17. Better With You | Rambu
Publikasi 30 November 2022
Publikasi ulang 30 Januari 2024
.
.
.
.
Pluit panjang mengentikan semua permainan.
“Rambu! FOKUS! Lawanmu di sini! Bukan di bawah kakimu!” panggil Inga dengan tatapan tegas. Alhasil, Rambu pun gelagapan dengan interupsi pelatihnya tersebut.
“Fokus, satu minggu lagi Pen Baseball akan diadakan. Lawan kalian Galantika, Antisadrah, Basebali 09, Orion Jatim, Raya Barat, Timur Laut 17, Bandung Taruna dan lainnya. Kalau kalian nggak fokus, apa yang akan kalian kasih untuk Korvus? Harapan mengalahkan Bantarious?!” Inga menggerutu.
“Semua pelatih dan para senior nggak akan menerima rasa malu dan menyesal kalian. Kami hanya akan menerima rasa bangga dan ambisi kalian! FOMUS!” pekiknya sambil menatap ketus. Sementara itu, Antan hanya tersenyum dari kejauhan.
Rambu lekas memperbaiki segala yang salah dalam dirinya. Namun, ia tidak mampu membuat hatinya tenang. Berulang kali, perhatiannya terpecah menjadi mosaik-mosaik rasa takut yang pekat, menyelak kedua paru-paru juga jantungnya. Rambu menjatuhkan bola di tangannya sambil menghela napas putus asa. Beberapa anak lekas mendekatinya sembari menenangkan Rambu.
“Kamu nggak apa-apa, Rambu?” tanya Melva menatap cemas.
“Dadaku terasa panas,” jawab Rambu sambil menekan dadanya kuat-kuat.
“Kita istrahat dulu,” ujar Rakabumi menggiring anak-anak Korvus ke tepian GB. Ia menyadari latihan hari ini sudah cukup maksimal hanya perlu mematangkan strategi dan kemampuan masing-masing, terutama untuk para pitcher dan runner.
“Baiklah, lima belas menit lagi kita evaluasi. Setelah itu kita pulang,” lanjut Inga sembari merebahkan tubuhnya di atas tanah merah. Inga sebetulnya tak mau mengalah seperti ini, tetapi ia tahu beberapa anak-anak Korvus sudah mencapai batas maskimalnya.
Antan yang menyadari bahwa Inga tidak benar-benar mengalah pada kondisi fisik anak-anak didiknya hanya tersenyum tipis. Mata pria itu teralihkan pada seorang remaja perempuan di depan gerbang. Ruma, ia tampak berlari dengan tergesa-gesa memasuki area GB sambil menangis sesegukan.
Ia menghampiri Rambu juga Rakabumi dan beberapa anak Korvus yang senang istirahat sejenak. Ruma sontak memegangi tangan Rambu, keringat dingin di tangan Ruma membuat Rambu keanehan.
“Kenapa kamu berlari ke sini dengan tangisan seperti itu?” tanya Rambu dengan lembut. Namun, Ruma tak langsung menjawab, ia malah menangis semakin keras sambil geleng-geleng kepala. “Kenapa, Ma?” tanya Rambu bingung.
Rakabumi yang sigap pun sontak mendekat. “Ada apa, Ma?” tanya Rakabumi dengan tatapan mata sama bingungnya dengan Rambu.
“Aku—aku—ah, aku nggak bisa … nggak tau harus bilangnya gimana!” ucap Ruma dengan emosi sambil menarik tubuhnya, memeluk kedua lengannya yang gemetar. Ia memandang iba wajah bingung Rambu.
“Masalah sama Gege?” bisik Rambu, tetapi Ruma tidak menjawab. Gadis itu meremas jersei yang dikenakan Rambu.
“Rambu …, tapi, aku nggak mau Rambu pulang. Tapi, Eyang—”
Rambu sontak melepaskan tangan Ruma, berlari Rambu sekuat tenaga keluar dari GB. Belum Ruma ikut dengan Rambu, sedang Rakabumi langsung menyambar tangan Ruma. Ditatap lembut kedua bola mata adik kelasnya itu. Rakabumi berucap, “Ada masalah dengan orang rumah?”
Ruma menggelengkan kepalanya, ia pun memegangi tangan Rakabumi. “Rambu akan hidup sebatang kara. Kakungnya menyusul Eyang, setengah jam lalu,” jawab Ruma dengan menangis.
“Maksudmu?” tanya Rakabumi sembari mengangkat kepala Ruma.
“Eyangnya … Eyangnya Rambu meninggal dunia pukul setengah empat tadi. Dan tadi … barusan banget jam empat, Kakung menyusulnya. Rambu akan sendirian, Kak Raka!” Ruma berteriak sekuat tenaga.
Rakabumi sontak memeluk Ruma dengan erat, beberapa anak yang mendengar jelas ucapan Ruma mereka menatap sedih, bagaimana tidak sosok kakek dan nenek Rambu yang selalu menyambut hangat jikalau anak-anak izin latihan di depan halaman rumah itu dikabarkan meninggal. Seperti yang orang lain tahu juga, Rambu sudah yatim piatu sejak usia bayi.
Inga dan Antan mendekati Rakabumi, ia pun mengajak anak-anak untuk mengantar Rambu juga Ruma. Sayangnya, Ruma bersikeras agar orang-orang tidak ikut. Ruma mengatakan, bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk datang pada Rambu. Merasa sesuatu ditutupi gadis itu, Antan pun setuju untuk tidak melakukan takziah kepada kakek juga nenek Rambu.
“Rambu pasti terpukul! Sejak pagi dia mengatakan nggak mau berlatih, tapi Korvus akan bertanding, dia ….” Ruma mengembuskan napasnya. “Aku nggak mau Rambu lebih sakit hati.”
“Aku akan antar kamu pulang!” kata Rakabumi dengan wajah kalut. Masak wajahnya menguarkan aura kemarahan dan kesedihan jadi satu. Laki-laki berjalan keluar dari GB bersama Ruma.
*****
Rambu tidak bisa menahan rasa mualnya. Laki-laki itu terus mengeluarkan cairan masam dari lambungnya. Nyaris kolaps setiap kali melihat dua jasad di ruang tengah rumahnya. Rambu tidak bisa berpikir lebih jernih lagi.
Rambu menangis di pelukan Ranah, begitu pula Ruma. Ia harus menelan kenyataan pahit lainnya selain kepergian wali Rambu. Teman baiknya itu mungkin tak akan pernah berada di rumahnya lagi, setelah paman jauh dari Kakung menjemput Rambu untuk tinggal di kediamannya.
Ruma menatap wajah papanya, tetapi tak ada yang berubah. Di antara keyakinan, kekurangan, dan beberapa hal lainnya. Mungkin, kepindahan Rambu tetap menjadi solusi terbaik saat ini.
Pria bertubuh tinggi kurus dengan wajah dipenuhi keriput dan bintik hitam mendekati Rambu. “Paman nggak akan memaksa, kamu boleh pindah kapan aja. Rumah ini, biar kamu singgahi sampai kamu menemukan rumah baru,” katanya.
“Paman?” Rambu menatap dengan wajah bimbang. “Apa itu artinya aku boleh tetap di sini?”
“Paman hanya akan mengunjungi sesekali. Tugas Paman juga banyak, jadi urusi masalah masing-masing. Kamu udah dewasa, 'kan?” tanya pria itu dengan tatapan congkak.
“Iya,” jawab Rambu berbisik lirih.
“Keluarga yang lain nggak akan menunggu untuk mengambil rumah ini. Jadi, hiduplah lebih baik lagi, Basena mungkin terluka kalau anaknya ikutan mati muda!” sindir pria itu tertawa remeh.
“Apa yang kamu butuhkan tinggal kabari Paman, mungkin saudara-saudaramu yang lainnya mau berbela sungkawa. Itupun kalau meraka mengenal dirimu!” Ia kembali tertawa remeh.
Pria itu memegangi bahu Rambu dengan kuat dan membuat Rambu meringis menahan rasa nyeri. Tatapan bengisnya pun membuat Rambu ketakutan. “Jika kakek dan nenekmu punya utang, kamu wajib membayarnya. Paman nggak mau terjerat masalah apa pun!” ucapnya ketus.
“Iya. Rambu mengerti.”
“Jangan berani berbuat hal-hal yang tidak-tidak, setelah ini orang terakhir yang menjadi walimu adalah aku. Jadi, berdamailah. Jangan bebani Pamanmu dengan takdirmu yang buruk!” kata pria itu sembari mendorong bahu kanan Rambu. “Jika iya, mati muda seperti ayahmu, beban kami mungkin akan berkurang!”
Ruma memang menguping sampai hatinya bergejolak marah. Namun, ia tak mau Rambu kesusahan karenanya. Ruma memeluk Rambu dengan erat ketika pria itu melengos pergi dari acara takziah orang-orang. Seperti tak ada kematian siapa pun baginya. Ia benar-benar dingin pada Rambu juga orang-orang sekitar.
Ruma menangis dalam pelukan Rambu, begitu juga Ranah yang turut berduka. Ketikanya duduk di depan pelataran, di bawah bendera kuning yang tertiup angin sambil melihat orang-orang berdatangan untuk mendoakan.
Rambu tak sadar jika Rakabumi ada di seberang rumah, berdiri termenung sambil memakai jersei Korvus. Rakabumi melengos sambil menahan perasaan amburadulnya. Ia ingin datang, sayangnya, Ruma bilang Rambu mungkin akan terluka ketika sadarkan diri jikalau ia harusnya masih latihan bersama anak-anak Korvus.
Rambu menundukkan kepalanya. “Aku egois, harusnya aku tetap di rumah, tapi aku juga ingin ada untuk Korvus, aku merasa kalau Korvus mungkin lebih membutuhkan diriku!” bisiknya.
“Kakung sama Eyang bangga karena lo bisa berjalan di atas jalan lo sendiri. Jadi, kepergian mereka pun nggak harus terbebani dengan beragam kesepian dan kesendirian lo. Karena lo … bersama Korvus.” Ranah mendaratkan tangannya di kepala Rambu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro