12. Better With You | Rambu & Kadensa
Publikasi 24 Oktober 2022
Publikasi ulang Januari 2024
.
.
.
.
Sepatu basah kuyup mengotori lantai rumah mewah dengan tiga lantai menjulang. Rumah bergaya minimalis dengan sebuah pagar putih keabu-abuan mengelilingi rumah tersebut. Gadis yang dengan santainya membuka semua kain yang melekat di tubuhnya di depan ruang televisi itu hanya menyisakan pakaian dalamnya berupa tank top berwarna fucia dan celana pendek berbahan karet berwarna hitam.
Seorang anak laki-laki sekitaran usia tiga belas tahun menghampiri. “Kakak, kebiasaanmu …!” tegur anak itu.
Kadensa menatap jenuh. “Gua nggak peduli sama bacotan anak kecil kayak lo! Udah gua bilang jangan sok peduli!”
“Tapi aku memang peduli. Karena aku butuh kamu sebagai kakakku!”
Anak laki-laki itu mendecih kemudian memungut seragam putih Kadensa lalu dilemparkan ke wajah gadis itu. “Pantas Bunda dan Ayah nggak sayang padamu, karena kamu memang menyebalkan.”
“Dengar, ya, Agnyana. Gua nggak perduli sama ocehan lo!” kata Kadensa sambil menempeleng kepala anak laki-laki itu.
“Kakak, Abang, kenapa ribut?!” teriak sesorang wanita dari balik lemari buku dan pajangan pernak-pernik oleh-oleh dari berbagai negara dengan suara lembut nan ayu.
Kadensa menggulirkan bola matanya sebal. Ditabrak tubuh anak laki-laki di depannya itu sambil ia dorong sekuat tenaga. Sebuah tamparan kontak mendarat di wajah Kadensa. Wanita yang sebelumnya berteriak dengan anggun, menatap dengan tajam.
“Berani kamu tampar adik kamu sendiri?”
“Kenapa? Kenapa Bunda marah? Agnyana bukan anaknya Bunda. Dia adik aku, jadi aku lebih berhak!” bentak Kadensa dengan wajah mengamuk.
“Ayahmu bisa marah lagi, nanti dia kurung kamu seperti waktu itu, Kakak. Bunda sayang Kakak, sudah seperti anak sendiri,” ucap wanita itu mencoba meraih tangan Kadensa, sayangnya gadis itu buru-buru menghindar.
“Ckkk, aku nggak butuh kasih sayang Bunda.” Kadensa melengos sambil menentang seragamnya, bahkan ia membuka pakaian dalamnya di depan ibu sambungnya tersebut, sedangkan Agnyana hanya duduk termenung sambil mengusap bokongnya.
“Bunda itu jahat amat sangat jahat!” kata Kadensa sambil mendesis.
“Bunda berusaha mencintai Kadensa sepenuh hati. Mencintai Agnyana, dan Kahiyang, juga Adena, Bunda sayang kalian, kenapa Kakak selalu mengatakan hal itu berulang kali?” tanya Wanita itu sambil menangis.
“Mereka saudara dan saudariku, anaknya Ayah. Bukan anaknya Bunda! Bunda memang jahat pada aku dan keluargaku!” Kadensa berteriak gila sambil memukul-mukul kepalanya.
Agnyana yang melihat kakaknya bertindak demikian, memilih pergi dari sana dan memasuki kamarnya. Sementara ibu sambung keduanya hanya diam menangis sambil berdiri.
“Berhenti ikut campur! Orang jahat akan selalu jahat!” Kadensa berteriak marah. Napasnya berhamburan mencabik-cabik kedua telinga wanita yang tengah menangis itu.
“Kakak, Ayah nanti marah!” ucap wanita itu dengan geram. Ia memeluk Kadensa yang meronta-ronta. “Bunda sayang Kakak.”
“Aku benci Bunda. Karena Bunda, aku nggak bisa bertemu lagi dengan orang yang mencintaiku sepenuh hati!”
Kadensa beranjak dari pelukan ibu sambungnya. Gadis itu menutup tubuhnya dengan kedua tangan yang melingkar dengan gemetaran.
Di waktu yang tak jauh berbeda, Ruma dan Rambu tengah makan bersama. Hujan begini, Ruma selalu menyempatkan diri main ke rumah Rambu hanya untuk berbagi minuman akar secang. Ruma memijat punggung Eyang Putri sementara Rambu memijat kaki Kakung.
Kakung menggulirkan pandangannya pada Ruma yang menahan tubuhnya dengan lutut. Tampak lutut gadis itu mulai memerah. Kakung pun berdeham, “Ruma tidak pegal, Sayangku?”
Ruma sontak terkejut lantas tersenyum sambil meninggikan lehernya. Ruma menjawab, “Nggak kok, Kakung.” Tangan Ruma masih memijat punggung istri dari pria tua itu.
“Duduk saja. Eyang Putri sudah merasa baikan.”
Rambu menyandarkan kepalanya pada dinding saat Kakung menyuruhnya istirahat. Keempatnya asyik bercanda, hujan belum junjung reda sementara waktu maghrib mulai tiba. Ruma melirik ke arah Rambu.
“Rambu aku pulang, ya? Udah mau maghrib, nanti Kak Ranah ngomel.” Ruma pamit.
Diantarkan Rambu sampai ke depan gerbang rumahnya membuat Ruma sebal. Pasalnya, ia mau jajan dulu ke warung maklor Kang Edi, eh malah disuruh segera pulang karena seharian main belum mandi sore.
“Hujan makan maklor enak, Rambu. Ah, kalau udah masuk rumah susah lagi keluarnya. Mana besok hari minggu, Mama pasti suruh bangun pagi dan datang tepat waktu sebelum doa dimulai.”
“Kalau Ruma ketemu G-dragon di fanmeet, mending jadi orang pertama atau terakhir?” tanya Rambu sambil tersenyum.
“Terakhir. Biar bisa salaman lebih lama.”
“Yakin nggak mau jadi orang pertama yang GD lihat, Ma?”
“Eh?” Ruma melirik kaget.
“Yakin nggak mau doanya didengar lebih dulu, Ma?”
“Ah, iya, iya.” Ruma tersenyum bahagia selepas Rambu mengingatkannya pada sebuah doa yang selalu Ruma baca.
Aku akan menjadi juara kelas, juara umum, jadi lulusan terbaik sekolah dan siap menjadi polwan. Aku ingin selalu menjaga Rambu dan kedua orang tercintanya.
Sesampainya di rumah, Rambu lekas bersih-bersih sebelum berjama'ah bersama Eyang dan Kakung. Saat remaja laki-laki itu baru saja hendak menghamparkan sajadah.
“Rambu sayang Ruma?” tanya Kakung sembari tersenyum. “Doakan, berdoa pada pemilik hatinya. Kelak, jika diaamiinkan, kalian bisa saling memiliki dalam keridhoan-Nya.”
Rambu memgambuskan napasnya, ada yang memberontak. Dulu mengatakan bahwa Ruma adalah anak perempuan yang dicintainya, adalah hal termudah baginya. Entah, kenapa detik ini juga justru nama perempuan lain yang ingin Rambu cintai. Rambu mengembuskan napasnya sambil memohon perlindungan pada Tuhan, takut-takut setan menggodanya dan menjerumuskan pikirannya pada hal yang diharamkan untuknya, apalagi sore tadi ia benar-benar melihat lekuk tubuh perempuan itu dengan jelas di kedua matanya.
Rambu merebahkan tubuh selepas berdoa di waktu magrib dan Isya juga selapas berbincang dan membantu Kakung menyiapkan tempat tidur untuk Eyang Putri. Pelajaran untuk besok sudah disiapkan, dan pekerjaan rumah sesudah selesai. Besok tinggal menunggu pengumuman kelulusan hasil tes tertulis.
Rambu memejamkan matanya, padahal jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Di rumah, Ruma sedang berbincang dengan Ranah mengenai doa pagi di hari minggu, sayangnya Ranah bilang ia mungkin akan datang terlambat sebab akan pergi ke suatu tempat dulu. Saat Ruma tanya, ia hanya menyatakan akan bertemu anak-anak Korvus.
“Eh, Ma, kelanjutan kisah cinta kamu sama Gege gimana?” tanya Ranah dengan wajah antusias.
“Apaan, sih?” jawab Ruma dengan bibir manyun.
“Gua yakin dia pasti lulus.”
“Kak Ranah!” teriak Ruma dengan wajah memerah. Ia melemparkan bantal di tangannya.
“Gege baik kok. Dia ulet walaupun otaknya kadang bebal. Gua udah kasih izin, jadi tinggal jalan!” sindir Ranah terkikik geli.
“Emm.”
Ruma mengangguk pelan. Ia pergi ke kamar untuk mengemas buku pelajaran besok. Sedangkan Ranah, ia bersanda gurau dengan kedua orang tuanya. Ranah memandang wajah ibunya.
“Ma, Ma, besok anak Mama mau jalan sama cowok loh?” tanya Ranah dengan senyum semringah.
“Apa?” Wanita itu mengangkat kedua bahunya sambil menaikkan kedua alis matanya.
“KAK RANAH! AKU GEPLAK NIH!” teriak Ruma dari dalam kamarnya. Terdengar suaranya bergetar menahan tawa.
“Cowoknya teman sekelas Ranah. Orangnya baik, kok. Dia juga kerja sambil kuliah. Papa nggak apa-apa, kan?” lontar Ranah pada ayahnya sambil tersenyum lebar, memandang saksama wajah ayahnya yang begitu berwibawa.
“Maunya apa?” tanya pria itu sambil mengerling.
“Nggak apa-apa. Cuma ngasih tau doang. Ranah cuma mau jalan-jalan sama Rhea, Papa kasih pinjem mobil, dong,” pinta Ranah sambil tertawa cengengesan.
“Nggak boleh. Jalannya tetap pakai motor. Papa nggak suka kamu berduan dalam mobil atau sejenisnya.”
Ranah memutar bola matanya sambil berpura-pura tidak tahu. Remaja laki-laki itu mengerucutkan bibirnya.
“Emm cuma nonton.”
Pria itu mengangguk sederhana. “Tetap nggak boleh. Ruma juga, nggak akan pernah pergi naik mobil sama siapa pun kecuali Papa, Mama, dan Ranah.”
“Ya udah, ganti motor Ranah. Biar kalau jalan nggak malu!” protesnya.
“Nabung, dong. Papa waktu ngajak mamamu jalan juga nabung dulu, ada usaha! Jangan effortless dong!” sindir Papa membuat Ranah beringsut.
Ranah melengos ke kamarnya selepas berbicara dengan sang ayah. Nyebelin.
“Emang mau motor yang kayak apa, Ran?” lontar Papa membuat Ranah membelalak.
Sementara itu, saat semua sedang bahagia. Kadensa justru bermuram durja, memandang sebuah poster tim bisbol paling tenar di seluruh penjuru negeri. Namun, ada satu yang hilang dari pandangannya. Seseorang yang ia cintai dan menjadi cinta pertama dalam hidupnya.
“Aku rindu padamu,” lirih Kadensa sesaat sebelum ia mengacak-acak meja belajarnya.
🍂
Yey, bab 12 lagi. Kira-kira siapa ya yang Kaden lihat? Kaden ini sebenernya siapa? Yang Rambu pikirkan kira-kira siapa? Nah, lho kira-kira bakal jadi ending yang gimana, ya??
Cus komen, share dan vote kalau suka;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro