16. Better With You | Rambu & Ruma
Publikasi 08 November 2022
Publikasi ulang 30 Januari 2024
.
.
.
.
Napas memburu, lidahnya tak mampu lagi berhenti bergerak membasahi rongga mulutnya yang kering di tengah cuaca terik siang bolong hari sabtu ini. Basah dan gerah sudah melekat di tubuh, bahkan saat angin berembus pun sudah tidak lagi ada definisi 'angin yang menyegarkan badan'. Hanya lengket yang terasa mendominasi.
Rambu membuang ludahnya sembarang. Remaja laki-laki itu baru saja selesai latihan melakukan wind-up, posisi pitching sebelum melemparkan bola ke arah lawan sekaligus catcher.
Kepala Rambu disentuh seseorang yang juga sama kewalahan dengan napasnya. “Gila, Coach Inga gila! Masa iya gua disuruh—” Napasnya kabur tak terarah, “Hah, capek!” cicit Alexa sembari memijat tengkuknya.
“Disuruh sprint lagi? Sabar, itu nggak seberapa! Bahu aku sakit, sampai kek mau lepas karena terus-menerus melakukan latihan melempar!” Rambu ikut berkicau dengan napas yang sudah agaknya membaik.
“Ah, gila mentang-mentang minggu besok ada matchday bareng Antisadrah. Gua pengin banget nyumpal hinaan anak-anak Galantika yang bilang kita anak bawang, bau kencur pula. Dasar, kata-katanya bikin sakit telinga!”
Rambu mencubit paha Alexa. “Jangan bilang gitu, nanti ada yang dengar. Mati kamu ditendang dari Korvus kena adu mulut sama mereka yang jelas-jelas senior kita!” ketus Rambu dengan tatapan dalam.
“Kalau bukan karena gua emang suka bisbol karena nonton anime dan ingin sekolah ke Jepang, ogah gua latihan kayak gini,” ucap Alexa sambil ketawa-ketiwi.
“Besok minggu kita latihan lagi, ya?” Alexa menjeda tawanya, lalu tertawa lagi. “Capek banget, Ram!”
“Tapi, Adinda nonton, 'kan?” goda Rambu sambil menarik tangan Alexa bergelayut di bahunya. “Jangan malu-maluin, Xa! Adinda, lho, Adinda!”
“Ah, bikin semangat aja sih, lo. Dah ah, tuh udah ada sinyal buat kumpul lagi!” Alexa mengangkat tubuh Rambu sekuat tenaga. Kedua remaja laki-laki itu lekas kembali ke arena GR dengan senyum ceria.
Belum Rambu dan anak-anak lainnya mendaratkan bokong di atas tanah merah GR, Inga yang sudah menatap tegas lekas memerintah anak-anak untuk kembali ke tempat masing-masing, seperti sebelumnya. Semua siap di posisi, Rambu yang berdiri dengan kaki kokoh tampak tegang. Masalahnya, jika gagal mereka mungkin akan latihan sampai malam hari.
Kaki kanan Rambu terangkat, bersamaan dengan ancang-ancangnya sebelum melakukan lemparan bola. Matanya dengan fokus terarah pada kedua bola mata Melva di balik pelindung wajah yang dikenakannya. Rambu yang sigap pun melemparkan bola tersebut.
“STRIKE!”
Bola dikembalikan kepada Rambu, dan tiga strike menjadi awal anak bersemangat untuk lebih keras lagi dalam berlatih. Melihat lemparan Rambu selalu membuat para pemukul kelimpungan, alhasil mereka melakukan strike and foul.
Rambu bisa sedikit mengembuskan napas lega dan santainya saat posisi permainan saat ini menyerang. Ia bisa beristirahat, kini tugasnya Arion dan lainnya sebagai pemain lapis dua, yang main. Rambu duduk manis, berkonsentrasi memperhatikan teman-temannya berlatih dengan semangat meskipun wajahnya sudah mengatakan lelah bukan kepalang. Pasalnya sudah sejak pukul depalan pagi mereka latihan, istrahat hanya untuk minum seteguk, berjamaah dzuhur dan ashar barusan.
Nahasnya, ini pun belum melakukan evakuasi juga sebagainya. Rambu pikir ini akan jadi latihan terpanjangnya sejak masuk Korvus—setelah kekalahan kemarin di pen Base.
“Inga pasti suka anak itu,” ucap Antan yang hari ini kebetulan bisa datang setelah ia kembali dari Kuala Lumpur pasca perjalanan bisnis.
“Iya, kurasa.” Raka tersenyum.
“Sayangnya Raka juga suka Rambu,” bisik Antan dengan tatapan mata mengerucut pada senyum Raka yang tiba-tiba hilang.
“Kalau Coach yang bilang kesannya jadi serem! Raka suka Rambu karena dia kayak Sadega. Beneran main pakai hati, bukan karena hanya ingin eksis.”
“Emm, jangan berharap apa pun dengan adanya Pen Base. PBITSA juga nggak akan memberikan apa pun untuk kita. Kita main bisbol atau beberapa sekolah yang memfokuskan diri di sofbol, kita nggak akan dapat apa pun, meskipun kita juga—”
“Iya, Raka paham. Meski begitu Coach dan Coach Inga juga beberapa senior yang lebih dulu aktif di PBC, kalian nggak pernah menyerah membantu kami untuk dapat beasiswa kuliah, kalian benar-benar membantu kami. Jadi, kadang, aku sendiri merasa kalau mungkin di samping karena olahraga, kita berharap bisa kuliah di kampus impian.”
Raka menggulirkan ekor matanya pada Antan. “Hanya nggak ingin menyerah, sih. Walaupun, ya, mungkin sebagiannya jadi sia-sia.
Antan tersenyum samar. “Nggak pernah ada yang sia-sia, sekalipun kamu membuat kesalahan. Pada akhirnya kesalahan itu membuatmu belajar untuk nggak mendapatkan kegagalan lebih telak lagi sebelumnya,” bisik Antan.
“Emm, makasih nasehatnya. Cukup menarik!” gumam Rakabumi sembari menyeringai.
*****
Ruma memijat lembut punggung Rambu yang terlihat bengkak. Panas dipermukaan kulitnya pun membuat Ruma waspada. Namun, kata Ranah itu hal wajar. Pertama dulu saat semua orang berlatih keras dan push-rank ada yang ototnya kejang, ada yang ini anu, itu dan sebagainya. Beruntungnya, otot Rambu baik-baik saja, bahunya terlihat bengkak karena pegal. Kalau ototnya sudah diurut dengan cara sesuai esok membaik.
“Kak Ranah, besok boleh pinjam sepeda nggak? Aku capek banget jalan kaki, betisku seperti buah paya, membesar begini!” celetuk Rambu sambil menikmati cireng isi ayam pedas.
“Pakailah, mau pakai motor juga nggak masalah. Kan, gua udah pakai mobil,” kata Ranah dengan santai.
“Kalau motor aku nggak punya SIM. Pinjam sepeda aja, biar bisa boncengin Ruma ke sekolah juga. Kasihan dia jalan kaki kalau pergi bareng aku,” rintih Rambu beringsut.
“Ada stang bannya, emang?” Ruma menatap Ranah dengan lipatan dahi yang rapat.
“Nggak ada. Lo duduk di depan aja, biar romantis,” goda Ranah sambil menyentil bibir manyun Ruma.
“Nggak usah bawa sepeda, Rambu. Aku nggak niat romatis-romantisan sama kamu,” ucap Ruma dengan wajah sewot.
“Semenjak Kak Gege hadir, aku mendapati Ruma seperti gadis pada umumnya. Lebih menjaga jarak dengan lawan jenis,” puji Rambu membuat Ruma blushing bukan main.
“Enggak, bukan gitu. Aku cuma nggak mau kamu makin terbebani karena aku. Btw, berat badan aku naik lima kilo setelah deket sama Kak Gege karena sering makan mie ayam di kantin dua porsi. Mana kamu latihan sering sampai malam, kamu boleh pergi pakai sepeda Kak Ranah, nanti aku pergi nebeng mobilnya dia,” seloroh Ruma menjulurkan lidahnya ke arah Ranah.
“Sorry, mobil gua nggak nerima tumpangan,” cibir Ranah sambil manyun.
Ruma berdecak sebal. “Ya udah, naik mobil Yang Mulia, paling uang bensin Kakak dipotong!” sindir Ruma ikutan manyun tidak mau kalah.
Rambu tertawa kecil, matanya terlihat jelalatan pada piring cireng yang Ranah sajikan. “Nebeng Kak Gege aja. Bukannya dia sering ke sini pagi-pagi?” lontar Rambu. “Lumayan, bisa buat bahan PDKT lebih.”
“Emm, otaknya Rambu cerdas!” sahut Ranah tertawa renyah.
“Kakak tidak berguna!” Ruma menyunggingkan bibirnya sebal.
“Eh, Ma, ini sisa dua. Buat aku, ya? Boleh?” tanya Rambu antusias. Ruma mengangguk pelan.
“Iya, boleh. Makan yang banyak. Aku tambah gendut, kamu malah makin kurus kayak tengkorak hidup tau!” Ruma mengacak-acak rambut hitam tebal Rambu.
“Kak Ranah, goreng lagi cirengnya! Kita harus bungkus buat Eyang dan Kakung!” teriak Ruma sambil menatap riang pada Rambu yang begitu menikmati kudapan malamnya.
“Oke!“ balas Ranah tak kalah nyaringnya.
“Oh, iya, Ram. Sebenarnya aku nggak pernah keberatan jalan ke sekolah bareng kamu. Soalnya, aku emang lebih suka jalan kaki bareng kamu. Jadi, bisa cerita banyak hal,” kata Ruma.
“Boleh, kok, yang tadi anggap aja lagi bercanda. Aku juga tau kamu masih canggung sama Kak Gege.“ Rambu menyikut rusuk Ruma, ia tersenyum kecil.
“Ma, kalau nanti aku pergi lebih dulu dari Kakung dan Eyang, tolong jaga mereka, ya? Pastikan mereka selalu beribadah meski di atas kasur.”
Ruma mengerutkan wajahnya. “Apaan, sih! Nggak jelas banget!” pekiknya. “Jangan bilang gitu, Rambu! Aku takut!”
“Aku mimpi gigiku tanggal semua,” kata Rambu sendu.
“Itu cuma mimpi. Setan hanya membuatmu waswas. Tuhan akan selalu melindungi kalian,” kata Ruma sambil mengusap-usap punggung Rambu.
“Ayo makan lagi, biar kamu sehat selalu, biar bisa menemani Kakung dan Eyang senam pagi, pergi ke kajian, berjamaah dan makan-makan bersama,” ucap Ruma lembut sambil menguapkan sepotong cireng sisa gigitannya ke mulut Rambu.
“Meski aku dan Gege punya hubungan spesial, nggak ada yang bisa membuat aku berhenti sayang pada Rambu!” Senyum hangat Ruma membuat Rambu menitikan air mata.
“Makasih, Ruma.” Bibir Rambu terkatup saat Ruma menyeka bulir air matanya yang jatuh di pipi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro