Bab 11 - The Agreement
"Jadi, kau datang ke Istana?" Sekali lagi Pheya menanyakan hal yang sama. Ia masih tidak percaya pada apa yang terjadi padaku dua hari yang lalu.
"Ya, Tuhan... Bisakah kau menanyakan hal lain?" protesku sebelum menyeruput jus jeruk dingin, lalu merebahkan tubuh ke sofa restoran yang empuk.
"Baiklah. Kalau begitu aku ganti pertanyaannya. Jadi, bagaimana kelanjutan hubungan kalian?"
Pertanyaan Pheya membuatku mau tidak mau mendorong tubuh, hingga kembali duduk tegak.
"Entahlah." Aku menjawab pendek, lalu menghela napas panjang. "Liam belum menghubungiku lagi sejak hari itu. Aku juga tidak menghubunginya. Aku ... ingin menenangkan diri dulu."
Nora yang duduk di sampingku, bergeser mendekat. Kedua tangan mungilnya meremas erat pundakku yang lunglai.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku benar-benar bingung. Aku tidak ingin menikah di saat seisi negeri baru saja mulai melupakan perceraianku. Aku tidak bisa membayangkan hari-hari yang lebih brutal, dari saat fotoku dan Liam tersebar di seluruh negeri," keluhku.
Hanya kepada mereka berdua aku bisa mengeluarkan semua keluh kesah tanpa ragu. Pheya dan Nora, keberadaan mereka sangat berarti untukku.
Sambil menunggu saran dari Pheya dan Nora, aku bertanya pada diriku sendiri. Sebenarnya apa yang aku inginkan saat ini. Apa pilihan terbaik yang bisa kuambil. Lalu, bagaimana cara melarikan diri dari situasi ini.
Aku takut. Aku takut gagal lagi. Perasaanku pada Liam masih belum jelas. Terkadang aku hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat yang selalu ada di sampingku saat aku benar-benar membutuhkan dukungan, seperti halnya Pheya dan Nora. Namun, jantungku berdetak kencang jika sedang berdua dengannya.
Apa itu sudah cukup menjadi bukti bahwa aku juga menyayangi Liam, dan mau hidup bersama dengannya? Itu yang belum aku yakini sepenuhnya saat ini.
Aku ingin hidup menjadi orang biasa. Bisa santai pergi kemana saja tanpa takut ada orang yang mengikuti atau mengambil fotoku tanpa izin. Bebas melakukan apa saja tanpa takut orang-orang akan menilai dan menghakimiku. Aku memang sangat ingin merasakan bagaimana dicintai, tapi bukan seperti ini jalan yang kuharapkan.
Bagaimana caranya menolak cinta seorang Pangeran?
"Mila! Lihat siapa yang datang!" seru Nora tiba-tiba, membuyarkan lamunan. Aku mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk olehnya.
Liam berdiri di sana. Mempesona, seperti biasanya. Kalau tidak sedang bertengkar, mungkin aku akan menyambutnya dengan senyuman termanis. Namun, berhubung ia sudah membuatku tidur tidak tenang selama dua malam terakhir, aku memutuskan untuk tidak langsung berbicara dengannya.
Liam berjalan ke arah kami sambil melambaikan tangan. Keceriaannya telah kembali.
"Hai, kalian! Boleh aku bergabung?" tanyanya sambil tersenyum lebar.
Pheya dan Nora langsung mengangguk tanpa ragu. Bahkan Nora menyerahkan tempatnya agar Liam bisa duduk di sebelahku. Ulahnya membuatku memelototi Nora tanpa suara, tetapi ia malah tertawa.
Aku mengambil gelas minuman yang sudah kosong. Berusaha meminum tetesan yang terakhir. Makananku juga sudah habis, dan aku lupa membawa ponsel. Lengkap sudah penderitaanku. Kini aku tidak memiliki sarana pengalih perhatian sama sekali. Hanya buku menu yang tertangkap oleh mataku.
Dengan cepat aku mengambilnya dan memilih menu makanan serta minuman yang sekiranya paling cepat selesai dimasak. Aku juga mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk memanggil pelayan yang berada di dekatku.
"Bisa saya bantu, Nona?"
"Aku mau pesan Ice Mint Tea dan Chicken Cream Soup. Jangan terlalu lama, ya," kataku sembari menutup buku menu dan menaruhnya kembali.
"Kau masih lapar, Mila?" tanya Nora heran. Aku hanya mengangkat bahu, lalu berusaha menyibukkan diri dengan melihat jalanan yang ada di luar restoran.
"Mila, bagaimana kabarmu?" tanya Liam padaku setelah beberapa saat.
"Fine," jawabku singkat tanpa melihatnya.
"Baiklah. Sepertinya kau masih marah." Liam berkata dengan nada memelas.
"Ah, Liam. Tenang saja. Mila tidak pernah marah terlalu lama, kok," ujar Nora, berusaha mencairkan suasana.
"Hei, Liam. Jadi kau dan Mila akan menikah? Kenapa tidak bertunangan dulu, sih?" Pheya akhirnya bersuara.
"Aku belum menyetujui apa pun, Pheya. Lagi pula, aku sudah menolak keras keinginan gilanya itu," sanggahku keras. Pheya dan Nora segera memarahiku lewat tatapan mereka, karena aku baru saja bersikap lancang dengan mengatakan seorang Pangeran gila.
"Aku hanya takut Mila pergi meninggalkanku. Apa itu salah?" Liam balas bertanya.
Memang tidak sepenuhnya salah, tapi jika mengingat masa laluku, tindakan Liam itu tidak bisa dibenarkan.
Pheya menggeleng. "Seharusnya kau juga mempertimbangkan perasaan Mila. Kalau kau memang benar-benar mencintainya dan tidak ingin kehilangan, sewajarnya kau bertanya pada Mila, apa yang ia inginkan."
Mendengar perkataan Pheya, Liam terdiam dan menunduk. Aku melirik ke arahnya, lalu ke arah Pheya yang sedang menyilangkan kedua tangan sembari mencondongkan pundaknya ke depan, menuntut jawaban.
Sebelum Liam menjawab, tiba-tiba pelayan tadi datang dengan membawakan pesananku. Tanpa pikir panjang, aku segera melahap makanannya walau perutku sudah terasa penuh sesak.
"Sepertinya masalah kalian sudah membuat nafsu makan Mila semakin besar, Liam," goda Nora pada Liam.
"Ya, ini salahku jika Mila bertambah besar secara tiba-tiba," balas Liam ikut bercanda.
Aku mendengkus kesal. Kenapa mereka malah menganggap ini konyol? Padahal hal ini sama sekali tidak konyol. Hidupku yang sedang dipertaruhkan!
"Ah, aku lupa. Aku punya janji dengan temanku satu jam lagi. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Teman-teman, tidak apa-apa kan, kalau aku undur diri sekarang?" pamit Pheya tiba-tiba, sembari bergegas membereskan barang.
Aku menggeleng dan memegangi pergelangan tangannya. "Pheya, kita belum selesai berbicara," bujukku. Namun, Pheya hanya mengangkat bahunya dan tersenyum.
Ia tetap bangkit meski aku melemparkan tatapan memelas padanya.
"Telepon aku empat jam lagi. Oke? Bye!" Kemudian Pheya berlalu begitu saja. Meninggalkan aku, Nora dan Liam. Aku yakin pasti tidak lama lagi Nora juga akan kabur.
Aku jadi curiga. Jangan-jangan ini hanya rekayasa mereka berdua. Kalau begitu, lebih baik aku pergi sebelum Nora pergi lebih dulu.
"Nora, aku ada janji bertemu dengan Bibi Meelan. Aku pergi sekarang, ya," kataku sambil mengeluarkan uang dari dalam dompet dan menaruhnya di meja.
"Ayo, aku antar," ajak Liam.
"Tidak perlu. Aku bawa mobil sendiri kok," jawabku ketus.
"Ah, aku lupa bilang. Mobilmu sudah dibawa pulang ke apartemen oleh supirku. Jadi mau tidak mau, kau harus menerima tawaranku untuk mengantarmu ke rumah Bibi Meelan. Bagaimana? Kebetulan para pengawalku tidak ikut hari ini. Jadi aku bisa bebas pergi ke mana saja," ujar Liam santai tanpa merasa bersalah.
Kata-katanya benar-benar membuatku ingin memukul kepalanya yang tepat berada di hadapan.
"Bagaimana caranya kau bisa mendapatkan kunci mobilku? Kunci mobilku kan, ada di tas," tanyaku sembari membuka tas dan mencari benda yang kubicarakan.
Seingatku tadi aku taruh di saku paling depan, tapi kenapa sekarang tidak ada?
"Apa kau lupa, kalau kau memarkirkan mobilmu secara valet?" Liam bertanya sambil bertopang dagu.
Ah, bisa-bisanya aku lupa.
"Kau. Sebenarnya apa sih maumu? Kenapa kau selalu mengajakku bertengkar?" tanyaku hampir berteriak.
"Mila, Liam. Sebaiknya aku pergi, ya. Dah!" kata Nora pergi begitu saja sambil membawa uang yang aku taruh di meja, lalu pergi ke meja kasir.
"Sampai kapan kau terus bersikap seperti ini Liam? Apa kau sadar setiap kali kita bertemu kau selalu mengajakku berdebat?"
"Ayo ikut aku. Lebih baik kita keluar sekarang. Lihat sekelilingmu, Mila!" balas Liam.
Aku baru memperhatikan keadaan sekitar saat Liam menarikku pergi menuju pintu keluar. Sebagian dari mereka sudah memperhatikan kami, dan melihat ke arah kami dengan tatapan penasaran.
Aku lupa kalau harus menjaga sikap di depan umum. Maka dengan sangat terpaksa aku mengikuti Liam dan masuk ke dalam mobilnya yang sudah terparkir tepat di depan pintu keluar. Liam duduk di kursi pengemudi, lalu menyalakan mesin mobil.
"Aku tidak tahu di mana rumah Bibi Meelan. Bisa kau beritahu aku?" tanya Liam baik-baik, tidak ingin membuatku kembali meledak.
"Antar saja aku pulang! Aku tidak ingin bertemu Bibi dengan keadaanku yang seperti ini!"
"Baiklah. Aku antar kau pulang," jawab Liam mengalah.
Aku hanya diam di sepanjang perjalanan ke apartemen. Begitu kami sampai di tempat parkir basement, aku segera turun tanpa pamit. Aku juga sengaja membanting pintu mobilnya supaya ia tahu rasa.
Aku berlari tergesa menuju lift. Sesaat setelah berhasil masuk, perasaanku terasa sangat lega. Namun, tiba-tiba sebuah tangan masuk ke celah pintu lift yang hampir tertutup. Aku menjerit kencang, dan baru berhenti saat menyadari kalau ternyata itu adalah tangan Liam.
Ia muncul sambil tersenyum jail tanpa merasa bersalah. Padahal ia baru saja membuatku hampir terkena serangan jantung.
"Liam! Apa lagi sekarang!" Aku berteriak padanya.
"Ada yang ingin aku bicarakan padamu. Aku boleh mampir, kan?" tanyanya. Aku memutar bola mata, lalu mengangguk sekenanya.
"Terserah kau saja, tapi kalau besok ada foto-foto yang tersebar, kau sendiri yang urus."
Liam mengangguk setuju, lalu ikut masuk ke dalam lift.
Begitu membuka pintu apartemen, aku melempar asal tas ke rak di hadapan rak sepatu. Kemudian, aku berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan mengambil sebotol jus jeruk. Aku juga mengambil satu botol lagi untuk Liam, dan meletakkannya di atas meja makan.
Liam mengikutiku duduk di kursi makan.
"Apa yang mau kau bicarakan?"
"Tentu saja tentang kita, Mila. Kemarin, aku sudah berbicara dengan Ayah dan Ibu. Mereka akhirnya mengerti, jika kau tidak ingin terburu-buru. Aku juga bisa menunggu hingga kau siap." Liam berkata tanpa keraguan sama sekali. Membuatku mendesah lemah beberapa kali.
"Bisakah kita hanya berteman sampai aku bersedia menerimamu?"
Liam menggeleng cepat tanpa berpikir.
"Aku tidak ingin hanya berteman denganmu. Aku tidak bisa," jawabnya tegas, tak bisa dibantah.
Aku kembali berpikir. Jika menerima Liam, berarti aku harus siap menjadi sorotan lagi. Di satu sisi aku lelah menjadi santapan publik, tapi di sisi lain aku juga tidak ingin berjauhan dengan Liam.
Tuhan, mengapa Engkau tidak menjodohkanku dengan lelaki biasa saja, sih?
"Baiklah, tapi dengan satu syarat!"
"Apa saja Mila. Asal kau mau memberiku kesempatan."
"Aku ingin bertemu dengan Raja Adrian, dan mendengar secara langsung, kalau kau memang diizinkan berhubungan denganku. Risiko dari keputusanku ini sangat besar, Liam. Banyak yang harus aku pertaruhkan. Dan ingat, kau harus berjanji untuk tidak mengungkit-ungkit masalah pernikahan sampai aku benar-benar siap. Mengerti?"
Liam tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baiklah. Aku setuju. Selama kau tidak akan meninggalkanku, aku setuju. Kalau begitu, aku akan segera mengatur pertemuan dengan Ayah dan ibuku. Kebetulan, ayahku memang ingin berbicara langsung denganmu Mila," jawabnya, sebelum mengembuskan napas lega.
"Satu lagi. Jangan sampai lupa, untuk selalu menanyakan pendapatku dulu setiap kali akan memutuskan sesuatu yang berhubungan denganku. Okay?"
"Siap! Aku tidak akan lupa, Mila. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik! Terima kasih." Liam tersenyum lebar, lalu mencubit pipiku dengan kedua tangannya.
"Sekarang, boleh aku menciummu?" tanyanya tiba-tiba. Spontan aku mendelik galak ke arahnya.
"No kiss before I confirm everything with the King. Please be patient, Prince Liam."
Penolakanku malah membuat Liam tergelak, lalu mengangguk setuju.
"As you wish, Mam."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro