian yang akan dibicarakan lebih lanjut. Lalu persyaratan ketiga, aku tidak boleh terlibat dalam masalah atau melakukan kesalahan yang dapat mencoreng nama baik Kerajaan.
Terdapat beberapan tambahan kalimat di luar ketiga poin tersebut. Yaitu, aku harus menjaga perilaku dan tidak boleh bermesraan secara berlebihan saat berada di depan umum. Kepalaku mulai sibuk membayangkan. Akan seperti apa kehidupanku nanti, jika aku menyetujui semua persyaratan ini.
Liam ikut membaca isi dari kertas yang baru saja selesai kubaca. Matanya menunggu. Menanti jawaban atau respons dariku. Raja Adrian dan Ratu Grace pun tampak melakukan yang sama.
Aku menarik napas dalam sebelum mulai berbicara. "Apakah saya boleh meminta waktu untuk berpikir, Yang Mulia?"
"Mila," Liam berbalik melihatku. Aku tersenyum sekilas, dan kembali menatap Raja Adrian yang tengah mengamatiku.
"Satu hari. Besok kau harus memberikan keputusan. Aku tidak bisa menunggu lama," jawab Raja Adrian.
"Baik. Terima kasih, Yang Mulia." Aku kembali menunduk. Namun, tatapan Liam belum beralih dariku. Sepertinya jawabanku membuat Liam merasa terkhianati.
"Baiklah. Sekarang kalian berdua boleh keluar. Aku tunggu jawabannya besok, Miss Milania," tutup Raja Adrian.
Aku bangkit dan membungkuk sekali sebelum benar-benar keluar dari ruang kerja Raja. Liam mengikutiku. Ia menahan semua pertanyaannya sampai kami berdua sudah keluar, dan pintu tertutup rapat.
"Mila, kenapa kau tidak langsung menyetujui persyaratan ayahku?" tanya Liam tidak sabar. Ia memegangi tanganku, menuntut penjelasan. "Apa semua perlakuanmu sebelumnya, tidak berarti apa-apa? Kau masih ragu dengan perasaanku?" tanya Liam tidak dapat percaya.
Bukan itu, Liam. Justru aku ragu dengan perasaanku sendiri.
Aku menghela napas, lalu menggeleng tanpa berpaling darinya. "Tidak, Liam. Aku hanya butuh sedikit lebih banyak waktu. Ini langkah besar dalam hidupku. Aku perlu memikirkannya matang-matang. Aku tidak ingin gagal lagi." Jawabanku akhirnya membuat raut wajah Liam berangsur melunak.
"Baiklah. Kau mau aku antar pulang sekarang?" tanyanya. Tanpa ragu aku mengangguk cepat. Aku rindu apartemenku, dan sepertinya aku memang butuh waktu sendiri.
▪▪▪
Mobil yang Liam kendarai akhirnya berbelok masuk ke area parkir gedung apartemen. Ia memarkirkan mobil dan hendak mematikan mesin mobil, ketika tanganku mencegah niatnya.
"Pulanglah. Aku bisa naik sendiri," pintaku setenang mungkin. Liam menatapku sebentar, kemudian memeluk erat sebelum membiarkanku keluar dari dalam mobil.
"Hubungi aku jika kau butuh apa pun," katanya, saat aku hendak menutup pintu.
Aku mengangguk. "Pasti. Hati-hati menyetirnya. Kabari aku begitu kau sampai di Istana."
Tidak lama setelahnya, mobil Liam mulai berjalan hingga akhirnya menghilang di sudut jalan. Aku berbalik, berjalan menuju pintu lift dengan langkah terseok-seok. Tubuhku seakan kehabisan tenaga.
Saat pintu lift terbuka di lantai apartemenku, aku segera berjalan keluar. Sudah tidak sabar ingin segera merebahkan tubuh dan bersantai hingga hari berganti. Ketika semakin dekat dengan tujuan, mataku menangkap sosok seorang lelaki yang tengah berdiri menyandar pada dinding tepat di sebelah pintu apartemenku.
Lelaki itu mengenakan jas abu cerah. Kepalanya tertunduk dalam. Sepertinya ia tidak menyadari kehadiranku, hingga aku memanggil namanya. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya, hingga melamun seserius itu dan tidak mendengar suara sepatuku yang berisik ini.
"Ken?"
Kepalanya langsung terangkat begitu mendengar suaraku. Ia menyambut dengan senyuman penuh harap.
"Ada apalagi?" Kalimat barusan terucap begitu saja. Aku tidak bermaksud menyakitinya, tapi ia telanjur tampak terluka.
Kenayo menegakkan tubuh. Menungguku tiba di dekatnya.
"Aku ... sebenarnya datang untuk memberikan ini," ucapnya sembari menyodorkan goodie bag berwarna putih. Aku menerima, dan sedikit mengintip isinya.
"Itu lasagna dan morbradboffer. Ibuku yang memasaknya. Ia juga yang memintaku untuk memberikannya langsung padamu. Tinggal kau panaskan di microwave sebelum memakannya nanti."
"Terima kasih, Ken. Tolong sampaikan terima kasihku pada Ibumu," jawabku tulus.
Kenayo mengangguk, dan setelah itu kami berdua terdiam. Ia tampak seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya urung melakukan.
"Baiklah, akan aku sampaikan. Selamat beristirahat, Mila. Maaf, aku sudah datang tiba-tiba," pamit Kenayo. Aku tidak menjawab, hanya mengangguk sambil menunduk demi menghindar dari tatapannya. Setelah sosok Kenayo menghilang dari pandangan, perasaan janggal yang belum pernah kurasakan sebelumnya tiba-tiba muncul begitu saja.
Tidak, Mila. Jangan goyah lagi. Sudah cukup! Kini saatnya memberikan Liam kesempatan. Lupakanlah lelaki yang sudah menyakiti hatimu, hingga membuatmu menangis berhari-hari. Lupakan ia, Mila!
Aku terus meneriakkan perintah yang sama di dalam kepala, tetapi hati ini justru dengan bodohnya terus menyebutkan namanya.
Dalam kondisi kacau begini, sepertinya aku harus pergi ke sana sekarang juga.
▪▪▪
Bisa dikatakan taman ini adalah tempat pelarian favoritku. Walau taman ini tidak terlalu terawat seperti taman-taman lainnya yang berada di tengah kota, tapi entah mengapa, berdiam diri di sini bisa membuatku merasa nyaman dan tenang. Terbukti, hampir setiap kali punya masalah dan ingin menyendiri, aku selalu kembali ke tempat yang sama.
Tubuhku menyandar lemah pada sandaran bangku taman. Hari sudah sangat gelap, malah hampir lewat tengah malam. Angin musim gugur berembus cukup kencang sejak aku keluar dari dalam mobil. Membuat sweter yang membalutku gagal menghangatkan suhu tubuh.
Aku mengeluarkan pemutar musik berwarna merah muda yang diberikan Kenayo sebagai hadiah ulang tahunku, tahun lalu. Setelah menekan tombol play, alunan musik berirama pelan mulai memenuhi telinga. Menggantikan suara bisingnya binatang-binatang malam. Aku meregangkan tubuh yang sedari tadi terasa tegang, dan perlahan memejamkan kedua mata.
Aku berniat tidur sejenak, sebelum kembali memikirkan keputusan akhir yang akan aku ambil. Tidak butuh waktu lama aku sudah terlelap. Rasanya damai sekali.
Tidurku mulai terusik ketika aku merasa ada seseorang yang tengah duduk di sampingku. Harum parfumnya tercium jelas. Aku mencoba membuka mata dengan susah payah, dan hal pertama yang terlihat adalah jaket tebal yang menutupi tubuh bagian atasku.
Pantas saja aku merasa hangat.
Aku menoleh cepat ke arah lelaki yang duduk di ujung kursi taman. Ia seakan sengaja memberi jarak di antara kami. Mungkin keadaan taman ini gelap, tapi dari wanginya aku tahu itu Liam. Ia tersenyum melihatku yang sempat memandanginya dengan waspada.
"Liam? Apa yang kau lakukan di sini dengan kaos tipis itu? Kau bisa sakit, Liam!" bentakku sambil mengembalikan jaketnya. Namun, Liam menolak memakai kembali jaketnya.
"Aku baik-baik saja, Mila. Kau saja yang pakai. Aku tidak ingin kau sakit."
"Tapi, aku juga tidak ingin kau sakit. Aku tidak ingin disalahkan jika menjadi alasan seorang Pangeran terkena demam," kataku lagi, lalu menyelimuti Liam dengan jaketnya.
Aku menggosok-gosokkan telapak tangan, berusaha menghangatkan diri. Liam menarik tubuhku ke arahnya. Aku berusaha melepaskan diri, tapi tangan Liam sangat kuat memegang bahuku. Akhirnya aku mengalah, dan ikut masuk ke dalam bentangan jaketnya.
"Hey, how do you feel right now?" tanya Liam dengan berbisik tepat di atas telingaku.
"Aku baik-baik saja," balasku singkat. Liam menghela napas.
"Maaf," lirihnya. Ia terdengar begitu sedih, hingga membuatku ingin memeluknya. Aku menengadah, memandangi wajahnya dari bawah.
"Mengapa kau meminta maaf, Liam?"
Ia tahu kalau aku sedang memperhatikannya, tetapi sorot matanya tetap mengarah lurus ke depan. "Aku ingat kau pernah berkata padaku. Kalau setiap kali sedang memiliki masalah atau merasa sangat sedih, kau akan datang kemari. Sejujurnya, waktu di perjalanan tadi, aku berharap tidak menemukanmu di sini." Liam mengembuskan napas panjang, lalu menunduk. Mata kami akhirnya bertemu.
"Mila, apa persyaratan dari ayahku terasa sangat berat bagimu?" tanya Liam dengan tatapan begitu sendu. Mendatangkan perasaan bersalah, karena telah membuat lelaki sebaik Liam menderita.
"Kiss me."
Liam sangat terkejut sampai sempat terpaku selama beberapa saat. Matanya meneliti mataku. Seolah memastikan permintaanku barusan. Ketika aku mengangguk tanpa keraguan, ia mulai bergerak maju hingga bibirnya menyentuh lembut permukaan bibirku.
Secara perlahan ia menciumku dengan segenap hati. Bisa kurasakan emosinya yang telah tertahan selama ini. Aku memejamkan mata, lalu merengkuhnya agar semakin merapatkan tubuh. Ketika kami mulai kehabisan napas, ia lebih dulu berhenti dan sedikit mundur agar kami bisa menarik napas tanpa terhalang. Lantas, Liam kembali memelukku erat.
"Jadi ... apa ini artinya, kau akan menerima persyaratan ayahku?" bisik Liam.
Senyumku merekah sempurna. "Apa yang tadi belum jelas?" jawabku balas bertanya.
Liam segera menggeleng. "Thank you, Mila. Sungguh," ucap Liam tulus, seraya menarikku kembali masuk ke dalam pelukannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro