
Bab 13 - Run Away From The King
"Berhenti! Atau aku tembak!" teriak seseorang dari arah belakang ketika aku hampir masuk ke dalam mobil. Semua pengawal istana yang sedang memaksaku masuk, langsung berbalik arah.
Di sana Liam berdiri. Memegang senjata api, yang entah didapatkannya dari mana. Ia menodongkan senjata ke arah para pengawal yang memegangiku. Juga ke arah pengawal lain yang berjaga di sekitarku. Aku diam, mematung. Terlalu kaget untuk bisa merespons tindakannya. Aku lupa, kalau Liam bisa sangat nekat jika terdesak.
"Liam, jangan!" teriakku sekencang mungkin agar Liam menghentikan aksinya. "Lepaskan aku!" berontakku lagi.
Akhirnya aku berhasil meloloskan diri ketika salah satu pengawal lengah. Aku berlari sekencang mungkin ke arah Liam. Kemudian memeluknya seerat mungkin, memohon atensi. Ia hanya sekilas membalas tatapanku, tapi aku bisa melihat jelas ada perbedaan di sorot matanya.
"Minggir atau aku tembak! Aku serius! Menjauh dari kami!" ancam Liam lagi. Para pengawal berangsur mundur dan memberikan akses bagi kami berdua untuk pergi.
Liam menarik tanganku, dan membuka pintu mobil yang tadinya akan membawaku pulang. Setelah memastikan aku duduk, Liam menutup pintunya dan berjalan memutar. Sementara lengannya masih mengarahkan senjata api ke arah para pengawal.
Begitu berhasil duduk di bangku pengemudi, ia segera memacu mobil dan menerobos palang yang terpasang di gerbang masuk Istana. Aku sampai kesusahan memasang sabuk pengaman, karena Liam menyetir dengan kecepatan sangat tinggi. Membuatku ketakutan setengah mati.
"Liam, berhenti! Kita tidak diikuti. Menepilah sebentar. Kumohon ...," pintaku hampir putus asa.
Melihatku yang ketakutan, Liam akhirnya bersedia menepikan mobilnya. Namun, ia tidak mematikan mesin. Tanganku bergerak cepat melepas kaitan sabuk pengaman, lalu segera membuka pintu mobil. Perutku terasa sangat mual. Aku hanya kuat berjalan beberapa langkah, sebelum mengeluarkan isi perut.
Liam ikut turun. Ia berdiri di belakang, sambil perlahan menepuk-nepuk punggungku. Setelah selesai, aku berusaha menegakkan tubuh dan menarik napas sedalam-dalamnya. Liam mengelap mulutku dengan saputangannya, lalu memelukku.
"Maaf, Mila. Maaf," lirihnya berkali-kali di telingaku.
Aku enggan menjawab. Terlalu banyak perasaan yang kurasa dalam satu waktu, hingga aku bingung mau mendahulukan yang mana.
Meski tidak dijawab, ia tetap memelukku. Tubuhnya lembab, keringatnya menetes mengenai sisi wajahku. Aku yakin ini pertama kalinya ia melakukan aksi nekat seperti tadi, karena tubuhnya masih sedikit gemetaran sampai sekarang. Liam lelaki yang baik dan lembut. Rasa cintanya padaku yang membuatnya berubah menjadi orang lain.
Begitu berhasil melepaskan diri darinya, aku meminta Liam untuk segera menatap mataku. Setelah beberapa saat, sorot matanya bergerak mengarah padaku.
"Mengapa kau melakukan itu? Seharusnya kau bicarakan baik-baik dengan Ayahmu, Liam."
"Aku tidak tahu. Tadi, aku tidak bisa berpikir jernih. Yang ada di pikiranku hanya kau, Mila. Aku tidak ingin berpisah seperti itu denganmu."
"Aku mengerti, tapi sekarang kita harus bagaimana? Aku yakin Ayahmu akan semakin membenciku sekarang."
"Pasti akan ada jalan keluar. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir."
"Lalu, kita sekarang mau ke mana? Kita tidak mungkin pergi ke apartemenku, kan? Pasti akan ada orang datang untuk menjemputmu secara paksa."
"Tidak. Ayahku sebenarnya tidak sekejam itu. Ia hanya tersulut emosi. Ini juga salahku. Sudah lancang berteriak padanya tadi. Malam ini aku tidak ingin pulang. Aku harus menyusun rencana sebelum kembali ke Istana. Ayo masuk, Mila. Aku tahu kita harus ke mana," ucap Liam bermonolog dengan dirinya sendiri.
Semua perasaan yang kusebut sebelumnya luruh sudah. Satu yang pasti, Liam sangat mencintaiku. Bukankah ini yang kuinginkan, merasa dicintai?
Jemariku perlahan meraih rahangnya yang masih bergerak karena sibuk menggumamkan rencana-rencana. Atensinya mulai teralihkan padaku yang menatapnya penuh haru.
"Hei, bisakah berhenti sebentar bicaranya?" tanyaku pelan. Liam menurut dengan mata membola. Mungkin ia terkejut dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba.
Aku tersenyum. "Terima kasih. Aku sampai lupa mengucapkan itu. Ketika kau muncul di pintu tadi ... aku, tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Yang jelas, aku berterima kasih, karena sudah memperjuangkanku seperti ini," kataku lagi.
Liam meraih tanganku yang berada di pipinya. Ia memejamkan mata, merasakan kehangatanku. Kemudian, ia menatapku. "You know now, that I love you so much," desahnya tanpa mengalihkan mata indahnya. Aku mengangguk setuju.
Tidak ada alasan untuk meragukan perasaannya lagi. Sebaiknya aku memberikan Liam kesempatan, dan mulai membuka hati lagi. Ia pantas, sampai di ujung waktunya nanti. Aku akan ikut berusaha demi kita, Liam.
▪▪▪
"Mila, bangunlah. Sekarang sudah siang." Panggilan Liam di dekat telinga berhasil menjemputku dari alam mimpi.
Aku menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa sangat pegal. Kemarin Liam menyetir cukup lama, hingga akhirnya aku tertidur di mobil.
"Kita di mana?" tanyaku begitu menyadari berada di tempat asing yang tidak aku kenali.
"Kita ada di vila milikku."
"Kau punya vila?" tanyaku.
Liam mengangguk. "Ini warisan dari kakekku. Ayah dan ibuku tidak tahu kalau kakekku memberikan vila ini untukku, sebelum ia meninggal. Jadi, untuk sementara kita aman di sini. Aku juga sudah mengabari Pheya dan Nora tentang kejadian kemarin. Mereka akan datang kemari," jawab Liam berubah antusias.
"Baiklah. Sepuluh menit lagi, Liam. Aku masih sangat mengantuk," pintaku sebelum kembali memejamkan mata.
Liam malah ikut masuk ke dalam selimut wol yang menyelimutiku. Ia memeluk dari belakang, dan menaruh wajahnya di tengkukku. Embusan napasnya terasa begitu jelas. Membelai tanpa henti hingga menghadirkan banyak getaran aneh di tubuhku.
Mendadak ponsel Liam bergetar panjang. Aku baru dapat bernapas lega saat tubuhnya bergeser sedikit menjauh.
"Pheya dan Nora sudah sampai. Lebih baik kau segera cuci muka, Mila."
"Hm," jawabku singkat, tanpa berbalik ke arahnya.
Liam sudah tidak ada di kamar ketika akhirnya mataku bersedia terbuka lebar. Lalu tidak lama, suara Pheya dan Nora mulai terdengar bergema. Aku mengembuskan napas, bersiap bangun ketika pintu kamar dibuka lebar-lebar.
"Mila! Dasar tukang tidur!" Nora berteriak, lalu menyerangku. Pheya tidak ikut-ikutan. Dia berdiri di ambang pintu. Menatapku penuh rasa penasaran.
▪▪▪
"Jadi, apa rencana kalian?"
Sesi interogasi yang dilakukan oleh Pheya dan Nora padaku juga Liam, akhirnya dimulai. Kami bertiga sudah duduk di kursi makan yang mengelilingi meja kayu berbentuk bulat sempurna. Sedangkan Liam tengah sibuk menyiapkan makan siang dengan menggunakan bahan makanan yang ia pesan pada Pheya dan Nora.
"Aku tidak tahu kalau Liam bisa memasak," bisik Nora kagum.
Kami bertiga kompak menoleh ke arah sang Pangeran yang sedang sibuk memotong-motong daging dan sayuran di area dapur. Sementara kami para wanita, menikmati waktu bersantai sambil bergosip. Tentunya membicarakan masa depanku.
"Aku juga tidak tahu. Banyak yang disembunyikan Liam dariku. Kalian sudah dengar cerita kemarin, kan? Kau pasti tidak akan percaya, Nora, Pheya. Liam menodongkan senjata ke arah para pengawal Istana. Aku yang melihatnya langsung saja, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi kemarin. Serasa mimpi. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan terlibat masalah dengan Raja," kataku tanpa jeda. Pheya menyipitkan matanya, menatapku lekat.
Kuakui ada sebersit keraguan dan rasa takut di dalam kalimatku barusan. Pheya sangat mengenalku, ia pasti sudah menyadarinya. Aku menggeleng pelan tanpa suara, lalu mengembuskan napas putus asa.
Hidupku jelas tidak akan mudah mulai hari ini.
"Lunch is ready, girls," sahut Liam dari dapur.
Ia datang membawa dua piring lebar berisi Smorrebord. Sandwich dengan irisan daging sapi di antara dua lembar roti gandum cokelat gelap. Ia juga menambahkan sayuran hijau dan saus yang tidak bisa kutebak terbuat dari apa, sebelum mencobanya langsung.
"Cobalah. Aku akan membawa dua piring lagi," katanya. Kepalaku, Pheya dan Nora maju bersamaan, mendekat ke arah makanan yang sangat menggugah selera. Semoga saja rasanya enak. Aku kelaparan.
"Kau makan duluan saja. Aku masih kenyang," ujar Nora tanpa ditanya. Well, tanpa diberi tahu pun, aku sudah menggigit sandwich-nya.
"Ini enak sekali, Nora. Cobalah." Aku menyodorkan sandwich di tanganku. Nora mengambil langsung dengan mulutnya, dan mengunyah dengan sepenuh hati. Sama seperti reaksiku dan Pheya tadi.
Akhirnya Liam kembali dan duduk di sebelahku. "Bagaimana? Enak, tidak?" tanyanya sambil tersenyum lebar.
Kami bertiga mengangguk semangat.
"Kau berbakat jadi koki handal, Liam. Seorang Pangeran yang jago memasak. Sangat keren," puji Nora sungguh-sungguh.
Saat kami sedang mengobrol dan menertawakan hal-hal yang tidak penting, ponsel Liam tiba-tiba berdering. Ia pamit padaku, sebelum berjalan ke kamar tidur untuk mengambil ponselnya. Namun, setelah beberapa menit Liam tidak kunjung kembali.
"Aku ke kamar sebentar, ya," kataku pada Pheya dan Nora. Mereka berdua membalas dengan anggukan dan kembali asyik mengobrol.
"Liam," panggilku pelan. Aku mendorong kenop pintu dan melihat punggung Liam yang berdiri di dekat nakas. Ia terlihat sedang serius mengobrol dengan lawan bicaranya di telepon.
Aku berjalan menghampiri. Menyentuh pelan punggungnya yang ternyata sangat tegang. Raut wajahnya gugup, tetapi saat melihatku ia segera tersenyum canggung.
"Baik, Ibu. Aku akan pulang secepatnya. Mila ada bersamaku. No. Aku tidak ingin mengajaknya, biar aku saja. Tapi, Bu. Bagaimana kalau Ayah. Baiklah. I'll see you soon, Bye." Liam mengakhiri panggilannya dengan Ratu Grace, lalu meletakkan ponsel di meja nakas.
Lantas ia berbalik, kemudian menarik pundakku masuk ke dalam pelukannya. Aku segera menautkan kedua tangan, melingkari pinggangnya. Sesekali juga mengusap pelan punggungnya, agar ia tahu kalau aku selalu mendukungnya.
"Liam, Ratu Grace yang menelepon?"
"Hm. Ia memintaku pulang, dan mengajakmu juga," jawab Liam tanpa melonggarkan pelukan.
"Ya, sudah. Kita turuti saja permintaan Ibumu, Liam. Pasti ia menelepon karena sudah memiliki solusi dari masalah kita."
Kepala Liam bergerak mengangguk di atas kepalaku.
"Tapi, kau harus berjanji satu hal padaku. Jangan mengulangi kejadian kemarin. Yang kau lakukan itu sangat berbahaya. Aku tidak ingin ada yang terluka karenaku," pintaku dengan menekankan setiap kalimatnya. Liam kembali mengangguk.
"Aku hanya takut, Mila. Aku tidak ingin berpisah denganmu," desahnya terdengar sedih. Aku ikut menghela napas panjang bersamanya.
Baru ingin memulai saja sudah banyak cobaan. Sepertinya, sulit sekali merasakan bahagia yang tanpa beban.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro