15. Better With You | Rambu & Kadensa
Publikasi 04 November 2022
Publikasi ulang Januari 2024
.
.
.
.
Rambu tidak menyangka akan bercerita dan menghabiskan waktu bersama Kadensa. Berkisah mengenai bisbol dan Bantarious. Rambu menatap Kadensa dengan tatapan nanar.
“Apa kamu tertarik pada Ale? Aku melihat setiap kali kamu mengatakan namanya, matamu berbinar begitu indah.” Rambu berujar dengan lembut. Kadensa mengangguk pelan.
“Kamu ternyata lebih terlihat keren ketika sedang ramah begini!” sindir Rambu padanya.
“Dah, gua cuma buang-buang waktu deket lo. Sampai ketemu lagi di Pen Baseball. Semoga Galantika sama Korvus bisa tatap muka lagi. Gua jamin, Galantika yang bakal menang!” tandan Kadensa dengan tatapan tajam.
Rambu tersenyum manis. Ia benar-benar mengingatkannya pada Ruma. Mereka terlihat begitu seiras.
Di jam yang sama, Ruma dan Gege sedang menonton pertandingan bulu tangkis, Indonesia-Taiwan, sambil menunggu Ranah bersiap. Hari ini Ranah dan Gege ada acara di kampus untuk menyambut campus expo.
Gege memandangi wajah Ruma dari samping. Bagaimana anak itu begitu cantik meski berpakaian seperti laki-laki, bahkan duduknya tampak kaku. Gege mendaratkan tangannya di pusat kepala Ruma.
“Kamu serius banget nontonnya?” lontar Gege tertawa renyah.
“Iya, karena aku suka. Kadang gitu bukan? Kalau kita suka sesuatu sulit rasanya buat nggak memusatkan atensi kita pada hal itu?”
“Bener, kok.”
“Kayak Rambu, sejak kecil dia suka bisbol. Dia benar-benar bekerja keras untuk mempelajari semua hal yang Kak Ranah ajarkan,” kata Ruma.
“Seberapa cinta dan sayang Ruma sama Rambu? Sebagai seorang teman, sahabat ataupun lainnya?” ujar Gege tersenyum mesra.
“Rambu bagiku lebih dari itu, aku menyayanginya seperti aku menyayangi Kak Ranah. Kami bisa bersama, kami menghabiskan waktu masa kecil penuh dengan beragam cerita, sebanyak itu pula perasaan sayangku dan cintaku padanya,” jawab Ruma.
Gege membelai pusat kepala Ruma dengan lembut. “Emm, udah seharusnya. Kalian memang harus saling menyayangi dan melindungi!”
“Tapi aku juga sayang Kakak. Bukan sebagai bagian dari masa depanku, tapi seseorang yang mungkin akan bersamaku di masa ini atau di masa depan.” Ruma memandang wajah Gege dengan lekat-lekat.
*****
Hari berganti terasa begitu cepat, hari ini Rambu harus pergi ke bank untuk mengumpulkan uang demi masa tuanya kelak bersama Kakung dan Eyang, harapannya.
Rambu berjalan dengan cukup santai, karena hari ini sekolah hanya sampai setengah hari karena ada beberapa hal yang tidak memungkinkan para murid berada di sekolah sebab renovasi bagian lapangan upacara dan ruang konseling juga laboratorium bahasa dan komputer.
Berpisah dengan Ruma sejak di sekolah karena anak itu ada janjian nonton film di bioskop beberapa teman kelas, hari ini Rambu merasa cukup sengangg. Ia juga merasa bisa menikmati waktu pulangnya untuk mengeluh pada langit tentang rasa lelahnya tanpa harus Ruma dengar.
Rambu mengunjungi sebuah mini market untuk membeli beberapa camilan dan kebutuhan popok Eyang dan beberapa perlengkapan rumah tangga sebagai persediaan. Namun, ia harus dikejutkan dengan keberadaan Kadensa dengan seragam putihnya yang selalu menerawang juga rok abu-abunya yang super pendek.
Rambu mencoba bersikap baik dan ramah pada Kadensa yang ditemuinya di salah satu rak mi instan.
“Lo bolos?” tanya Kadensa dengan tatapan memicing.
“Nggak. Sekolahku hanya setengah hari karena ada beberapa hal yang harus dikerjakan pihak sekolah mengenai renovasi infrastruktur. Kamu sendiri?” jelas Rambu sembari tersenyum ramah.
“Sekolah, tapi kabur pas jam istirahat,” ujar Kadensa merasa santai saja.
“Eh, emangnya nggak akan jadi masalah kalau kamu kabur kayak gitu, Kadensa?” Rambu mencoba menelisik wajah gadis itu.
Kadensa menggelengkan kepalanya sambil melengos, melambaikan tangannya pada Rambu. “Udah biasa!” jawabnya.
Rambu selalu merasa aneh, kenapa anak itu terlihat begitu kesepian. Apakah ada hal yang begitu membebani dirinya? Rambu mengekor Kadensa, keduanya berjalan bersama sampai ke kasir.
“Punyamu mau sekalian aku bayar?” tanya Rambu melirik Kadensa yang hanya membeli sebungkus keripik singkong.
“Nggak usah. Gua nggak kekurangan uang, kok!” katanya sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompet kecil berwarna ungu tua.
Rambu tersenyum.
Rambu dan Kadensa keluar bersamaan, keduanya sesekali saling melempar pertanyaan tapi tak pernah sampai pada obrolan hangat. Rambu pikir, Kadensa terlalu unik.
“Oh, iya, aku masih penasaran kenapa kamu tertarik dengan Bantarious juga Ale? Apa yang mengesankan dari keduanya?” tanya Rambu memirsa wajah gadis itu dari samping.
“Apa, ya? Emang penting buat lo?” Kadensa tertawa remeh. “Inget, ya, lo itu stranger!”
Rambu balas meremehkan, berdeham dengan kasar sambil menyeringai, ia mengembuskan napasnya dengan cepat lalu menatap tajam pada Kadensa. “Apa iya stranger? Rasanya kita selalu bertemu di tempat yang sama, bukan sekali dua kali,” desisnya.
“Peduli amat lo sama gua?” todong Kadensa memicing.
“Nggak, sih, cuma ya aku heran aja, maksudku, seseorang mengagumi Bantarious udah pasti karena Ale. Tahun itu menjadi tahun paling dikenang dalam sejarah masa-masa putih abu bagi banyak siswa.”
“Gua cuma anak kecil kesepian yang beruntung bisa nonton bisbol secara gratis dari seseorang bernama Onadio Ale Erlangga, waktu gua maling mangga di rumah kenalannya. Dan pertandingan pertama yang gua tonton itu Bantarious lawan Galantika. Saat itu umur gua sekitar lima tahun, emm ... itu kenangan paling gua ingat.”
“Gua jatuh cinta sama Ale, karena gua pikir dia itu orang yang baik, sosok yang bisa gua jadikan kakak, tapi sampai dewasa gua nggak pernah ketemu dia lagi, apalagi sejak berakhirnya kejayaan Bantarious setelah kalah dari Antisadrah. Tahun itu jadi pukulan telak paling menyakitkan bagi seluruh pendukung Bantarious,” jelas Kadensa. “Ditambah Galantika juga mulai berkembang setelah pergantian pelatih.”
“Maaf menyela, lalu apa hubungannya dengan Galantika, kenapa kamu bersekolah di sana jika kamu mendukung Bantarious?” tanya Rambu tersenyum canggung.
“Terus, lo sendiri, kenapa milih sekolah di mana anak-anak Korvus tumbuh, sementara lo juga begitu membanggakan Bantarious?” balas Kadensa dengan tatapan tajam nan dingin.
“Karena aku nggak pintar dalam hal akademik, aku juga bukan orang kaya yang bisa masuk SMA 97 dengan mudah, apalagi harus bayar uang kursi duluan. Aku nggak seperti itu. Aku juga nggak punya orang dalam, meskipun seseorang yang kukenal sekolah di sana.”
“Sama. Gua juga gitu. Gua nggak pintar, urusan nyogok mungkin kecil buat bokap gua. Tapi bukan itu … karena gua ingin diakui seseorang, makanya gua milih SMA 002. Di mana di sana seseorang yang gua cintai hidup dan tertawa bahagia.”
“Kalau kamu mau menangis, aku siap mendengarkan,” bisik Rambu.
Kadensa menitikan air mata sambil menikmati keripik singkongnya. Gadis itu sesekali menarik ingusnya kembali ke dalam hidung. “Gua pernah ingin terus mengikuti langkahnya Ale untuk sekolah di SMA 97 walaupun ya lo tau sendiri kalau gua sekolah di sana juga dia cuma sebatas alumnus. Tapi gua ingin di sana, tapi Ayah mengajar di SMA 002, lo tau sendiri kalau 002 bukan hanya SMA dan SMK, tapi ada TK, SD juga SMP-nya,” gumam Kadensa.
“Gua ingin selalu berjalan di balik punggung Ayah,” katanya. “Meskipun saat gua SMP Ayah berhenti ngajar di sana dan memutuskan untuk menjadi seorang pengusaha. Gua tetap di sana berharap bisa diakui Ayah.”
“Bukankah beruntung bisa bertemu dengan Ale, Kadensa? Tahun lalu, ketika aku baru masuk Korvus, aku bertemu Radian, second base andalan Bantarious di GBK saat Indonesia menjamu Vietnam di Asian Soccer Champ. Aku melihatnya dan itu menyenangkan, dia bahkan menandatangani jaket Korvus milikku. Katanya, dulu jaman dia masih di Bantarious, nggak ada tim namanya Korvus, aku bilang, tim kami baru terbentuk bahkan belum terdaftar di PBITSA. Dia tertawa.”
“Apa itu menyenangkan?”
“Lumayan.”
Kadensa menatap ke arah langit. “Apa lo berharap mengulang waktu itu?” tanyanya.
“Nggak. Aku nggak ingin mengulangnya. Kalau bisa memilih, rasanya aku malah nggak mau bertemunya saat itu, karena aku masih anak baru. Aku lebih memilih bertemu sekarang ketika aku udah resmi jadi anggota PBITSA.”
“Semoga kesampaian,” tandas Kadensa sambil berjalan meninggalkan Rambu.
“Aku juga berharap bertemu Ale lagi, dan mengajaknya bermain catch and throw!” seru Rambu dengan ceria.
“Kalian pernah ketemu?”
“Udah aku katakan bukan, anak-anak seusia kita pasti pernah bertemu dengannya walau sekali!” jawab Rambu. “Dia selalu mengunjungi panti asuhan tempatku tinggal dulu, karena Hira juga berasal dari panti asuhan itu.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro