22. Better With You | KORVUS #2
Publikasi 7 Desember 2022
Publikasi ulang 31 Januari 2024
.
.
.
.
Rambu meninggalkan Korvus dengan tekadnya yang sudah bulat dan Ruma tidak mempermasalahkan hal itu. Ia sadar ketika Rakabumi membuka beberapa alasan logis kenapa Rambu demikian. Salah satunya, dugaan rasa kecewa dan menyesal setelah Rambu mengabaikan perasaan enggak berlatihnya di hari ketika Eyang dan Kakung wafat.
Rakabumi berani bertaruh, jika Rambu merasa bersalah dan tak mampu memaafkan dirinya sendiri. Namun, itu hanya dugaannya saja. Semuanya hanya kelabu.
Rambu duduk di bawah wajah langit, melamun jauh sambil menikmati angin dari pelataran JIBS. Mungkin, hari ini adalah hari terakhirnya menginjakkan kaki di stadion kebanggaan anak-anak PBC.
“Kamu di sini rupanya!”
Suara itu membuat Rambu menoleh. Sadega berdiri di balik punggung Rambu dengan membawa ransel berisi perlengkapan bisbol—terlihat dari menyembulnya tongkat kayu dari dalam ransel tersebut.
Duduk Sadega di sebelah Rambu, ia menyodorkan beberapa camilan rasa cokelat padanya. Namun, Rambu hanya tersenyum kecil.
“Raka bercerita kalau kamu keluar dari Korvus. Kenapa?” tanya Sadega tersenyum dengan lembut. “Apa ada yang terjadi di antara kamu dan Korvus pasca kekalahan telak kalian dari Bantarious?”
“Aku mungkin … atau lebih tepatnya aku nggak bisa menjadi pemain profesional karena banyak hal. Aku menyadari kalau atlet yang baik adalah mereka yang bisa menekan egonya demi tim. Tapi, aku hanya beban,” jelas Rambu.
“Sebenarnya menjadi pemain egois juga nggak masalah. Kadang, kita memang butuh waktu untuk mengesampingkan hal itu, tapi menjadi egois sesekali nggak salah. Apa itu ada hubungannya dengan performa bermainmu?”
Rambu mengangguk pelan, ia menghela napas sambil memeluk lututnya. “Hari itu, entah kenapa aku menyesal karena berpikir kalau dengan Korvus aku bisa membahagiakan Kakung dan Eyang. Aku nggak memikirkan bahwa setiap waktu maut selalu menunggu kita,” katanya.
“Kamu melewatkan beberapa pembicaraan Inga?” tanya Sadega. “Dia memang tipe yang senang jika lawan bicaranya memperhatikan mata atau gerak bibirnya. Dia memang selalu menggertak. Tapi, dia orang yang baik.”
Rambu menolehkan kepalanya pada Sadega yang tersenyum manis. Cahaya dari langit membuat wajah laki-laki itu tampak hitam tertutupi silau. Rambu menatap lekat-lekat wajah Sadega.
“Aku … perkataannya memang benar. Kenapa aku merasa marah? Padahal perkataannya benar dan nggak ada yang salah. Kenapa aku tersinggung? Padahal, aku sendiri yang salah.”
Sadega tertawa renyah. “Kamu itu terlalu menanggung beban sendirian. Sesekali bicara lebih dulu dan menolak untuk sesuatu yang kamu nggak suka nggak apa. Kamu berpikir bagaimana membuat anak-anak Korvus berhenti merasa berduka, 'kan?”
“Kamu memikirkan cara agar mereka berhenti menghiburmu? Kamu takut mereka terlalu memikirkan kesedihanmu, bukan?” kata Sadega. “Mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Itu bukan salahmu.”
“Ram, Inga nggak benar-benar marah. Dia berkata seperti itu karena dia nggak mau kamu larut dalam kesedihan, kamu itu punya potensi yang lebih dari anak-anak Korvus lainnya. Inga dan Antan pernah bilang, kan, kalau anak-anak yang berbakat dan lebih bersinar di antara lainnya berpeluang dalam beasiswa untuk kuliah? Di jurusan olahraga khususnya. Para petinggi PBC juga jajaran PBITSA berjanji akan membuka jalur untuk beasiswa pendidikan ke Jepang dan Amerika, di tempat dimana bisbol menjadi topik yang selalu jadi pemeran utamanya.”
Rambu menatap sendu, Sadega membelai punggung Rambu. “Meski bukan jalur olahraga pun, para petinggi menjamin beasiswa untuk jurusan dan pendidikan lainnya dengan syarat nilai akademik dan non-akademik yang mumpuni. Inga sayang dirimu, Ram. Inga menangis ketika kamu pergi.”
Rambu menggulirkan kedua bola matanya ke arah langit sambil menitikan air mata. “Apa yang Kakak tau? Bahkan Kakak udah bukan anak Korvus!” desaknya emosional.
“Raka … Raka juga menangis ketika menceritakan bagaimana Inga marah padamu dan akhirnya kamu pergi. Raka juga merasa kesal ketika Inga menangis karena kepergianmu. Inga ingin mengulang waktu, Raka pun, ia ingin menemanimu keluar dari ruang Osis detik itu juga.”
*****
Rambu membasuh wajahnya, sejak berjumpa dengan Sadega, Rambu merasa memang perasaan cintanya pada Korvus sudah banyak berkurang. Rambu benar-benar tak peduli lagi. Ia hanya ingin memanfaatkan beasiswa yang pihak sekolah berikan sekarang. Selepasnya, Rambu ingin bekerja saja daripada harus kuliah.
Rambu membuka rumahnya, tampak Antan berdiri di depan dengan senyuman layu nan murung. Tangan Rambu bergetar, ia ingin menutup pintu rumahnya. Sayang, entah kenapa rasanya kehadiran Mantan justru terasa hangat. Rambu tak bisa menolak kehadirannya. Meskipun tubuhnya ingin menyangkal
“Coach Antan …?” lirih Rambu dengan suaranya yang canggung.
“Apa kabar, Ram?” tanyanya.
“Mari masuk dulu!” kata Rambu mempersilakan.
Antan mengikuti Rambu, masuk keduanya ke ruang tamu beralaskan tikar anyaman daun pandan. Antan menatap Rambu yang berjalan memasuki ruangan yang ditutupi tirai manik-manik.
“Coach mau minum kopi atau teh manis?” tanya Rambu menyingkap tirai manik-manik di depannya.
“Teh tawar,” jawab Antan dengan senyuman kecil. Rambu pun mengangguk.
Beberapa menit Rambu habiskan di dapur, sementara itu Antan sibuk mengamati suasana rumah Rambu yang sederhana. Banyak poster tim bisbol PBC salah satunya Bantarious yang dipajang lebih banyak dari yang lainnya.
Antan memandang sebuah potret beberapa anak tengah berdiri di depan sekolah dasar bersama seorang pemain andalan Bantarious, di dekatnya berdiri pula sosok Rambu yang Antan taksir usianya masih enam atau tujuh tahun.
“Bantarious?” lontar Rambu. “Tim favoritku. Tapi, aku nggak bisa masuk SMA 97, karena nilai akademik dan nilai UN-ku kurang,” imbuhnya.
“Kenapa Bantarious?” tanya Antan.
“Dulu, saat aku masih di panti asuhan, sekitar usia lima kalau nggak salah. Ale selalu berkunjung dan mengatakan kalau bermain bisbol itu menyenangkan. Dia punya banyak hal yang membuatku ingin terus berjuang.” Rambu menyajikan tehnya.
“Awalnya berat untuk hidup bersama orang asing di panti karena saat itu Eyang dan Kakung masih kekurangan biaya untuk pendidikanku. Aku belajar di sana dan menjadi anak paling teladan, aku mendapat banyak beasiswa sekolah, sampai akhirnya kembali ke rumah setelah Kakung menjual sisa tanah warisannya.”
Rambu tersenyum sendu. “Kenapa Bantarious? Aku bahkan nggak tau, aku hanya tau kenapa Ale? Karena dia mengatakan kalau setiap langkah yang kita hadapi akan selalu menemui banyak halangan dan cobaan, hidup akan selalu rumit, kuncinya cukup jalani dan lakukan semuanya dengan cara yang kita pikirkan, sekalipun rasanya menyakitkan. Aku menggilai Ale, bukan Bantarious.”
Antan menyesap teh yang Rambu suguhkan. “Lalu, apa kamu benar-benar akan meninggalkan Korvus? Bukankah hidup itu penuh ujian?” tanya Antan.
“Aku hanya berpikir, untuk saat ini belajar dan lulus mungkin bisa membuatku kembali mengisi tabungan yang habis karena membayar utang Kakung dan Eyang.”
“Kamu meragukan pihak PBC dan jajaran PBITSA?”
Rambu menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku yang justru meragukan diriku sendiri,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena kemampuanku nggak berkembang. Kalau aku hanya mengandalkan PBC dan PBITSA … aku nggak mau merusak ekspektasiku juga mimpiku sendiri.”
“Coach paham maksudmu, tapi nggak ada yang salah untuk tetap mempertimbangkan semuanya. Meskipun kamu gagal di Korvus, kesempatan lainnya masih terbuka. Keikutsertaan dirimu di Korvus mungkin bisa menjadi salah satu jalan menuju masa depan. Kita nggak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi di depan mata kita. Kalau kamu berpikir dengan bisbol jadi apa, hanya karena bisbol di Indonesia nggak diminati, atau karena ini bukan Jepang. Apa kamu pernah berpikir bisa aja ilmunya berguna untuk orang lain?”
Antan menatap saksama. “Seperti ceritamu tentang Ale. Bukankah perjalan hidupnya bisa membuat orang lain hidup juga?” tanyanya. “Jika bukan karena bisbol, mungkinkah alasanmu jatuh cinta pada bisbol.”
“Aku akan mempertimbangkannya.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro