Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Better With You | Masa Lalu di antara Kita


Publikasi 08 Desember 2022
Publikasi ulang 31 Januari a2024

.
.
.
.

Satu tahun berlalu sejak Rambu keluar tanpa pamit dari Korvus. Ia tak pernah meluangkan waktu meskipun banyak undangan untuk dirinya menghadiri pertemuan yang kedua pelatih kirim padanya. Walaupun teman-teman di sekolah juga sibuk mengabari, Rambu tidak menggubrisnya.

Rambu meninggalkan Korvus, juga PBC, tempat yang ingin ia banggakan sebagai rumah dari masa depannya. Namun, untuk satu tahun ini Rambu merasa PBC hanya bumerang penuh duri. Setiap ingatan itu hadir, penyesalan juga andil mencekik. Rambu merasa gagal sebagai cucu. Ia ingin menyangkal perasaan itu, sayangnya setiap hari rasanya seperti hidup tak hidup.

Rambu berjalan dengan pandangan mata kosong. Selepas UN ini, apa yang akan Rambu lakukan? Jawabannya mungkin sederhana. Rambu ingin bekerja, tetapi Paman memintanya untuk kuliah bersama anaknya di salah satu kampus swasta.

Rambu pikir, Paman mungkin tak peduli. Ternyata ia memperhatikan Rambu selama setahun ini. Bagaimana Rambu memperjuangkan nilai akademiknya, bahkan di ujian semesteran lalu nilai Rambu bisa dibilang sempurna nyaris tidak ada remedial. Kata Paman, sayang jika harus langsung bekerja. Dengan itu, Rambu akan tinggal bersamanya dan rumah Kakung akan dijual untuk biaya pendidikan juga sehari-harinya.

Rambu tertawa pincang tanpa sadar. Kenapa semuanya terasa begitu rumit? Apakah seperti itu akhirnya?

Sebongkah batu mendarat di punggung Rambu, meringis ia sambil menggigit bibir. Rambu menoleh mendapati Kadensa berdiri dengan tatapan berang, wajahnya tampak seperti preman. Setahun, begitu pikir Rambu. Ia tak berubah, wajahnya tetap seperti preman kesepian.

“Jahat! Jahat! Jahat!” teriak Kadensa sambil menangis. Sementara itu, Rambu hanya memandang saksama wajah gadis itu.

“Gua pikir lo mati!” pekik Kadensa sambil memeluk Rambu. “Lo ke mana aja? Gua nunggu lo di PBC tapi nggak ada lo di susunan daftar pemain Korvus. Di semua tempat yang pernah kita ketemu lo juga nggak ada! Gua putus asa!”

Rambu melepaskan pelukan Kadensa, ia memandangnya dengan ekspresi dingin. Rambu melangkahkan kakinya berlalu dari gadis itu. “Aku bukan kapten Korvus lagi. Aku keluar dari Korvus!” tandasnya.

“Keluar? Apa maksud lo!” Kadensa menarik tangan Rambu.

“Aku udah bukan anggota Korvus, wajar kalau kamu nggak melihat namaku di PBC. Karena aku udah nggak membela Korvus lagi. Aku udah keluar sejak tahun lalu, setelah Korvus kalah dari Bantarious.”

“Tapi kenapa?” bentak Kadensa sembari meremas kerah seragam Rambu sekuat tenaga. Gadis itu menangis dengan kesalnya.

“Ini Pen Base terakhir lo! Kenapa lo pergi? Kenapa lo ninggalin Korvus?! Galantika! Ini Galantika, Rambu.”

“Siapa pun itu, aku udah nggak peduli!”

“Tapi kenapa?!” Kadensa meremas dada Rambu.

Bibir Rambu terkatup untuk beberapa saat. Rambu menitikan air mata, ia berkeluh kesah pada Kadensa dengan suara gemetarnya, laki-laki itu terhuyung bersimpuh di atas tanah. Tubuhnya menggigil, kedua bola matanya goncang. Rambu meratap sesekali sambil memirsa lekat-lekat kedua bola mata Kadensa.

Entah berapa lama ia menangis, bahkan matahari sudah berganti senja. Kadensa hanya berlutut di hadapan Rambu tanpa bersuara. Ia merasa kepalanya sakit bukan makin. Pening, lebih dari itu. Kadensa ingin muntah mendengar betapa sakit hatinya Rambu saat ini.

“Kalau gitu … lo harus cerita. Lo harus membebaskan perasaan yang mengganjal di dalam dada lo, Rambu!” bisik Kadensa sambil membelai pusat kepala Rambu.

“Tapi bagaimana bisa? Setiap kali aku ingat Korvus, aku teringat keduanya. Aku merasa telah ….”

“Cukup ceritakan seperti yang lo ceritakan sama gua barusan! Kalau lo emang nggak ingin ada di Korvus dan lo juga nggak lagi peduli soal undangan pertemuan atau reunian antara anggota Korvus.”

*****

Ruma mengamati Rambu dari kejauhan, selama satu tahun terakhir ini meskipun keduanya masih satu kelas, Ruma rasa Rambu begitu jauh. Ia pergi dari rumah, lalu kembali ke rumah seakan tak ada lagi hal menarik yang bisa dibagi antara keduanya.

Ranah berdiri di dekat Ruma, ia menatap dengan saksama. “Kenapa? Bukannya Gege mau ngajak kencan sambil nonton film Brad Pitt?” lontarnya tersenyum kecil.

“Apa Rambu pernah bercerita kenapa dia meninggalkan Korvus? Apa dia masih sakit hati atas ucapan pelatihnya?” tanya Ruma dengan mimik bimbang.

“Rambu nggak cerita apa-apa.” Ranah menjawab dengan suara pelan. “Untuk saat ini, biarkan Rambu menikmati hidupnya. Meskipun dia terlihat gusar dan murung. Dia butuh waktu untuk ….”

“Memaafkan dirinya?” potong Ruma. “Rambu keliru, aku yakin Eyang terutama Kakung nggak marah karena ini. Mereka baik-baik aja. Karena mereka tau Rambu jatuh cinta pada bisbol!” cecar Ruma sembari berkaca-kaca.

“Kita nggak pernah tau apa yang seseorang pendam. Kecuali orang itu keluarkan dengan mulut dan tangannya. Untuk saat ini, kita nggak boleh ikut campur, Ruma.”

“Satu tahun ini aku kesepian meskipun Gege bersamaku!” tandas Ruma meninggalkan Ranah yang masih berdiri di depan teras rumah.

Di belahan kota lainnya, Kadensa duduk di depan seorang remaja laki-laki yang masih mengenakan seragam putih biru. Kadensa duduk di sampingnya sembari memeluk lutut.

“Agnyana ….” Kadensa memanggil. “Apa gua masih punya kesempatan buat minta maaf?”

“Aku akan selalu memaafkan Kakak!” jawabnya.

“Selama ini gua selalu mengabaikan dunia karena gua pikir dunia ini kejam. Iya, kejam. Buktinya kehadiran Bunda. Bukankah itu membuat kita semua akhirnya berpisah. Ayah seakan pergi dan nggak pernah kembali,” ungkap Kadensa sembari sesegukan menahan air matanya.

“Tapi, ternyata kehidupan memang tentang datang dan pergi. Bunda mungkin membuat Ayah bahagia walaupun kita terluka. Gua … ingin dimaafkan!” kata Kadensa.

Agnyana, remaja laki-laki itu memeluk erat Kadensa. Sebenarnya masih ada dua saudara yang lain, hanya saja sejak kedua orang tuanya berpisah dan sang mama memutuskan untuk gantung diri, dua saudara lainnya memutuskan untuk mengenyam pendidikan di Negeri Paman Sam ikut salah satu rekan Ayah. Semuanya jadi terasa sepi.

“Aku akan selalu bersama Kakak!” bisiknya.

“Abang, Kakak?” panggil seorang wanita berkulit putih bersih, dengan bibir merah mawar yang berdiri di dekat dinding. Gaun motif bunganya membuat ia tampak begitu anggun apalagi senyumnya yang kecil tetapi hangat.

Kadensa menatap wajahnya, ia air mata gadis itu merinai tanpa henti. “Maafkan Kakak, Bunda. Selama ini mungkin yang jahat adalah Kakak,” katanya.

“Bunda juga minta maaf, sebagai seorang ibu sambung, Bunda kadang mengabaikan perasaan kalian.”

Kadensa rindu Rambu, ia rindu semua yang melekat padanya. Kadensa juga rindu sosok Ale, seseorang yang mengenalkannya pada bisbol. Jika saja hari itu tak pernah tersuratkan untuk dirinya, ia tak akan pernah bertemu dengan Rambu.

“Kalau begitu, ayo kita sambut kepulangan Ayah, Adena dan Kahiyang. Kita harus mengadakan pesta makan malam,” bisik wanita itu di telinga Kadensa. Ia pun mengangguk lemah lembut.

Ale, aku bahagia bisa bertemu dengan Rambu. Aku ingin mengikuti setiap langkah kakinya.

Sebelas tahun silam, sisa-sisa hujan derai menenggelamkan wajah ibu kota. Beberapa ruas jalan tergenang banjir. Kini hanya sisa mendungnya saja dengan angin yang cukup dingin. Tampak seorang gadis kecil berusia sekitar enam tahunan berjalan mengendap-endap di depan sebuah pagar rumah besar. Ia melempar sepatu yang dikenakannya ke arah pohon mangga di dalam rumah tersebut.

Ia hendak memanjat pagar, tetapi tangannya seketika ditangkap oleh seorang remaja laki-laki berpakaian seragam putih abu. Kedua iris matanya cokelat pudar tampak berbinar. Ia mengenakan topi bisbol berwarna biru dongker.

“Apa yang kamu lakukan? Mau mencuri, ya? Hujan-hujan begini ke mana orang tuamu? Di mana rumahmu! Mau aku antar atau mau aku panggilkan polisi?”

Kadensa kecil. Tubuhnya gemetaran, ia takut laki-laki itu. Namun, senyum miliknya tiba-tiba membuat Kadensa kecil menangis.

“Eh, kenapa menangis?”

“Takut! Takut!” rengeknya.

“Aku bercanda. Di mana rumahmu, siapa namamu, sedang apa kamu di depan rumah orang?” tanyanya.

“Di dalam sana. Ayah belum pulang, Bunda juga.”

“Namamu?”

“Kadensa!”

“Ale, namaku Ale. Kalau begitu aku akan menemanimu sampai ayah dan bundamu datang!” Ia memberikan topi yang dikenakannya pada Kadensa kecil yang masih setengah menangis.

“Jangan takut, aku juga sering lewat sini. Temanku rumahnya di ujung sana, kami biasa main bisbol bersama. Kamu tau bisbol?”

Kadensa kecil menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu tertawa. “Kalau begitu, nanti kuajak kamu nonton bisbol, ajak bunda dan ayahmu juga, ya?”

Matanya bergulir, ia membelai pusat kepala Kadensa. “Aku pulang, ya. Mobil orang tuamu sepertinya udah datang!” bisiknya. “Ini, jangan sampai hilang! Dah!” Ia berlari, sementara itu Kadensa kecil hanya memandangi punggungnya yang tangguh.

“Ayah!” pekiknya.

“Eh, anak Ayah udah pulang. Ayo, masuk!” Pria berkacamata itu membuka gerbang. Di dalam mobil tampak wanita berbibir merah mawah—bunda—memandang dengan tajam.

“Ayah, Kakak yang menemaniku menunggu Ayah memberikan ini! Katanya menonton bisbol” kata Kadensa.

Tiga lembar kertas tertuliskan Pen Baseball Big Match Bantatious VS Galantika membuat kedua iris Kadensa kecil bersinar.

“Ah, nanti kita nonton!” katanya tanpa menengok sebab sibuk membuka gerbang.

***

Kadensa mengerjap, ia menyesap aroma tubuh sang bunda sambil tersenyum. “Kalau ada waktu, Bunda mau nonton Korvus dan Galantika? Ini Pen Baseball terakhir anak-anak kelas tiga. Meskipun Galantika akan menjamu Korvus. Aku ingin menontonnya.”

“Iya.”

“Walau bukan Bantarious, bukan pula Rambu, aku ingin menonton bersama Bunda,” bisiknya. Wanita itu tersenyum sembari memeluk erat tubuh Kadensa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro