Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TK, R&R : EPILOG

Publikasi 06 Januari 2023
Publikasi ulang 1 Februari 2024

.
.
.
.

🍂

Ruma harus mengalah pada nafsunya ketika Rambu memperkenalkan seorang gadis tidak terlalu feminin tidak juga tomboi ke hadapan wajahnya. Ia cukup cantik dengan kulit sawo matangnya yang tidak terlalu pekat. Meskipun Ruma sejujurnya tidak setuju dengan keputusan Rambu menyukai orang tersebut.

Namun, Ruma menghargai hak Rambu sebagai manusia sosial, dimana mereka akan berinteraksi dengan orang baru, akan punya perasaan baru yang terus ter-upgrade setiap waktu. Seperti perasaannya pada Gege, dulu Rambu adalah pangerannya, kini tak lebih dari panglima perang kerajaannya. Rambu yang akan meninggalkan kerajaan Ruma dengan seorang ratu baru.

Kadensa tampak menatap lekat wajah Rambu dengan sendu. Ruma tidak pernah mendapati sebelum ada tatapan setulus dan sepenuh kasih itu dari orang lain pada Rambu kecuali dari Kakung dan Eyang Putri. Ruma sontak tersenyum dengan tegar.

“Kalian pasti udah pacaran lama?” katanya dengan santai, meski tetap tidak terdengar demikian.

Kadensa menunduk kemudian mendongak dengan lembut pada Ruma. Kadensa akui, Ruma lebih cantik darinya, ia punya senyum manis dari bibir merah delimanya, mata bulat yang lincah, rambut hitam yang tebal dan tampak terawat serta suara yang renyah, lantang yang candu. Senyum dari bibir Kadensa membuat Ruma menggulirkan matanya sinis.

“Rambu nggak bilang apa pun. Buat gua, keberadaannya seperti seorang sahabat.” Kadensa tersenyum ramah.

Ruma melirik Rambu yang terlihat tidak ikut andil dalam obrolan yang ada. Ruma menatap dengan tajam wajah Kadensa. “Aku nggak suka kalau ada yang bilang sahabatnya Rambu, tapi nggak ada saat Rambu terluka. Kamu pernah bilang Rambu cupuk, dan nggak layak di Korvus. Aku nggak memaafkan hal itu,” kata Ruma kesal.

“Gua minta maaf, walaupun lo nggak mau. Saat itu gua cuma nggak suka ada seseorang yang mengalahkan Galantika,” ungkap Kadensa dengan mimik khawatir. “Kalian bersahabat sejak lama, ya, wajar lo sama gua. Gua nggak keberatan!” serunya.

Ruma menatap kesal sambil mendesis. “Kenapa? Harusnya kamu maksa buat aku maafin,” desak Ruma.

“IItu hak lo sebagai sahabatnya. Kenapa lo bilang gitu?”

“Mereka selalu meninggalkannya. Seperti yang udah-udah. Gua berharap mereka minta maag dan balik bersahabat lagi sama Rambu,” lirih Ruma menatap Rambu iba.

“Tapi, bukannya lo juga salah satunya. Karena tanpa sadar, kehadiran pacar lo bukankah membuat lo membuang Rambu? Apa lo pernah bertanya kenapa Rambu tetap bertahan meski lo udah bareng orang lain?” tanya Kadensa sembari mengerutkan dahinya. Ruma terdiam sejenak.

“Sahabat bukan dinilai dari lama atau nggaknya mereka tinggal bersama. Tapi seberapa setia. Gua cuma mencoba untuk setia dengan perasaan ini pada Rambu. Gua belajar banyak hal dari Rambu termasuk memaafkan kehadiran ibu tiri gua,” ungkap Kadensa dengan nada bicaranya yang mulai emosional.

“Baiklah, aku izinkan kamu bersahabat dengan Rambu. Tapi, ingatlah satu hal, kalau kamu menyakitinya aku akan membuatmu membayarnya!” pekik Ruma sembari menangis. Ia memeluk Rambu dengan erat. Sementara itu, Rambu hanya terdiam sambil menatap Kadensa juga Ruma.

“Emm,” Kadensa mengangguk setuju, ia berkata, “Terima kasih karena telah menjaga Rambu jauh sebelum gua datang, Ruma. Gua senang bisa bertemu sahabat terbaik Rambu, yang selalu disebutnya setiap kali dia bercerita tentang sekolah, Korvus dan tempat yang disebut rumah. Terima kasih, Ruma. Gua akan selalu mengingat kata-kata lo, untuk selalu membuat Rambu ceria.”

“Kamu beruntung bisa dicintai Rambu sebagai tambatan hatinya. Semoga kalian bahagia, aku nggak akan ganggu kalian. Sekarang, aku yang akan jadi pendukung untuk Rambu dari belakang, untuk setiap langkah ke depannya!” ucap Ruma tersenyum sendu.

Kadensa tersenyum manis, menatap kedua bola mata Rambu dengan lembut. Lagi-lagi Ruma mendapati sebuah kasih sayang yang begitu tulus dari Kadensa. Ruma tidak tahu rasa apa yang mengganggu hatinya, perasaan sakit yang manis tetapi mencekik. Ruma mendaratkan tangannya di kepala Rambu.

“Kalau begitu, sore ini, silakan menikmati senja bersama Kadensa. Aku akan pulang, kurasa Gege udah menunggu untuk nonton BMX di Youtube.”

Rambu menatap Ruma dengan sendu, seakan berkata-kata agar ia tetap duduk bersamanya juga Kadensa. Namun, Ruma hanya tersenyum.

“Rambu masih ingat nggak, kalau aku tuh suka banget sama apa?” Rambu mengangguk.

“Suka senja dan petang.” Rambu tersenyum samar.

“Nah, kita akan selalu menjadi senja dan petang. Akan selalu beriringan.” Ruma menepuk-nepuk kepala Rambu juga Kadensa. “Udah, ah. Pokoknya kalian harus saling melindungi, jangan saling menyakiti.”

Kadensa memeluk Ruma begitu erat, entah mengapa Ruma tak mampu menolaknya. Rasanya seperti didekap sebilah pedang, pas tepat rasa sakit itu menancap di dada Ruma. Kadensa menitikan air matanya yang hangat. Tangan Ruma sontak membelai lembut rambut Kadensa.

“Kamu senang atau sedih, Kaden?” tanya Ruma dengan sedikit tawa renyah.

“Gua senang, Ma. Gua senang, rasanya seperti kembali ke masa-masa saat Mama ada di sisi gua, saat tiga saudara gua juga ada buat gua. Tapi gua juga sedih sedih, Ma. Rasanya gua mungkin udah ngerebut sahabat baik lo.”

“Ah, nggak, kok. Kamu nggak mencuri Rambu. Karena aku yakin, kamu bakal mendukung karirnya Rambu juga,” bisik Ruma. “Aku yakin kalau Rambu nggak akan pernah pergi dari sisiku, hanya aja dia cuma berjalan di sisi orang baru. Itu memang akan selalu pada siapa pun  karena kita manusia.”

Kadensa menatap Ruma dengan lembut. “Makasih, Ruma,” katanya.

“Kembali kasih, Kadensa. Aku harap kalian bisa jadi sahabat yang saling mendukung dan menyanyangi!” Ruma tersenyum begitu lebar sambil menitikan sedikit air mata. Keduanya pun lekas saling memeluk haru.

*****

Rambu menikmati hujan bersama secangkir teh pahit dengan sepotong roti pandan isi cokelat. Duduk di halaman bersama Ranah juga obrolan khas anak cowok. Rambu menggulirkan matanya pada Ranah sambil tersenyum lebar.

“Kak Ranah pasang tato di mana?” tanya Rambu menunjuk tato bayi burung hantu di pergelangan tangan Ranah.

“Kenapa? Mau pasang tato juga?”

Rambu sontak menggelengkan kepalanya dengan ekspresi terkejut. Tangannya melambai-lambai agaknya canggung. Rambu tertawa kecil kemudian berdeham. “Bukan, bukan untukku,” jawab Rambu sederhana.

“Terus?”

“Nggak tau sih, hanya iseng bertanya. Kenapa Kakak membuat tato?”

“Itu masa suramku, Ram.”

Rambu menesap aroma teh pahit dari bibir gelasnya. “Setiap manusia selalu punya masa suram. Jika hari itu menjadi masa suram pertamamu, semoga hari itu menjadi masa suram terakhirmu juga,” ujar Rambu.

“Orang kampus nggak tau apa?” sambung Rambu heran.

“Ini kena air ilang, Ram. Bisa ganti tiap hari.” Ranah terkikik. “Mau coba pasang juga nggak?”

“Nggak ah. Paman pasti ngamuk!”

Ranah tertawa, memberi sinyal bahwa saja ia lupa soal hal itu. “Maaf, maaf. Oh iya, soal Korvus gimana, Ram?“

“Nggak apa-apa, jangan dipikirkan, biarlah berlalu. Hari ini, hari esok dan seterusnya, biarlah masa lalu tertinggal, di antara rasa tau dan nggak tau kita.”

Ranah mendekap Rambu begitu erat, air matanya menggenang begitu indah hingga menimbulkan perasaan sedih yang teramat bagi Rambu. Remaja laki-laki itu mencoba menghiburnya dengan membelai lembut punggung Ranah. Namun, tak ada yang berubah, air mata itu justru semakin menggenang pada kedua matanya.

Rambu tersenyum. “Tidak ada kata terlambat untuk menjadi kepompong baru, terlahir menjadi kupu-kupu baru dengan sayap yang lebih indah,” ujar Rambu merintih, “dunia selalu berputar, tidak berhenti di satu titik. Waktu selalu bergulir, tidak berhenti barang sedetik. Karena itu, kesempatan akan selalu ada dan terbuka untuk mereka yang ingin bergerak untuk berubah.”

“Tapi, gua tau menjadi bintang Korvus adalah cita-cita terbesar lo. Gua harap Tuhan membalik hati lo kembali ke Korvus. Kita semua rindu sama lo.”

Rambu menitikan air matanya. “Aku memang untuk Korvus, bedanya di masa depan nanti bukan sebagai bintang lapangan, aku ingin mendukung sebagai sandaran.”

Rambu menatap wajah Ranah dengan cermat. “Aku ingin sepertimu, aku ingin melebarkan sayapku lebih lebar.”

Ranah memeluk Rambu, ia pun mendaratkan bogem kecilnya ke dada Rambu. “Ya, teruslah terbang, carilah ujung langit sejauh yang lo yakini.”

“Aku juga ….”

“Iya, Ruma udah cerita. Lo harus sayang sama dia, ingat tugas cowok itu melindungi dan jadi pelindung. Jangan pernah mengecewakan Kakung dan Eyang.”

“Iya, aku akan menjaga Kadensa. Akan … akan selalu membuatnya tertawa. Seperti Ruma membuatku senang. Seperti Kak Gege yang menyayangi Ruma dan Kak Ranah yang selalu ada.”

Ranah membelai rambut Rambu. “Mari kita nantikan hari esok yang akan terus menjadi misteri.”

Rambu tersenyum manis. “Ah, iya. Biarlah hari lalu jadi histori, akan jadi kaledonia yang mengesankan.”

🍂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro