Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06. Better With You | Rambu & Ruma


Publikasi 03 Oktober 2022
Publikasi ulang Januari 2024

.
.
.
.

Jika dunia tidak memihak kita, buatlah dunia kita sendiri. Meski hanya ada gelap dan terang tanpa ada pelangi.

-Onadio Ale Erlangga | Pemukul Terbaik
Jakarta Bantarious 1997

🍂

Rumput liar berbaur dengan ilalang dan capung warna warni bergerak melambai-lambai di antara gerak angin. Rambu memutuskan pulang ke bengkel, meski ia belum mengganti pakaiannya selepas bersih-bersih badan. Kaki Rambu berjalan menyisir jalanan kota yang tidak terlalu ramai, mungkin karena di beberapa ruas jalan sedang diadakan razia motor beroda dua, sedikitnya mobilitas kota berkurang. Rambu pikir, udara hari ini juga mendadak jauh lebih segar setelah hujan deras beberapa hari ini.

Rambu bersenandung dengan riang, ia tak bisa bertanya apa Ruma sudah sampai rumah dan bertemu Eyang Putri atau belum, ataupun memastikan Kakung makan sore. Ponsel butut Rambu habis baterai karena setelah dipakai nugas sambil mendengarkan musik.

Namun, tiba-tiba rasa tersendat mulai mengerubungi tenggorokan dan hidungnya. Merah mulai tercipta, ada yang menggetarkan kedua bola matanya yang sayu. Rambu mendesah pelan di tengah senandungnya.

“Ayah, Ibu, aku rindu kalian. Walau kita nggak pernah berjumpa, semoga surga menjadi tempat berkumpul kita,” monolog Rambu dengan wajah sedih.

“Aku takut harus tinggal sendirian. Kakung dan Eyang udah sering sakit-sakitan, aku takut sekali jika Ruma pergi dari sisiku, karena aku yakin Ruma pun pasti akan jatuh cinta dengan dunianya sendiri.”

Rambu tampak menatap langit untuk beberapa saat sebelum ia kembali berjalan. Bibirnya tak lagi mampu bersenang-senang, ia teringat rumah dan isinya. Ia bergegas dengan langkah besar.

Sebuah batu segenggam tangan mendarat di paha belakang Rambu. Laki-laki itu celingukan mencari siapa gerangan yang usil melemparinya. Namun, ia tidak mendapati ada orang di jalan. Nyaris tanpa kehidupan, ia jalan seorang diri bahkan sejak keluar dan berpisah dengan bengkel. Menyadari hal itu, ia lekas pergi. Bukan takut karena setan bisa jahil, ia lebih takut bertemu tukang palak.

“WOI!” teriak seseorang, sepasang tangan tampak melambai-lambai dari lubang selokan.

Rambu yang setengah ragu berjalan ke dekat sekolah dengan waspada. Tampak seorang gadis kumal berambut panjang yang diikat dua ekor kuda berlumuran lumpur.

“Oh, syukur. Untung batunya nyantol. Tolongin gua!” perintahnya dengan wajah memaksa. Tangannya terulur pada Rambu. Namun, Rambu tampak kebingungan. "Woi, bantuin gua!” katanya lagi sambil mengap-mengap dari bawah kaki Rambu.

Tangan remaja laki-laki itu mengulur ke arah tangan gadis tersebut. Dengan cekatan, Rambu menariknya dengan cepat hingga membuat gadis itu tampak melayang keluar. Ia cekikikan saat lumpur dari kakinya mencipta noda di seragam abu-abu Rambu. Wajahnya tampak memerah malu.

Sorry, seragam lo jadi kotor. See you, yah!” katanya sambil menepuk-nepuk kaki ke tanah.

Ia berjalan dengan berjinjit sesekali melompat, bahkan melakukan gerakan yang tidak Rambu paham. Bahkan, entah apa yang orang itu pikirkan, kenapa dia harus lari secepat itu setelah dibantu? Apa tidak akan basa-basi dengan kata maaf? Padahal badannya cukup berat. Rambu menggelengkan kepalanya sambil mendesis.

Tubuh laki-laki itu berjongkok, membenahi lumpur yang mengotori seragam abunya dengan telapak tangan. Rambu pikir, ia mungkin akan hari dengan mencuci seragamnya, padahal ini baru hari pertama sekolah. Masa iya, seragamnya sudah kotor sementara tak ada siswa yang terlihat kucel di sekolah, mereka nyaris seperti jajaran kalung berlian di toko.

“Dia seperti Ruma. Mereka doppelganger?” Rambu tertawa dengan renyah. Namun, saat kakinya hendak melintas pergi dari sana terlihat gadis itu berlari ke arah Rambu.

Matanya yang hitam belanga seakan berkata, syukurlah kamu masih berdiri di situ. Gadis itu melambaikan tangannya, ia membuat Rambu terdiam sambil tersenyum kikuk, canggung menyeruak ke dalam dada. Rambu meneguk sedikit salivanya.

“Aku harap dia bukan tukang palak,” gerundel Rambu saat gadis itu semakin dekat dengannya. Seragamnya yang sudah tak lagi berbentuk itu membuat Rambu risi. Kotor dan basah, bau busuk.

“Apa lo kenal anak-anak dari tim Bantarious?” tanya gadis itu sembari terengah-engah menopang punggungnya. Kepalanya perlahan mendongak, kedua matanya bertemu dengan mata Rambu yang bening, sayu sedikit sendu.

“Eh?” Rambu terkejut.

“Di sekolah lo ada ekstrakurikuler bisbol, 'kan?” tegas gadis itu sambil menatap tajam. “Korvus Timur. Lo kenal anak Bantarious 1997, nggak?” Ia begitu mendesak, ucapannya seperti seorang preman. Rambu mengangguk bego.

“Lo anak Korvus, nggak! Budeg, ya? Sialan, lo beneran budeg?” tanya gadis itu dengan jari telunjuk mengarah ke wajah Rambu.

Benar-benar preman. Dia doppelganger Ruma. Menyeramkan. Rambu menghindari beberapa kali kontak mata yang ingin gadis itu lakukan. Rambu tidak bisa tahu siapa anak di hadapannya, dari sekolah mana atau bagaimana dia tahu tentang Bantarious atau Korvus. Seragamnya polosan.

Tak ada atribut di seragamnya, kaus kakinya warna ungu yang kumal karena bekas lumpur, wajahnya benar-benar tidak tampak seperti anak sekolahan. Mungkin orang kurang kerjaan. Rambu menangkap jiwanya bergemuruh takut.

Bukan takut jatuh cinta atau baper karena patut Rambu akui ia cantik. Wajahnya serba kecil, tetapi dengan potongan mata belo, kulitnya sawo matang, rambutnya panjang hitam semu kemerahan, tubuhnya ideal sebelas dua belas seperti Ruma, suaranya anggun walau nada bicaranya seperti preman tukang palak. Namun, ia benar-benar manis, sedikit lebih manis dari Ruma.

“Heh, budeg, ya? Gua tanya lo kenal anak Bantarious atau lo kenal sama anak-anak Bantarious atau apa kek yang berbau-bau Bantarious nggak?” Ia menatap sengit sambil bicara bersungut-sungut sebal. Rambu tersenyum payah.

“Aku bukan budeg, tapi aku tau bicaramu belum selesai. Mau bertanya lebih banyak?” lontar Rambu dengan lembut. Gadis itu mendengkus sambil menyilang tangannya di dada.

“Baiklah. Aku akan jawab.” Rambu berujar, “Iya, aku anak Korvus. Aku kaptennya. Tapi aku nggak kenal anak-anak Bantarious.”

“Waw, lo bermimpi setinggi itu?” celetuknya menilik pandangan rendah.

Rambu mengerutkan dahi. “Maaf aku nggak paham. Intinya aku nggak kenal anggota Bantarious karena aku anak Korvus, dan kami beda level,” ucap Rambu kesal.

“Kadensa,” todongnya seraya mengulurkan tangan pada Rambu.

“Aku nggak berminat berkenalan.”

“Gua nggak minta kenalan. Gua cuma memperkenalkan diri, kalau gua ini Kadensa. Nggak perlu baper gitu, nggak usah pasang wajah sombong,” katanya dengan tatapan emosi. Wajahnya pun tampak dua kali lipat lebih kesal dari Rambu.

”Metari Kadensa Ginanjar,” katanya lagi. “Galantika bersyukur Korvus kalah. Artinya Bantarious akan bertemu Galantika untuk jadi tim terbaik se-PBC.”

“Bantarious kalah. Jadi, mereka nggak akan bertemu Galantika di final. Mereka hanya masuk babak empat besar. Kamu nggak tau?” Rambu memicing.

“Tau. Tapi Bantarious bukannya akan selalu bersanding dengan Galantika yang hebatnya akan selalu hebat!” Ia ngotot.

Rambu tertawa renyah, bahkan suaranya terdengar begitu lepas. Rambu sembari mencibir berkata, “Oh kamu pendukung Galantika. Pantas aja ngotot ingin tau soal Bantarious. Maaf, tapi aku nggak tau, coba tanya seniormu yang bernama Sadega, dulunya dia anak Korvus, dia juga kenal banyak anak-anak PBC,” kelakarnya.

Kadensa memekik. “Ckk!”

“Tapi … aku tau salah satu anak Bantarious. Aku tau seseorang yang selalu mengharumkan nama Bantarious, aku bisa menyampaikan pujianmu padanya,” tandas Rambu meninggalkan Kadensa yang berdiri lunglai.

Ia mengembuskan napasnya. “Ale maksud lo? Satu-satunya anak Bantarious yang paling dikenang dan dikenal cuma Ale. Iya, bukan?”

Rambu menoleh sambil tersenyum manis. “Iya. Salam untuk Galantika dari Korvus. Selamat menyapa Bantarious di final tahun depan!” katanya.

Kadensa meraih bahu Rambu. “Lo kenal dia?” tanyanya sembari mengernyit.

“Mungkin. Saat aku duduk di bangku sekolah dasar, aku sering melihatnya membela Bantarious.”

“Gua juga.”

“Kalau kamu sadari, anak-anak yang kini bermain bisbol untuk ekskul di sekolahnya masing-masing, pasti mengenalnya atau melihatnya sekali di JIBS,” kata Rambu.

“Emm.”

“Jadi, apa urusanmu udah selesai?” todong Rambu membuat sosok bernama Kadensa itu berhenti melangkah.

“Ckkk.” Kadensa memalingkan wajahnya. “Gua terima salam lo!” katanya lalu pergi.

Rambu tertawa aneh. Gadis itu benar-benar menakutkan. Apa orang asing jaman sekarang selalu bersikap SKSD? Uh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro