19. Better With You | Rambu & Kadensa
Publikasi 1 Desember 2022
Publikasi ulang 30 Januari 2024
.
.
.
.
Tiga minggu waktu yang Rambu habiskan untuk terus berlatih untuk PBC, juga bekerja keras demi sesuap nasi. Ia bahkan mengurangi banyak aktivitas bermain dengan Ruma. Rutinitasnya sebatas pergi sekolah, belajar, berlatih sampai malam, pulang ke rumah lalu tidur. Tak sempat bersanda gurau atau menyapa Ruma seperti sedia kala. Isi kepala Rambu sesak, hanya ingin berhasil tanpa mengecewakan siapa pun, termasuk sosok Paman, saudara jauh dari Kakung, seseorang yang baru ditemuinya ketika Kakung dan Eyang wafat.
Rambu mengembuskan napasnya, ia kembali pulang sedikit lebih malam dari latihan tempo hari. Berjalan di bawah langit Jakarta yang tidak terlalu gulita. Semilir angin nan dingin membuat hatinya bergetar pilu. Tak ada air mata yang tersisa, Rambu nyaris saja tak ingat kapan terakhir kali ia menangis tersedu.
Tawa kecil menyembul dari bibirnya. “Eyang, Kakung, minggu besok aku akan bertanding kembali memperebutkan gelar juara, aku ingin menghadapi Bantarious dan Raya Barat dengan lebih semangat!” monolognya.
“Aku nyaris aja nggak percaya bisa mengalahkan Galantika di pertandingan kemarin,” cicit Rambu sambil geleng-geleng kepala.
Dari kejauhan terdengar suara lajur kaki seseorang berlari tunggang langgang. Rambu menoleh, mendapati Kadensa menatapnya kalut. Kadensa tetiba memeluk erat tubuh Rambu.
Rambu panik, ia tak tahu harus apa. Kepalanya membeku. Pikirnya, untuk apa Kadensa ada di sini, dan kenapa juga keduanya harus bertemu. Suara tangis Kadensa membuat Rambu tersadar sejenak.
“Kaden?” panggil Rambu dengan suara lirih. Sayangnya, Kadensa hanya menangis sesegukan.
Rambu mengalungkan jaketnya pada tubuh Kadensa yang hanya dibalut tank top berwarna hitam, dan membuat seluruh lekuk tubuhnya tersingkap. Rambu menuntunnya berjalan perlahan-lahan mencari tempat yang layak untuk bicara.
“Lo pergi ke mana aja selama ini? Gua muterin semua tempat latihan anak-anak bisbol tapi nggak ada, lo nggak muncul dengan jersei Korvus kesayangan lo. Kenapa?!” bentak Kadensa dengan ekspresi marah yang membakar semua kapiler di wajahnya.
Rambu tersenyum lembut, ia nyaris tertawa dibuatnya. “Sebulan ini kami pindah hari latihan. Maaf, membuatmu mencariku, lagi pula rasanya untuk apa kamu mencariku?” kata Rambu dengan getar suara kikuk.
“Sebal, kesal, benci, marah, ingin marah!” teriak Kadensa membuat Rambu sedikit terkejut. “Kenapa nggak ngomong, kenapa nggak kasih tau gua! Mungkin gua nggak akan berpikir lo mati muda!” rajuknya.
Rambu hanya memantap, matanya tak beranjak dari setiap inci pandangan mata Kadensa. Dipandang dengan cara lembut demikian, Kadensa justru malah membuat gertakan, ia memukul tubuh Rambu dengan tenaga ala kadarnya seorang gadis remaja. Rambu pun tertawa, ia mengacak-acak rambut Kadensa yang terburai angin malam ini.
“Mendung, ayo pulang. Aku akan mengantarkan kamu pulang!” ajak Rambu sambil mengulurkan tangannya ke hadapan gadis itu.
“Nggak. Nggak mau! Pokoknya nggak mau, di rumah ada Bunda. Males. Bunda jahat!” Kadensa semakin marah, ia makin menjadi-jadi, memukuli tubuh Rambu bahkan hingga membuat jaket yang menyelimuti tubuhnya terlepas.
Rambu lekas mengenakannya kembali pada tubuh Kadensa. “Kadensa …,” panggil Rambu lemah lembut. “A-aku nggak pernah melihat kamu semarah ini, ada yang mau kamu ceritakan sama aku?” tanya Rambu sambil menatap lekat-lekat. Kadensa hanya membatu kelimpungan.
“Aku takut tubuhmu dibuat fantasi oleh orang-orang jahat. Kalau kamu nggak mau aku antar, aku buntuti kamu dari jauh. Akan kupastikan kamu pulang selamat! Kamu tetap harus pulang, meski ibumu jahat, ada orang-orang yang mungkin nggak bisa ketemu ibu mereka lagi.”
“Rambu—” Kadensa menangis lagi. “Aku benci Bunda, dia bikin Ayah dan Mama bercerai. Dia bikin Mama mati gantung diri!”
Rambu kontak memeluk erat tubuh Kadensa yang terguncang. Tangis semakin menguar ke dalam hati Rambu, bersahutan cuit burung gagak hitam di udara. Wajah langit beringsut, memancarkan cahaya gelap yang gulita. Rambu mengais Kadensa, ia membiarkan gadis itu menangis semaunya.
Tangan Kadensa semakin erat memeluk Rambu, remaja laki-laki itu terdengar mengembuskan napasnya dengan berat. “Apa gua berat?” tanya Kadensa dengan lirih.
Rambu menggelengkan kepalanya dengan lembut. “Nggak, aku hanya bingung harus membawamu ke mana? Aku nggak tau rumahmu,” ungkap Rambu sembari tersenyum.
“Gua mau ikut lo ke mana pun!” ucap Kadensa dengan tegas. Namun, pernyataannya malah membuat Rambu tertawa renyah.
Kadensa mampu melihat kini wajah Rambu memerah. Ia membuat sesuatu di balik tulang rusuknya bergetar hebat. Kadensa semakin memeluk erat Rambu saat titik-titik air mata langit jatuh ke bumi.
“Gua mau ikut lo ke mana pun lo pergi, Rambu.” Kadensa berbisik lembut.
“Aku bukan siapa-siapa, aku mungkin … bisa aja berbuat jahat sama kamu, Kadensa.”
Kadensa menggelengkan kepalanya. “Pokoknya mau ikut,” rintih Kadensa sambil menangis.
“Gua … gua nggak punya sandaran, gua juga nggak punya teman yang bisa diajak bicara. Setiap pulang ke rumah, gua cuma bisa liat poster Bantarious berharap kembali ke masa kecil, mungkin gua bakal bilang kalau gua mau ikut Ale ke mana pun dia pergi. Sebagai cinta pertama gua, Rambu. Gua rindu Ale! Tapi, saat ini gua hanya merasakan rindu sama lo, kangen lo, cinta sama lo, gua mau berteman sama lo! Lebih dari ini lebih!”
Rambu terpaku, hujan menenggelamkan kedua tubuh remaja itu. Rambu tidak bisa berkata-kata, amat sangat bingung apa yang harus dirinya lontarkan sebagai jawaban. Kenapa Kadensa mampu mengutarakan kalimat demikian. Bukankah terlalu cepat untuk berpikiran demikian? Rambu bukan siapa-siapa dalam hidup Kadensa, meskipun Rambu juga jatuh cinta padanya.
“Aku akan mengantarmu ke kantor polisi. Agar kamu bisa pulang, jadi biarkan Pak Polisi yang mengantarmu, agar esok atau kapan pun kamu mau, kita bisa bertemu kembali,” bisik Rambu. Kadensa pun menjerit kesakitan, jeritannya membuat batin Rambu turut bersuara. Aku juga ingin bisa mencintaimu lebih dari ini, tapi tugasku masih terlalu banyak.
*****
Angin malam, menenggelamkan Rambu dengan ragam pertanyaan yang tak bisa ia jawab seorang diri. Rambu memandang ke arah langit yang semakin gulita. Suara pintu diketuk membuat Rambu terperanjat. Berjalan Rambu ke arah pintu, mendapati saat ini sudah pukul sebelas malam.
“Ini gua!” Suara Ranah membuat Rambu tersenyum ketika membuka pintu.
“Tuh, bener, kan, lo pasti belum tidur!” cibir Ranah. “Nih, makan malam!”
“Baru selesai nugas,” jawab Rambu sambil manyun.
“Gua nginep di sini, ya? Sekasur sama lo!” katanya sambil tersenyum nakal. “Tenang, gua tidurnya nggak sambil karate, kok!”
“Aku nggak kesepian, lho.” Rambu menyeringai pada Ranah.
Ranah tertawa renyah, pipinya merona. Laki-laki itu membaringkan tubuhnya di dekat Rambu yang duduk bersila. “Baguslah,” katanya.
“Soal Korvus gimana? Latihannya lancar? Ruma bilang lo sibuk banget di sekolah, sampai jarang jajan di kantin, atau nggak ada duit?” Ranah menyunggingkan senyuman kikuk.
“Ada, kok. Cuma karena emang jadwal latihan bertambah dan berubah, jadi sedikit lebih sibuk dari biasanya!” jawab Rambu dengan senyuman kecil.
“Jangan terlalu memaksakan diri sendiri. Gua tau lo capek, apalagi sejak dapat beasiswa untuk tahun ini dan tahun depan, porsi belajar akademik lo juga bertambah, tapi istirahat dan jajan di kantin nggak salah. Jangan sampai lo mengabaikan prioritas lo yang sebenarnya, Ram.”
“Iya, Kak,” sahut Rambu.
“Apalagi lawan lo di pertandingan berikutnya adalan Bantarious dan Raya Barat. Lo nggak mau mengecewakan seseorang di luar sana, 'kan?” tanya Ranah dengan sedikit intonasi mendesak.
Seketika Rambu mengangguk, mengingat betapa rindunya ia pada Kadensa, seseorang yang menarik atensinya terperosok pada setiap rasa sakit hati dan penasaran yang mendalam. Ah, aku bahkan lupa kalau aku pernah bermimpi ingin seperti Ale, Nando bahkan seperti Demaria, sosok paling dipuja-puja anak-anak bisbol PBC.
“Ruma selalu nunggu lo, jadi jangan kecewakan dia, Ram!” lontar Ranah dengan senyuman tegas di bibirnya.
Ah, iya, Ruma juga. Aku pernah mengatakan kalau aku ingin menjadi bagian dari Major League Baseball. Apa aku telah melupakan semuanya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro