Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Better With You | Rambu & Korvus

Publikasi 1 Desember 2022
Publikasi ulang 30 Januari 2024

.
.
.
.

Dibuka dengan takbir, ditutup dengan terkuburnya dua kafan dalam liang lahat. Rambu tidak menunjukkan tanda bahwa ia sedang berduka, tidak menampakkan kekhawatiran bahwa ia tidak lagi punya tempat tinggal juga keluarga. Pikirnya, semua sudah menjadi suratan takdir yang mutlak.

Ranah, Ruma, dan Rambu belum beranjak dari makam. Mereka bertiga masih asyik menikmati aroma daun pandan yang diiris dicampur tujuh bunga segar di atas gundukan tanah bersama dua papan nama tanda pengenal masing-masing.

Ranah mendaratkan tangannya di bahu Rambu. “Menangis aja, wajar ketika kita kehilangan, tangis itu datang. Perasaan itu datang dari hati, makanya bisa dibohongi,” kata Ranah dengan senyuman manis.

“Untuk apa menangis? Sebanyak apa pun air mata yang keluar, nggak akan membuat semua anggota keluargaku hidup lagi.” Rambu tersenyum dengan tegas.

Ranah sadari, betapa kuat apa yang dirinya percayai dan yakini. Betapa kuat apa yang dirinya pegang dengan teguh, bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, bahkan semesta pun akan mati saat waktunya yang telah ditentukan akhirnya datang.

“Aku nggak sedih bukan karena nggak sayang, aku hanya berusaha membuat orang lain nggak khawatir atas apa yang terjadi padaku.” Rambu menatap Ranah tanpa gusar.

Ruma memeluk Rambu dari samping, membiarkan seluruh rasa sakitnya gugur bersama belaian yang Rambu berikan di kepalanya. Hari ini memang sudah petang, bahkan hampir mendekati waktu pukul tujuh malam. Rambu dapat merasakan betapa kecewa Ruma, dengan apa yang terjadi padanya, hanya mungkin ia tak sanggup untuk mengutarakannya. Hanya tangis yang terus Rambu dengar sebagai ungkapan rasa sedih dan kehilangannya.

“Kamu tidur di mana?” tanya Ranah dengan sorot mata sendu, seakan kelopak bunga tanpa siraman air, Ranah terlihat sangat layu.

Rambu tersenyum saat kumandangkan panggilan untuk sembahyang terdengar ke semua plosok pemakanan. “Di rumah. Karena di sanalah aku harus tetap tinggal.”

“Tahlilannya?” tanya Ranah tidak mampu menyembunyikan rasa khawatir dan cemas di kedua bola mata sayunya.

“Untuk hari ini dan esok aku ingin berdoa sendirian. Hari ketiga, aku pasti minta bantuan Paman atau Bibi,” jawab Rambu tersenyum tipis.

“Mereka nggak keberatan?” celetuk Ruma.

“Nggak, justru beliau yang minta.” Rambu tersenyum kecil.

“Oke kelau begitu.” Ranah membelai kembali pusat kepala Rambu.

Jika Ranah bisa mengutuk keras waktu, ia ingin kembali ke waktu sore tadi saat Eyang meninggal dunia. Tak peduli Kakung bilang apa, Ranah ingin Rambu ada di sisinya untuk terakhir kali. Tak perlu ada hal lain untuk ditangisi.

Beberapa waktu lalu, sebelum pemakaman dimulai.

Anak ini yatim piatu, kakek neneknya baru saja meninggal dunia. Anak ini sebatang kara. Tidak ada belas kasihan darimu padanya?” todong papanya Ruma, ia berucap dengan suara baritonnya yang pekat.

Kalau Anda mau mengasihinya, kasihi saja sendirian. Jangan libatkan saya. Rumah ini sudah cukup untuk Rambu juga masa depannya!” kata pria itu angkuh.

Ranah ingin membekuk wajah pria itu, sayangnya Rambu menahan tangannya sambil menggelengkan kepala. Bibir Rambu bergumam kecil, ucapnya, “Jangan, Kak. Biarkan aja, jangan dilawan, batu dan batu hanya akan menghancurkan satu sama lain. Lebih baik kita menerima apa yang ada saat ini, mungkin ucapannya memang benar.”

*****

Pagi menyambut kedatangan Rambu, langit di atap sekolah tampak secerah senyuman Rambu meski ia baru kehilangan dunia pilar dalam hidupnya. Rambu menerima beragam ucapan bela sungkawa, bahkan ia mendapat undangan khusus dari kepala sekolah dan kepela kesiswaan untuk menerima santunan serta beberapa bantuan finansial.

Rambu pada awalnya menolak, sayangnya setelah mendapat segelintir nasehat dan wejangan dari kepala sekolah, Rambu akhirnya melunak. Ia menerimanya dengan tangan terbuka. Sampai di kelas, semua anak-anak pun menyerbu mejanya, memeluk silih bergantian.

“Terima kasih, ya. Aku baik-baik aja, kan, ada kalian yang menemani aku di sini, di rumah juga ada keluarga Ruma. Jadi, jangan khawatir,” ucap Rambu dengan senyuman ramah.

Jauh di dasar hatinya, Rambu ingin menangis sekeras mungkin. Namun, tak ada gunanya. Ia sadar, tangisnya mungkin saja tak tulus, tangisnya barangkali hanya kemunafikan agar orang-orang melihatnya berduka. Rambu takut ia tak benar-benar merasa bahwa kematian ini hadir hanya bentuk takdir mutlak. Rambu takut menghardik keputusan dan kasih sayang Sang Khalik.

Bel istirahat menggema, seperti biasa anak-anak berhamburan ke kantin. Mereka makan bersama Rambu, saling bercengkrama dan menghibur remaja laki-laki itu, meski Rambu benar-benar tidak terlihat kesedihan. Rambu menikmati kebersamaannya, ia makan dengan lahap, bahkan sampai tak terasa bahwa ia sudah bersendawa kecil beberapa kali.

“Kita bersama Rambu,” ucap Ruma yang disetujui semua anak-anak di kelas.

“Iya, kami siap berbagi bahu untuk Rambu!” kata Nayaka dengan semangat.

Tak selang lama, gerombolan anak-anak kelas Arion menyerbu Rambu, memberikan dukungan dan ucapan duka. Tak sedikit yang memberi Rambu bingkisan dan beberapa makanan ringan. Suasana kantin pun menjadi sangat ramai saat Rambu mengalihkan topik dan perhatian orang-orang kepada Korvus dan Pen Baseball Competition yang akan diadakan pada minggu besok. Semua pun menjadi begitu antusias.

Setelah istirahat sejenak di kantin, anak-anak kembali ke kelas dan prosesi ajar mengajar disambung lagi. Bergantiannya bel sampai habis itu, menyambut Rambu untuk tetap semangat melakoni latihan menuju Pen Baseball Competition. Seragam putih abu sudah berganti seragam latihan Korvus seri 14 warna hitam-abu sedikit garis biru langit menyilang, dengan nama dan nomor punggung berwarna putih.

Latihan sore hari ini dimulai, anak-anak begitu antusias, seakan tengah mengalihkan beragam kesedihan yang Rambu sembunyikan.

“Mau mulai latihan, Kapten, atau mau istirahat dulu aja?” tanya Antan dengan tatapan lembut. Pria itu tampak tak ingin membebani Rambu, sebab baru satu hari kakek dan neneknya berpulang.

“Enggak, Coach. Kita udah maju sejauh ini, kita harus menyelesaikan semuanya. Baru perjalanan ini sempurna,” jawab Rambu dengan tegas, senyum gagahnya membuat Antan tersentuh.

“Baiklah. Hari ini kita matangkan strategi kemarin. Besok kita evaluasi dengan Inga dan Raka, juga Sadega, katanya dia mau berkunju ke Korvus,” ucap Antan sembari membelai rambut Rambu dengan mesra.

Latihan berjalan dengan penuh emosional, semangat, dan memang anak-anak tidak pernah mengecewakan siapa pun. Bahkan, nyaris seperti tak ada kabar duka menyapa, Rambu pun tetap mempersembahkan penampilan latihan yang luar biasa bersemangat.

Melihat hal itu sesosok perempuan berambut hitam panjang yang diikar ekor kuda tersenyum. Ia yang berdiri di sebalah kanan Rakabumi itu tampak terpesona. Dokter Syasa namanya.

“Raka, dia terlihat bahagia, ya?” lontar perempuan itu.

Rakabumi mengangguk dengan lembut. “Iya, walau matanya bilang dia terluka dan ingin menangis. Tapi, dia mampu membuat orang-orang yang melihatnya merasa lega,” jawab Rakabumi. “Oh, iya, menu latihan untuk memperbaiki kinerja pasca cedera akan dialihkan ke fisioterapi baru?”

“Iya, mulai besok.”

“Kalau gitu, aku ingin Rambu dapat perhatian lebih, secara psikologis bersamamu, Dokter. Karena mungkin aja ada beberapa hal yang sebenarnya ingin dia bagikan pada seseorang!” kata Rakabumi sambil tersenyum manis.

“Siap, laksanan!” Perempuan dua puluh tujuh tahun itu mengudarakan Ibu jarinya di depan wajah Rakabumi sambil tertawa. “Senior yang satu ini memang perhatian. Jiwa-jiwa kaptennya masih melekat,” bisik Dokter Syasa.

“Jangan dibahas lagi,” cebik Rakabumi. “Rambu lebih cocok, lebih baik juga dariku!”

“Kalian terbaik. Makanya terpilih. Makasih karena meskipun kamu cedera, kamu masih ada untuk Korvus!” Dokter Syasa tersenyum hangat sambil memandang wajah Rakabumi.

“Emm, itu nggak seberapa dibanding Rambu saat ini,” gumam Rakabumi sambil melengos meninggalkan perempuan di belakang punggungnya itu. “Jangan terus membandingkan. Rambu dan aku punya jalan yang berbeda, aku percaya dia bersinar dengan caranya.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro