07. Better With You | Rambu & Ruma
Publikasi 13 Oktober 2022
Publikasi ulang Januari 2024
.
.
.
.
Rambu sempat tak bisa duduk tenang dari sore sampai malam ini. Padahal sudah pukul dua dini hari, dia pikir mengadu pada Sang Pencipta adalah hal terbaiknya. Namun, sekelebat senyum manis milik seorang bernama Kadensa itu benar-benar mengacaukan kekhusyukan doanya. Rambu melentangkan tubuhnya di kasur tanpa ranjang setelah merapikan tempatnya berdoa barusan. Cowok itu tampak terus bergumul dengan isi pikirannya.
Kenapa aku tersenyum padanya? Kenapa aku menganggap perkataannya serius? Padahal aku tau, bagaimana anak-anak Galantika yang besar mulut biasa bicara.
Kedua kelopak matanya terketup rapat. Remaja laki-laki itu pun perlahan-lahan tertidur dengan suara dengkur yang renyah.
Fajar menyingkab pagi yang indah, matahari bersinar begitu terik. Semalam, benar-benar menjadi waktu tidur paling buruk baginya. Namun, ia tetap tak boleh selengah itu. Ruma adalah seseorang yang akan terus berada dalam hatinya setiap waktu. Tak ada alasan kenapa ia juga harus memikirkan perempuan lainnya? Meskipun Ruma dan dirinya berbeda keyakinan. Rambu tetap menyayanginya lebih.
Sarapan pagi kali ini hanya sekepal nasi sisa kemarin dan sepotong tempe dingin yang masih menyisakan rasa gurih. Rambu tampak bahagia, walau perutnya tidak, Kakung dengan jelas dapat merasakan radar itu dari cucunya tersebut. Kakung yang sedang berdiri sambil menyisir rambut putih Eyang Putri yang duduk di kursi roda menatap dengan tulus.
“Rambu terlihat senang dan semangat. Ada yang menyenangkan untuk dibagi pada Kakung dan Eyang Putri pagi ini?” tanya Kakung dengan lembut.
“Iya, tentu. Siapa nggak bahagia jika kabar olahraga bisbol akan mulai dikembangkan di Indonesia? Meskipun minatnya sangat tipis karena biayanya mahal!” jawab Rambu sambil berseru lincah.
“Apa itu tentang Korvus, Ram?” Kakung mendorong kursi roda Eyang Putri mendekati Rambu.
“Semua tim. Tapi, aku pikir mungkin sepak bola akan selalu di hati semua orang. Begitu, kan, Kakung?” jawab Rambu masih semangat.
“Kenapa?” Kakung tersenyum bijak.
“Karena memang itu topik utamanya. Bersama segelas kopi dan kacang tanah, orang-orang menghabiskan waktunya bersama-sama.”
“Bukan,” kata Kakung tersenyum samar. “Kenapa harus bisbol, kenapa bukan sepak bola atau bulu tangkis?” Pandang mata cerdiknya membuat Rambu diam beberapa jenak.
Bahu Rambu turun begitu saja saat Ruma ternyata sudah menjemput dirinya untuk pergi sekolah. Rambu tersenyum malu. “Aku pernah bermimpi ingin berdiri di bawah guguran bunga sakura bersama Ruma dan Kak Ranah. Aku ingin menghabiskan waktu bersantai bersama Kakung dan Eyang berendam di onsen. Katanya, itu bagus untuk kesehatan tulang,” jawab Rambu bingung.
“Tanda Rambu mau meninggalkan kami, ya?”
Sontak pertanyaan Kakung membuat Rambu sedih. Seakan ada yang baru saja dipatahkan tanpa sebab. Perkataannya benar-benar seperti menancapkan seribu mata pedang di dada Rambu. Remaja laki-laki itu meneguk ludahnya sambil mengembuskan napasnya.
“Tidak. Tentu nggak akan pernah. Aku nggak pernah berpikir demikian. Justru aku ingin terus menua bersama kalian di tempat yang sama lalu aku mimpikan.” Rambu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Wajahnya sontak sedih bukan kepalang.
“Seseorang bilang, hidup itu seperti permainan bisbol. Tidak setiap pemukul mampu memukul bola dengan sempurna sampai home run, pasti melewati strike atau foul, bahkan out. Sama seperti ini, langkah kita tidak akan selalu mulus. Namun, semakin kita berusaha keras, tujuan kita akan mudah ditaklukkan. Seperti pemukul yang terus mencoba mengayunkan tongkatnya sampai dia merasakan permukaan bola terpukul dengan sempurna kemudian home run.” Rambu berkaca-kaca.
Kakung tersenyum kecil. “Rambu memang seperti Basena.'”
*****
Ruma melambai-lambaikan tangannya di wajah Rambu. Sayangnya, laki-laki itu tidak meresponsnya sama sekali. Seakan ia sedang bergelut dengan isi pikirannya. Ruma mendesah kecil. Anak pintar memang selalu berdiskusi dengan pikirannya sendiri, selalu. Tiba-tiba bahas matematika, aku geplak Rambu! kelit Ruma sambil memainkan bibirnya cemberut.
Terlihat beberapa gerombolan ciwi-ciwi kelas XII dan X. Ruma seketika memalingkan wajahnya pada seorang gadis dengan bando telinga kucing di dekat meja tukang bakso.
“Tuh, katanya ada gosip kamu sama Difta pacaran!” gumam Ruma mendelik tidak suka.
“Hah? Apa? Siapa?” kata Rambu terperanjat.
“Kemarin waktu mau berangkat ke stadion kamu sama dia … ada hubungan apa? Ngapain kalian?” desak Ruma dengan tatapan memicing.
“Hah? Ngawur. Difta siapa?” Rambu nyengir.
“Cewek yang berani nyentuh rambut kamu!” Ruma mendengkus. “Padahal aku aja nggak pernah, lho.”
Rambu mendekatkan kepalanya pada Ruma. “Ya udah, sentuh aja sekarang,” katanya. “Biar orang-orang lihat kalau aku cuma punya kamu.”
“Nggak usah nggak perlu. Biar apa kayak gitu? Biar kayak novel Wattpad yang dibaca jutaan atau biar kayak series yang diadaptasi dari Wattpad? Jijik!” protes Ruma dengan sudut atas bibir terangkat.
“Sumpah, aku bahkan nggak tau gosipnya, Ma. Aku nggak nyaman. Aku baru tau gosipnya darimu barusan. Soalnya aku hampir nggak pernah ingat pernah berduaan dengannya,” cetus Rambu dengan tatapan yakin.
“Masa aja nggak tau, Difta itu anak terkenal lho. Mantan pacarnya ketua Osis. Jadi apa yang dia lakukan pasti heboh!” Ruma makin sewot.
Rambu tertawa karena sikap ngotot Ruma yang manis di matanya. Laki-laki itu menyangga dagunya dengan dua tangan. “Kalau di mata aku cuma ada kamu, mana bisa aku lihat orang lain, Ma,” cicit Rambu buat Ruma menggebrak meja lalu pergi.
Dari arah belakang kantin terlihat anak-anak Korvus. Mereka seketika duduk di dekat Rambu.
“Ruma kenapa, tuh?” tanya Arion mengernyit.
“Lagi PMS, mungkin.” Rambu mengangkat bahunya tampak kaku.
Kais, Rega, dan Alexa merangkul Rambu dengan erat. Ketiganya tampak bersemangat. Rambu seketika meronta, dia beranjak dari tempatnya duduk.
“Aku ke kelas duluan,” ucap Rambu ketika sosok bernama Difta itu hendak mendekati. Rambu menolehkan kepalanya pada Kais. “Oh, iya, Kak Rakabumi bilang ketemuannya diundur jadi hari Sabtu besok. Jangan lupa menu soal latihan!” serunya.
Rambu melangkahkan kakinya dengan santai ketika keluar dari area kantin. Tampak tak selesai perihal ciwi-ciwi. Laki-laki itu menarik napasnya dengan panjang ketika beberapa anak menahannya untuk memberikan minuman kaleng.
“Kapten, kapan Korvus tanding lagi?”
“Iya, sayang banget, kenapa sih nggak ada yang notice olahraga bisbol. Padahal anak-anak bisbol pada ganteng-ganteng!”
“Kayak Kapten!”
“Iya, kayak anak-anak Galantika.”
“Itu sih surgawi.”
“Halo, Ram!” sapa seseorang tak lain adalah Difta. Gadis itu menatap dengan lekat-lekat.
Suara itu membuat tubuh Rambu menegang hebat. Rasanya seperti ingin kabur seketika. Rambu membalik tubuhnya, kedua mata laki-laki itu mendapati sosok yang membuat Ruma marah berdiri sambil tersenyum.
“Halo,” katanya.
“Bisa kita bicara?” tanya Difta itu.
“Kita duluan, ya, Kak Difta. Dah, Kapten!”
Rambu semakin merasakan ketegangan yang mencekik. Ia benar-benar ingin pergi darinya. Berharap Ruma lewat, Rambu akan membiarkan Ruma mengacak-acak rambutnya bahkan sampai botak pun tidak masalah.
“Ada apa, ya?” tanya Rambu.
“Maaf membuat keributan karena beberapa hari lalu benar-benar nggak sopan padamu. Aku benar-benar minta maaf membuatmu nggak enak.”
“Aku nggak dengar apa pun.” Rambu berkata dengan suara datarnya juga tatapan mata dingin.
“Aku berharap hal itu mungkin nggak akan pernah terulang. Aku bingung bikin kamu jatuh cinta sama aku gimana caranya? Hanya itu yang bisa aku lakukan,” katanya. Kedua bola mata Difta menciut.
Rambu menarik napasnya pelan. “Aku tau sebagai laki-laki mungkin ini nggak sopan. Tapi itu lebih baik daripada memberikan harapan. Aku menerima semua makanan atau bingkisan dari teman-teman sekolah nggak lebih dari hadiah dari pendukung Korvus kepada anggotanya Korvus. Aku nggak pakai hati untuk menerima semuanya.”
Rambu melengos dari hadapan gadis itu dengan segera ketika anak-anak Korvus tampak keluar dari kantin dengan beragam jajanan di tangannya.
“Terima kasih telah mendukung kami.”
*****
Ruma mengurung dirinya sejak pulang sekolah. Meskipun Rambu mengajaknya bertemu di lapangan komplek untuk nonton pertandingan layangan antar bapak-bapak. Ia menolak.
Ruma menggulirkan bola matanya ke jendela. Hari ini Gege berkunjung katanya akan mengerjakan tugas bersama Ranah. Anehnya, tugas itu seakan ke laut. Gege malah asyik menceritakan adiknya.
Lebih anehnya, setiap kali Gege menyebut Ruma di setiap kalimatnya. Ruma merasa sangat gugup bukan main. Dadanya sesak. Rasanya gila.
“Kenapa aku terus memikirkannya? Sialan, suaranya benar-benar … ah menyebalkan!” Ruma menutup wajahnya dengan bantal sambil berteriak kesal.
“Rambu … aku nggak mau itu terjadi … ?” lirihnya. “Tapi ini benar-benar membuatku merasa ingin berteriak setiap kali mengingatnya!” Ruma merintih ketika suara Ranah dan Gege terdengar jelas dari ruang tamu ke kamarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro