08. Better With You | Rambu & Ruma
Publikasi 15 Oktober 2022
Publikasi ulang Januari 2024
.
.
.
.
“Hidup itu asam basa garam. Karena perjuangan tanpa ada pengorbanan dan kehilangan tak akan pernah ada keikhlasan.”
-Bentala Ranah Dikara
🍂
Gege baru saja tiba di depan rumah Ranah, di mana saat itu Ruma tengah berlatih lempar tangkap bola voli bersama Rambu.
Gege memandang Ruma dengan tatapan mendalam. Bibirnya sesekali terangkat dengan lebar. Kedua bola matanya yang tajam tetapi teduh dengan bulu mata lentik membuatnya tampak ganteng ketika berdiam diri seperti demikian. Rona wajah tersipunya pun diam-diam mengalihkan perhatian Ruma.
“KAK RANAH, KAK GEGE NUNGGU TUH!” Ruma berteriak kesal sambil membuang bola di tangannya. Ia berjalan ke arah rumah.
Rambu menoleh pada sosok laki-laki yang bersandar di tubuh motor sport dekat gerbang. Melihatnya membuat Gege melangkah ke arah Rambu.
“Adik gua pemain voli di sekolahnya. Lo main di posisi apa?” tanya Gege sambil memungut bola.
“Aku bukan anak voli. Aku ikut ekskul bisbol di sekolah.” Rambu tersenyum canggung.
Gege melempar bola di tangannya ke arah Rambu. Laki-laki itu bertanya, “Anak Korvus Timur, dong?” Rambu menganggukkan kepalanya.
“Gimana hubungan kalian sama anak-anak PBC sebagai anggota baru PBITSA?” tanya Gege memandang saksama. Bibirnya tersenyum cukup meremehkan.
“Iya, nggak ada yang istimewa,” jawab Rambu dengan tatapan tidak tertarik. Ia melirik ke arah lain dengan mimik kesal.
“Lo kapten? Sebagai pitcher apa lo merasa diri lo kayak untuk PBC?” todong Gege mendekatkan wajahnya ke dekat kepala Rambu.
“Kakak tau banyak soal anggota Pen Baseball?” tanya Rambu sambil mengernyit. “Kalau begitu harusnya jawaban itu nggak perlu dijawab.”
“Kenapa?” telisik Gege.
“Semua yang menjadi bagian dari PBC adalah mereka yang layak. Itu nggak bisa didekatkan,” kata Rambu sambil mendesis.
“Pen Baseball pernah jadi acara paling ditunggu. Heboh pada masanya. Jadi, siapa yang nggak tau. Tapi, cuma musiman.” Gege mencela.
Rambu menghela napasnya. “Ya, tapi itu tetap menyenangkan.”
“Dari pandangan gua, tahun depan minatnya pasti semakin berkurang. Gua yakin, sekarang aja udah kelihatan. Dengan kurangnya dukungan, minat, dan fasilitas apa yang anak-anak pecinta olahraga bisbol harapkan?”
“Emm, setiap orang punya kegilaannya sendiri. Jangan mengumpat orang yang punya ambisi, Ge.” Ranah mendaratkan tangannya di bahu Gege.
“Cabut, yok, kampus dah rame kata anak-anak,” ajak Ranah menarik langkah kaki Gege mendekati motor.
“Dah, kita pamit, ya!” kata Ranah cekikikan.
Ruma di depan pintu rumah hanya berdiri kaku dengan tangan bersidekap. Melihat Gege dan Rambu dadanya cenat-cenut tak karuan. Gadis tomboi itu pun kembali memasuki rumah.
“Ruma kita pergi, ya?” teriak Gege membuat kaki Ruma lemas hingga terhuyung menghantam dinding.
Ah, kenapa sejak kemarin aku memikirkannya?
“Ram, aku mau tidur siang. Kamu pulang aja!” pekik Ruma sembari melambaikan tangannya.
Helaan napas Rambu tak beraturan. Laki-laki itu duduk di kursi kayu sambil memandang langit. Pikirannya kacau sejak Gege pergi dengan Ranah. Ia tidak bisa menyangkal, semua ucapan Gege masuk akal.
*****
Galantika Ground, Rambu memasuki kawasan tersebut. Lapangan tanah kosong dengan plat berupa gundukan batu bata putih tempat anak-anak Galantika berlatih.
Terlihat Rakabumi dan Sadega tengah mengayunkan tongkat kayu di tangannya. Kedua bola mata cokelatnya Rakabumi bergulir ke arah Rambu.
“Lo datang lebih cepat dari yang gua kira,” celotehnya.
“Aku hanya nggak sengaja lewat. Kebetulan hari ini Korvus juga nggak ada latihan.” Rambu menjawab dengan senyuman kecil.
“Mau latihan?” tanya Sadega sambil memperlihatkan tongkat di tangannya ke arah Rambu. “Bolanya ada di keranjang.”
“Maaf.”
“Kenapa? Apa pertandingan kemarin bikin lo semakin putus asa?” todong Rakabumi sambil mendorong bahu Rambu dengan tongkatnya.
“Seseorang bilang bukankah sia-sia aja kita di sini tanpa dukungan? Seperti apakah ada artinya apa yang kita lakukan ini?” Rambu menatap dengan sendu.
“Kamu memikirkan kelanjutan dari ekskul ini? Anak-anak Galantika nggak memikirkan itu, katanya sekadar untuk mengisi waktu masa SMA.” Sadega terkikik geli. Sebagai mantan pemain Korvus yang kini menaungi Galantika sebagai asisten pinjaman, Sadega pikir Rambu itu unik.
“Emang apa yang lo harapkan dengan adanya Pen Baseball atau turnamen-turnamen olehraga yang ada? Mimpi jadi atlet profesional?” Rakabumi tertawa.
“Bukan gitu, Kak. Emang apa yang kita usahakan nggak akan jadi apa-apa?” Rambu cemberut.
“Emang nggak akan jadi apa-apa, Ram. Daripada ini tongkat mengayun ke muka orang apalagi dipakai buat sajam pas tawuran, mending dipakai buat mukul bola. Syukur-syukur home run.”
Rambu menarik napasnya. “Aku akan pulang.”
“Ram, kita emang nggak akan jadi siapa-siapa dengan bisbol ini. Asal lo sadari, dengan adanya Pen Baseball kita bisa saling kenal. Terutama sama anak-anak yang menganggap bisbol itu olahraga keren. Salah satunya lo!” Rakabumi tersenyum.
Rambu mengembuskan napasnya dengan berat. Terdengar suara ayunan tongkat kayu di tangannya dan membuat Rambu berhenti melangkah. Laki-laki itu menoleh pada Rakabumi dan Sadega.
“Dan gua merasa beruntung bisa sekolah di tempat dimana bisbol diangap keren juga. Meskipun pihak sekolah selalu ngomel karena kita nggak pernah nyumbang apa pun.” Rakabumi berseloroh.
“Aku akan kembali besok untuk menonton Galantika latihan,” kata Rambu.
Ia menyambung langkahnya. Kicau burung di waktu senja membuatnya merasa sepi. Langit yang semakin menguning pekat menemani kemelut di dalam dadanya. Ada setitik ragu dalam dirinya. Akan dibawa ke mana mimpinya? Mimpi menjadi pemain bisbol profesional? Rambu pikir hal itu terlalu naif.
Senandung kecil membuat Rambu menoleh ke sumber suara. Tampak seorang gadis dengan kucir rambut ekor kuda duduk di tembok bangunan kumuh yang terlihat hitam sisa-sisa kebakaran, kelihatannya.
Untuk beberapa jenak Rambu memandangnya sampai gadis itu beranjak turun dari tembok dengan melompat. Ia menatap wajah Rambu dengan tatapan dingin.
“Oi, anak Korvus, punya nyali juga main ke wilayah Galantika?” teriaknya sambil mengaitkan kedua tangannya ke tengkuk.
“Harusnya aku yang bilang, punya nyali juga Galantika ingin berlatih dengan Sadega, yang pernah didapuk sebagai asisten pelatih di Korvus.” Rambu tersenyum kecil.
“Lo sama Sadega dan Rakabumi deket?”
“Nggak juga.”
“Oh, iya, nama lo? Gua lupa!” katanya berdecak ketus.
“Emang itu penting?” Rambu menanyai dengan ringkas. “Menurutku, Kadensa bukan orang yang senang berkenalan dengan orang asing.” Ia menyeringai.
“Terus gimana gua bisa dukung lo di Pen kalau gua nggak tau nama kapten Korvus ini?” Gadis itu mendelik tatapan kesal. “Nama lo!”
“Rambu.” Ia tersenyum kikuk. “Kamu pendukung Galantika, untuk apa mendukung aku anak Korvus?”
Kadensa melirik ke langit sambil memanyunkan bibirnya. “Nggak semua orang baik memang baik. Bisa jadi dia manfaatin lo demi keuntungannya sendiri. Lo nggak takut dia diam-diam menggali kelemahan lo?”
Rambu memandang wajahnya yang benar-benar cantik meskipun dia dekil dan terlihat berantakan dengan gaya pakaiannya—lengan dilipat, seragam putih keluar dari rok yang super pendek, kaos kaki setinggi betis, sepatu warna-warni.
“Itu hak dia. Lagi pula, apa yang bisa didapatkan dari bisbol ini? Selain dari latihan, latihan, latihan tanpa ada kemenangan yang berarti?” kata Rambu mengangkat bahu.
“Sumpah, lo nggak cocok jadi kapten.”
“Iya, banyak yang bilang, kok. Soalnya kapten terbaik cuma Ale dan Nando.” Rambu cekikikan. “Dari mereka PBC tetap berdiri. Setelah itu susah mencari sosok seperti Ale, khususnya.”
Kadensa menarik kerah seragam Rambu. Kedua iris matanya yang temaram, menatap berang selayaknya ia ingin menerkam Rambu seketika. Gadis itu mengerutkan dahinya.
“Terus buat apa lo masih berdiam diri dengan status kapten yang lo punya?” bentaknya. “Kalau lo pikir ini main-main kenapa lo masih berdiam diri untuk Korvus? Kenapa nggak sepak bola yang dianggap raja di negeri ini?”
“Karena aku menemukan arti persahabatan dan kebersamaan ketika aku di Korvus. Aku bahkan lupa apa itu kesepian karena mereka tetap memelukku meskipun aku gagal membawa kemenangan untuk mereka!” katanya.
Rambu memegangi kedua pergelangan tangan Kadensa. Akan tetapi, gadis itu malah semakin mencekik kerah seragam Rambu dengan tatapan berang.
“Apa yang kamu cari dari aku?” tanya Rambu. “Matamu selalu mengatakan sesuatu setiap kali kata bisbol, Bantarious, dan Ale terucap. Apa? Apa yang kamu cari dari aku?” pekik Rambu.
“Ckk!”
“Aku nggak layak. Aku emang nggak cocok jadi apa pun. Setidaknya aku berusaha untuk tetap bermain, nyaris narsis … ambisiku ingin seperti Ale dan Nando.”
Kadensa melepaskan tangannya dari kerah seragam Rambu. Gadis itu berjalan meninggalkan Rambu yang berdiri bingung. Kenapa pula harus marah, pikirnya.
“Gua tunggu lo di PBC … tahun depan!” pekik Kadensa sambil mengacungkan ibu jarinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro