Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Better With You | KORVUS

Publikasi 03 Desember 2022
Publikasi ulang 31 Januari 2024

.
.
.
.

Seluruh anggota Korvus sudah berkumpul di ruangan Osis sekolah, kali ini tidak kumpul di Ground untuk membahas evaluasi lepas latihan karena ada tim sofbol putri dari sekolah tetangga yang juga latihan.

Rambu tampak duduk dengan serius memerhatikan bagaimana Antan menyampaikan nasehat serta beberapa masukan agar permainan anak-anak di lapangan nanti menjadi lebih maksimal. Begitu pun dengan Inga, ia mengatakan bahwa anak-anak harus bermain dengan lebih semangat, meski ia mengatakan menang dan kalah adalah hal biasa. Akan tetapi, alangkah baiknya di awal karir Korvus sebagai anggota baru PBC, mereka harus mampu meraih kemenangan pertama.

Rambu merasa amat sangat semangat saat ia menggulirkan pandangannya pada Rakabumi, ia mendadak ingat Ruma—sosok yang ingin dibanggakannya itu selalu menunggu hasil terbaik dari setiap latihan Rambu bersama Korvus. Namun, seketika Rambu terdiam sambil memandang kosong ke arah jendela.

“Perhatian kalian di sini!” ucap Inga sambil berdeham, berniat membuat Rambu menolehkan pandangannya. “Fokus!” Inga menggebrak meja dengan keras.

Rambu seketika menoleh dengan pandangan yang masih kosong. Inga menatap tajam Rambu yang seakan tidak menatap balik tatapannya. Merasa tak dihargai, Inga pun mendesis sembari tersenyum miring.

“Apa yang saya utarakan tadi, Rambu?” tanya Inga dengan suara sedikit menggeram. Rambu hanya diam. “Di mana fokusmu?”

“Maaf, Coach! Saya hanya menangkap bagian kalau permainan pertama akan dilakoni bersama Orion Jatim. Serta—”

“Akhir-akhir ini kamu nggak fokus. Kenapa, apa karena kematian kakek dan nenekmu? Atau karena merasa bahwa kamu adalah pitcher terbaik?” cecar Inga dengan tatapan berang nan kesal.

“Aku belum selesai menjawabnya, Coach. Aku mendengarkan penjelasan Coach tentang lini tengah Orion Jatim, pelari mereka bagus. Pemukul nomor empat mereka selalu membuahkan home run. Pitcher mereka tak pernah melakukan lemparan dengan kecepatan di bawah 100 km—”

“Dengar, ya, Ram. Yang sudah mati tidak akan hidup lagi meski kamu pikirkan sepanjang waktu. Dan lagi, kemampuanmu yang bagus, stabil dan selalu membuahkan strike untuk lawan, juga lemparanmu bisa menghancurkan konsen para lawan, apa kamu pikir semuanya cukup?” Inga menggebrak meja lagi.

“Aku tau!teriak Rambu sembari menekan gerahamnya dengan kuat.

“Maju kamu!” tuntut Inga sambil menunjuk wajah Rambu, menurut remaja laki-laki itu sambil berjalan penuh rasa kesal. “Apa maksud jawabanmu? Kamu tersinggung atas ucapan saya?”

“Saya tidak pernah tersinggung atas apa yang orang-orang ucapkan, termasuk ucapan Coach, saya hanya sedang—

“Jangan bawa masalah pribadimu ke dalam tim! Kita nggak butuh masalah kamu di sini!” Inga mendorong dada kanan Rambu. Sementara itu, Antan hanya mengamati sambil sesekali memijat cukang hidungnya.

Rambu tersenyum miring. “Saya tidak pernah meminta orang-orang untuk peduli pada masalah yang saya punya. Saya juga tidak meminta Coach untuk peduli. Saya hanya—” Rambu menggeram sambil memukulkan tangannya ke dinding di sebelahnya.

“Apa yang salah dengan tidak sengaja menghadapkan wajah ke jendela, sementara telingaku mendengarkan semua yang Coach katakan! Apa salahku?! Lagi pula, kematian tetap kematian meski diratapi. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu, aku hanya tidak sengaja menoleh ke arah jendela! Aku tak sengaja melihat Ruma.” bentak Rambu.

Tamparan keras mendarat di wajah Rambu, tangan Inga mencengkram kerah baju Rambu dengan begitu erat hingga menimbulkan wajah Rambu memerah masak. Darah segar di sudut bibir Rambu menyembul tiba-tiba saat Inga kembali memukul wajahnya, kali ini dengan bogem mentah yang bulat. Namun, Rambu tidak berekspresi lebih, ia hanya tersenyum manis. Menjijikkan, batin Inga.

Rakabumi hendak melerai Inga, tetapi ditahan oleh Antan yang sama-sama sudah berdiri. Antan menggelengkan kepalanya dengan ringkas. Melihat itu, Melva dan Alexa menarik tangan Rakabumi.

“Di Korvus kita diajarkan untuk menghormati lawan bicara kita. Terutama pelatih! Kamu berani menaikkan nada suaramu, sama dengan kamu tidak menghormati pelatihmu! Skorsing! Selasa sampai sabtu besok kamu tidak boleh main!”

Inga mendorong tubuh Rambu hingga membentur dinding. Sayang, meski semua menyaksikan bagaimana Rambu diperlakukan tak ada satu pun yang bertindak, bahkan Antan pun tidak melalukan sebuah pembelaan. Ia hanya diam, mengamati dan membiarkan Rambu keluar dari ruang Osis.

“Silakan! Aku memang tengah berpikir bagaimana agar aku tidak main di Pen Base besok. Aku memang berniat keluar dari sini setelah Pen Base selesai. Tapi, belum selesai pun, aku udah menemukan alasan yang besar untuk hengkang!” Rambu hendak membalikkan tubuhnya. Namun, Antan seketika menarik tangan Rambu.

“Ram!” Antan memicing.

“Aku tidak marah saat Coach Inga menyinggung soal kepergian kakek dan nenekku. Aku hanya merasa kenapa, ketika aku berusaha untuk menerima keputusan Tuhan. Orang-orang seakan menyalahkan diamku, orang-orang menggoyahkan rasa percayaku. Aku menahan diri ini dari buruk sangkaku kepada Tuhan. Sebab aku tau, Tuhan tak pernah memberikan kesedihan melebihi kemampuanku! Dan aku percaya, Tuhan menempatkan aku pada titik dimana kebahagiaan dan kesedihan ada di titik yang sama. Jadi, aku tidak marah karena itu.”

Rambu tersenyum. “Terakhir, tanpa perlu diusir, sejak awal aku memang ingin pergi dari sini!! Sejak awal, harusnya aku nggak pernah menginjakkan kaki di Korvus dan mengurangi waktu kebersamaanku dengan Kakung dan Eyang.”

*****

Ruma membersihkan luka di wajah Rambu. UKS menjadi ruang hampa bagi Rambu, dimana rasanya ia tak mampu mengutarakan semua yang ia rasakan bahkan pada Ruma pun, ia tak mampu. Ia hanya berusaha berdialog dalam dzikir di hatinya. Rambu mendaratkan kepalanya di bahu Ruma, ia mendapatkan belaian lembut dari beberapa anak-anak Korvus termasuk Rakabumi—remaja laki-laki itu tak pernah absen pergi dari sisi Rambu meski tugas menuju UN selalu banyak.

“Aku bahagia menjadi bagian dari Korvus, Ma. Tapi, saat latihan mulai berlangsung, satu hal kusadari ….” Rambu mencoba menahan setiap bulir air matanya agar tidak berjatuhan. Sayangnya, ia gagal.

“Satu hal kusadari, aku nggak lagi menemani Eyang Putri makan pinang dan kapur sirih. Aku meninggalkan kakung makan seorang diri di bengkel, membuatnya membawa becak seorang diri. Aku membiarkan kedua pilar bahagiaku sholat berdua.”

Rambu menghela napas. ‘Aku nggak lagi membacakan doa-doa favoritnya Kakung dan Eyang. Aku merasa setahun ini telah mengabaikan kewajibanku dengan sengaja hanya untuk masa depanku, padahal Kakung dan Eyang Putri mengorbankan masa tuanya untukku.”

Ruma mendekap Rambu dengan erat. “Rambu bisa bangkit. Rambu bisa menjadi Rambu yang hebat. Kita akan berjumpa di surga!” katanya dengan tatapan mata sendu.

Ruma mengusap setiap bulir air mata di wajah Rambu. “Kamu nggak mengabaikannya, kok. Kamu justru menjaganya dengan baik. Kamu cucu terbaik!”

“Aku—”

“Aku akan tetap menjadi Ruma-nya Rambu. Titik.” Ruma mengangguk dengan antusias. “Rambu boleh memilih jalan yang ingin Rambu pijak. Mau jadi anak Korvus, siswa biasa aja, atau jadi murid apa adanya, atau jadi panglima dari kerajaanku seperti dulu. Rambu tetap jadi Rambu. Cinta pertama dan terakhir aku!”

Rambu membelai rambut Ruma dengan lembut. “Aku ingin jadi Rambu yang dulu. Rambu yang mencintai Korvus. Sayangnya, aku mulai membenci ingatan itu, Ma. Terasa seperti nggak ada ruang untuk kami, orang-orang kesepian.”

Ruma memeluk tangan Rambu dengan lembut. “Telingaku siap jadi rumahmu, Ram.”

Rakabumi mengepalkan jemarinya, keluar dari UKS sambil mengencangkan otot-otot gerahamnya. “Gua bakal bicara sama Inga, hari ini dia udah keterlaluan!” kata Rakabumi tatkala kakinya melangkah.

“Jangan, nggak perlu. Aku memang sedang ingin marah, padanya … juga pada diriku sendiri.” Rambu menatap lekat-lekat wajah Rakabumi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro