Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Better With You | Rambu & Kadensa

Publikasi 1 November 2022
Publikasi ulang Januari 2024

.
.
.
.

“Mungkin ini tak tepat menggambarkan perasaanku. Namun, rinduku terus membisikan kalimat, bertemu denganmu sungguh candu.”

-Bukan dari Rambu.

🍂

Rintik hujan bukan hanya membasahi bumi rasa-rasanya. Rambu yang sedang  berdiri di belakang punggung Ruma pun kuyup karenanya. Sepagi ini sudah hujan, padahal belum sampai gerbang sekolah. Rambu merapikan rambutnya yang kusut dan klepek.

Kepala Rambu menuduk lemas, laki-laki itu tampak murung saat Ruma pindah tempat berteduh jadi di sebelahnya.

“Rambu boring ah, masa kamu kehujanan aku malah kering-kering aja di bawah pohon.” Ruma protes, dahan pohon mangga di depan kantor kelurahan yang cukup lebat tersebut memang menghalau hujan untuk dirinya, tetapi tak kucup lebar untuk memayungi Rambu. Ruma bete dibuatnya. Andai kantor sudah dibuka, bisa saja berteduh di dalam. Sayangnya, kantor buka jam sembilan pagi, dan ini masih pukul enam lebih tiga puluh lima menit.

“Nggak apa. Aku hanya nggak mau pakaianmu menerawang. Sementara aku nggak bawa jaket, Ma,” jawab Rambu dengan senyuman manis.

“Emm, aku selalu pakai kaos lagi nggak hanya pakai daleman. Jadi, jangan risau. Baju dan daleman yang aku pakai selalu warna putih!” Ruma menatap kesal.

“Aku tetap nggak mau bentuk tubuhmu tercetak karena seragammu kuyup. Aku nggak mau, Ma!” tutur Rambu menatap tegas.

Ruma pun kemudian menurut, gadis itu diam di belakang punggung Rambu. Ruma tiba-tiba saja mendesah kecil, mendengar itu Rambu menoleh sambil mengernyit lembut. Rambu bertanya, “Kenapa Ma, ada yang salah?”

“Mungkin harusnya aku yang tanya, kamu akhir-akhir ini murung, Rambu. Kamu punya masalah sama Kakung dan Eyang? Atau masalah dengan Bantarious?”

Rambu mengembuskan napasnya sambil mendongak, jakunnya terlihat naik dan turun pelan. Ruma mendaratkan tangannya di bahu Rambu dengan senyum yang hangat.

“Dengan Korvus. Apa aku nggak cocok menjadi pasangan catch and throw Melva? Menurutmu apa tampangku cupuk? Apa wajahku nggak menunjukkan seberapa besar minatku untuk Korvus?” tanya Rambu dengan tatapan sedih.

“Makanya kamu ada di Korvus, kamu itu hebat. Kamu menyelesaikan tes fisik dengan baik, kamu menyelesaikan semua menu latihan dengan baik, meski melewatkan satu kesempatan menang di Pen kemarin,” jawab Ruma lemah lambut.

“Dengar, ya! Kamu nggak cupuk, Rambu. Kamu itu tulus, kamu orang yang baik dan perhatian. Kelembutanmu membuatmu terlihat sempurna. Hingga orang-orang sirik padamu. Mereka mengatakan sesuatu yang nggak benar tentangmu.”

Rambu menatap sedih. Sakit menjalar ke seluruh sendinya, perkataan Ruma terdengar seperti obat pengar untuknya. Rambu mendaratkan kepalanya di batang pohon sambil menahan agar air matanya tak tumpah.

“Jika ada yang bilang begitu lagi, biar aku hajar dia. Brengsek!” kata Ruma dengan tatapan kesal.

“Kamu masih ingat sosok asing yang aku ceritakan padamu bahwa dia selalu ada setiap kali Korvus latihan?” Ruma mengangguk ingat.

“Dia mengatakan bahwa aku nggak cocok ada di Bantarious, bukan karena cupuk, dia bilang aku kesepian.” Rambu memilin bibirnya.

“Kamu jawab apa?”

“Entah aku merasa justru aku ingin terus mendengar itu, rasanya semangatku berapi-api karenanya.Rambu nyengir.

“Apa anak yang besar tanpa kedua orang tua mastilah jadi ikon kesepian dan kurang kasih sayang?” tanya Rambu menatap bego. “Dia bilang, mungkin aku bukan hadir untuk Korvus, tapi hanya untuk memenuhi hasrat sepiku memiliki kehidupan seperti anak-anak normal.”

“Kamu normal. Kamu manusia, lahir dari rahim ibumu, dibentuk dari sperma ayahmu! Hei, sungguh aku ingin mencekiknya!” maki Ruma sembari menendang batang pohon mangga.

“Apa aku layak ada di Korvus?” Rambu menatap ngeyel.

Ruma menarik kerah seragam Rambu dengan erat. Ruma menatap tajam, embusan napas marahnya dapat Rambu rasakan nyaris kuat menerpa wajah dinginnya. Ruma mendesis.

“Layak. Jadilah diri kamu sendiri, Ram. Dan bilang sama dia mau itu Korvus, Bantarious, atau tim mana pun. Rambu atau bukan. Rambu tetap Rambu. Lagian kamu ngapain ngeladenin dia?”

“Aku ingin bertemu dia lagi,” jawab Rambu lirih.

Ruma terhenyak beberapa saat. “Ranah membuat pilihan salah jika kamu berpikir kamu nggak layak hanya karena ucapan orang aneh seperti orang yang kamu temui. Ranah percaya, dia bangga melihatmu!”

“Jangan menangis, hujan bukan datang untuk membuat tangismu tampak hilang. Ingat, Ranah bilang, sebelum pelangi datang hujan turun. Walaupun pelangi itu ingkar janji, setidaknya matahari tetap terbit setiap hari. Tanpa peduli, entah hujan bercanda dengan petir sepanjang malam, atau hujan yang bersenandung kecil sepanjang fajar. Matahari tetap menghibur bumi. Dan kamu hadir untuk menghibur Kakung dan Eyang, juga aku serta para seniormu di Korvus. Bukan untuk orang gila sepetinya.”

*****

Rambu tertidur pulas di perpustakaan setelah menghabiskan waktu hampir satu jam lari dan push-up karena terlambat masuk, padahal itu salah hujan. Sedangkan Ruma, hanya dihukum operasi semut dan membersihkan halaman kantin dan lapangan.

Air liur Rambu melintasi permukaan tangannya. Lembab yang hangat. Radian yang menikmati pemandangan lucu itu tersenyum. Mungkin, Rambu kurang tidur, ia yang bekerja sepanjang waktu tak sadar jika ia sudah berlaku toxic pada dirinya.

“Apa kamu udah makan siang?” tanya Inga menatap Rambu yang sembari tidur membuka perlahan-lahan kelopak matanya.

Inga yang asyik memandang sontak terperanjat. Ia buru-buru membuang wajahnya dengan sok dingin. “Ilermu, tumpah sampai bikin benua!” pekik Radian.

“Eh, Coach. Kapan Coach di sini? Ah, ya ampun ilerku pasti membuat Kakak jijik.”

Inga tertawa. “Aku ada sejak tadi pagi.”

Rambu menurut saja saat Inga membawa dirinya pada sebuah obrolan, sementara kaki laki-laki itu bergerak malas. Rambu tidak benar-benar tidur sejak ia datang ke perpustakaan sesaat setelah dihukum dan Bu Janeeta menolaknya dan anak-anak yang telat masuk kelas Biologi.

Rambu hanya sedang mengingat sosok yang sudah hampir satu semester ini menghantui malam-malam butanya. Rambu pikir, selama enam waktu bertemu ada sekitar delapan kali wajahnya saling bertatap. Anehnya, Rambu merasa candu, merasa rindu bila sikap galaknya itu tidak ia jumpai. Ternyata malah benar-benar ketiduran.

Ah, sungguh. Aku ingin pergi dari keburukan pikiranku, tentang perasaanku padanya. Pada seorang gadis manis pemilik suara sangar.

“Rambu, suka roti kacang?”

Rambu menyunggingkan senyum miring. “Suka. Roti kacang merah, kan? Tapi, aku nggak mau dihukum lagi. Lima menit lagi bel, kayaknya aku nggak bisa ngobrol lama.” Rambu berpaling, hendak bangkit sayangnya sebuah kertas Inga simpan di atas meja.


Selembar kertas ditentengnya. “Pak Nazrin nggak akan masuk. Pelajaran Geometri digeser ke hari senin depan,” sindir Inga keki.

“Oh, begitu. Tapi ini dikumpulkan kapan?”

“Hari ini.” Inga membalas enteng. “Karena kalau dibiarkan, pasti kabur. Duduk dan kerjakan di sini.”

Rambu yang hendak berjingkat, sontak ia duduk kembali. Pandangan matanya sederhana, ia mampu membuat sosok Inga bertahan untuk tetap di perpustakaan menunggu dirinya bangun.

“Kamu tadi sarapan?” tanya Inga. “Kalau nggak, ayo makan rotinya. Perpustakaan hari kosong. Kayaknya Bu Sekar lupa keliling buat memastikan rak-rak buku rapi,” kata Inga sembari mengangkat kedua kakinya naik ke kursi.

Coach sengaja?” Rambu melengo dengan sikap Inga, yang nampak tidak sekalem biasanya.

“Karena kita akan libur panjang. Aku ingin memastikan apa kamu menerima barang dari kakak-kakakmu?” ujar Inga sambil menekan intonasi suaranya.

“Dapat. Aku bahkan mendapat menu latihan paling banyak.”

Inga menyodorkan beberapa CD dan DVD kepada Rambu. Setiap permukaan piringannya terdapat tanggal dan nama yang Rambu tidak tahui. Inga memandang Rambu.

“Ini dariku, kamu bisa menontonnya di rumah Raka, kalian bisa menonton bersama dan belajar tentang bisbol bersama.”

“Kenapa?”

“Memang, kita nggak punya harapan. Kita hanya bermain-main, tapi aku tetap berharap PBC berlanjut sampai ke titik puncak, di mana orang-orang mengenal kita sebagai pemain bisbol. Aku berharap kalian tetap berlatih dan Korvus akan tetap hidup seperti Bantarious.”

“Aku menghargai dirimu dan mimpimu menjadi bintangnya Korvus juga PBC. Kamu boleh menulis,” imbuh Inga menatap saksama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro