Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Better With You | Rambu & Ruma

Publikasi 15 Oktober 2022
Publikasi ulang Januari 2024

.
.
.
.

Masih bercerita kisah kemarin, Rambu rasa tidak ada yang lebih menyenangkan dari bercerita tentang Korvus yang benar-benar membuatnya tergila-gila. Kumandang panggilan kalbu bergema, dua shaf terisi penuh dari penjaga sekolah, anak Bantarious dan beberapa orang yang biasa berdagang di depan sekolah.

Rambu mengenakan sepatunya, tak sadar jika seseorang pun duduk di sebelahnya sambil mengikat tali sepatu. Rambut wolf cut itu membuat Rambu terperangah.

“Pulang ke daerah mana?” tanya Sadega dengan pandangan mata teduh.

“A-anu … Kak, ke daerah Sekar Anggrek.” Rambu gelagapan.

“Sekar Anggrek yang dekat gudang jasa ekspedisi itu, ya?” tanya Sadega dengan kernyitan halus di dahinya. “Ayo, aku antar kebetulan aku juga mau jemput sepupuku les bahasa.”

“Nggak apa-apa, Kak. Rambu biasanya pulang sendiri. Bukannya Kak Sadega datang untuk bertemu Kak Rakabumi?” balas Rambu lemah lembut.

“Senang bisa lihat Rambu di Korvus. Semoga bisa terpilih jadi pemain terbaik. Jangan lupa semangat!” seru Sadega dengan antusias, wajah tampannya pun berbuah kemerahan.

“Kak Sadega, masih berencana kuliah di Jepang?” tanya Rambu menatap bego. “Sekarang lagi mempersiapkan ujian N3, kan, ya?”

Sadega sontak menutup wajahnya dengan tangan malu. Laki-laki yang Rambu tahu penggemar anime dan doyan nonton AKB48 itu tertawa.

“Entahlah,” jawab Sadega terlihat kikuk.

Rambu mengerutkan wajahnya sambil menatap dalam-dalam wajah Sadega. Rambu pun kontak memekik, “Kenapa?”

“Aku berpikir kenapa pula aku ke sana hanya untuk bisbol,” kata Sadega menatap payah.

Rambu tiba-tiba saja mendesah pelan, ia menggulingkan kedua bola matanya pada sepatu. Pandangan matanya berubah menjadi sayu lagi. Tampak seperti beberapa saat lalu saat Sadega bicara soal perkembangan bisbol di Indonesia yang masih belum ada kemajuan.

“Lho, kok melow lagi?” tanya Sadega sambil terkikik pelan. “Kepikiran soal PBC? Jadikan olahraga hiburan aja.”

“Kalimat Kakak mengingatkan aku pada seseorang. Dia yang selalu bilang, apa untuk bisbol aku hidup, sambil ketawa kayak orang gila,” ungkap Rambu emosional. Wajahnya terlihat bergelut dengan hening.

Sadega ikut menundukkan kepalanya, ia tidak berkomentar atas apa yang didengarnya. Menggali luka lama rasanya bukan hal yang baik untuk mood saat ini. Apalagi baru selesai berdoa, tak mau rasanya menodai doa indah yang barusan diaamiini para malaikat.

“Cerita tentang anak-anak bisbol memang nggak pernah ada habisnya. Kamu pun bisa menjadi seseorang yang mengukir nama seperti mereka.” Sadega tertawa.

“Sepertinya hanya akan jadi sia-sia.” Senyuman Rambu terukit samar.

“Ayo, pulang. Kita jajan dulu, bicara denganmu membuatku ingin makan yang manis-manis, soalnya kamu manis,” canda Sadega sambil menarik lengan bahu Rambu dengan erat.

“Aku nggak tertarik sama cowok,” kelakar Rambu.

“Raka juga pernah berbicara seperti itu, tapi di Korvus dia bisa ketawa. Katanya yang dicari bukan hanya bisa main lempar tangkap atau urusan mukul bola. Ini semua kerja sama,” kata Sadega mendesah. “Ayo, jajan.”

“Nggak usah ngerepotin, Ga. Rambu balik sama gua,” lontar Rakabumi yang tiba-tiba muncul di balik pilar halaman masjid sekolah.

“Beneran?” kata Rakabumi tidak percaya. “Jangan bilang mau ngajak sparing karena Rambu dipuji sama Inga karena dia bisa mencetak 87 strike out pas latihan tadi.”

“Iya … enggaklah, orang tetangga. Rumah kita deketan. Cuma beda RT doang, Ga.” Rakabumi mencebik Sadega yang menatapnya tidak yakin.

Sadega kontak tersenyum. “Oke, kalau gitu. Jangan ngisengin anak orang, ya?” sindirnya sembari menilik tajam. “Gua balik duluan, kayaknya sepupu gua bentar lagi keluar kelas, duluan, ya.” Sadega membelai punggung Rambu dengan lembut, yang diperlakukan demikian hanya melongo.

“Siap, Bos. Titip salam untuk Aileen bilangin kalau Rakabumi DM di Twitter, kok belum dibales,” lontar Rakabumi sok ganteng.

“Yang harus lo taklukkan itu ininya!” Sadega menyentuhkan jemarinya ke dada. Hal itu membuat Rakabumi mengangguk pelan sebab sesulit itu mendekati sepupu kesayangan Sadega yang satu itu.

“Oke, gua balik duluan, ya. Bawa motornya jangan ngebut, hari Sabtu besok Rambu harus tes fisik!” todong Sadega menatap jeli.

“Iya, Gaga! Bawel!” cicit Rakabumi menatap malas.

“Hati-hati Kak Sadega.” Rambu melambaikan tangannya. Anak itu benar-benar membuat Sadega tersenyum lepas, manisnya lebih kompleks dari rasa gula-gula.

*****

Selepas rutinitas sekolah, Rambu segera mengunjungi bengkel. Kebetulannya, Ranah sedang ganti ban di sana. Melihat itu, keduanya pun berbincang untuk beberapa waktu sampai Rambu selesai bekerja.

Ranah menghentikan motornya di depan sebuah warung makan dua puluh empat jam. Jam saat ini menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Ranah pikir mengajak makan Rambu sebelum anak itu nugas adalah hal yang oke.

“Kak Ranah mau makan di sini dulu?” tanya Rambu memirsa wajah Ranah dengan senyum sederhana.

Ranah mengangguk. “Pulangnya kita bungkus untuk Kakung dan Eyang,” jawab Ranah ringkas.

“Jangan merepotkan, tadi udah dijajanin makan siang sama Ruma. Sekarang makan malam, jangan deh!” pinta Rambu dengan wajah memelas.

“Dih, pede banget. Tadi jajan untuk lo, sekarang untuk kakek dan nenek lo,” ucap Ranah sambil menjulurkan lidahnya.

Kedua remaja laki-laki itu memasuki warung makan yang ramai dikunjungi orang-orang. Semerbak aroma plecing kangkung dan ikan bakar membuat Ranah gembira, ia dengan cermat mencari meja kosong. Tampak jauh di sudut ruang ada dua kursi kosong meski di pinggirnya ada sepasang kekasih tengah makan.

“Ayo, ikut!” interupsi Ranah pada Rambu. Mengekor ia pada Ranah yang berjalan dengan santainya.

“Misi, ini kosong?” tanya Ranah pada pelanggan yang sedang menikmati ayam pop dan nasi daun jeruk. Jakunnya sempat turun karena tergugah selera. Si pelanggan itu pun mengangguk sambil mempersilakan Ranah dan Rambu.

Duduk keduanya seraya membolak balik menu makanan malam yang akan disantapnya. Ranah menggulirkan matanya, melihat Rambu yang bergerilya mengamati keadaan. Ranah berucap, “Rambu mau makan apa? Nanti kita bungkus untuk Ruma apa, ya? Rambu pilihkan makanan untuk Eyang dan Kakung, ya?”

Rambu tersenyum. “Ayam bakar, boleh?”

“Oke, oke, ide bagus. Gua juga suka. Itu makanan kesukaan si kampret Ruma.” Ranah tertawa tak lama seorang pria datang untuk menulis pesanan keduanya.

Setelah dua puluh lima menit menunggu pesanan ayam bakar, ikan gurame terbang dan plecing kangkung serta sayur asem datang. Ranah memirsa wajah Rambu yang tengah berdoa dengan khusyuk di depan santapannya.

“Makan yang banyak. Besok harus lulus tes fisik. Kalau gagal, jangan harap Korvus bisa menyaingi Bantarious!” kekeuh Ranah membusungkan dada, secara ia adalah alumni Bantarious yang cukup terkenal di PBC sebagai catcher bermata elang.

“Untuk beberapa saat aku nggak semangat, Kak. Tapi sekarang, aku ingin ke PBC lagi, ingin merasakan angin JIBS yang bergelora!” kata Rambu semangat.

Ranah tersenyum manis. “Ayo, makan. Seorang pitcher nggak boleh letoy.” Ranah tersipu-sipu. “Karena kami sayang Bantarious, kami harus menemukan rival yang kayak.”

Rambu manggut-manggut semangat, ia juga setuju dengan apa yang Ranah ucapkan. Rambu semakin terpacu untuk menjadi satu dari sekian atlet PBC terbaik. Kini, ia punya dua resolusi yang harus jadi kaleidoskop hidupnya di masa SMA. Menjadi pemain terbaik Korvus dan menjadi rival terbaik Bantarious.

“Makasih ya, Kak Ranah. Aku mencintai hidupku berkatmu,” kata Rambu.

“Iya, itu salah satu jalan yang Tuhan bagi untuk gua dan untuk lo.” Ranah mengusap lembut kepala Rambu seraya menerbitkan senyum tulusnya. “Kayaknya gua harus lebih rajin ke gereja supaya Tuhan lebih sering dengar doa gua tentang lo!” gumam Ranah.

“Doa apa?”

“Doa supaya lo hidup bahagia bareng gua, Ruma sama kakek nenek lo.” Ranah tersenyum manis.


💌


Checking your emoji setelah baca bab ini:( klik disini yaoke; '((((


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro