05. Better With You | Rambu & Ruma
Hati, Ruma dan Rambu sudah update.
Ada Gege juga, salam kenal Gege.
Publikasi 27 September 2022
Publikasi ulang Januari 2024
.
.
.
.
Ruma babak belur karena mengejar layangan hingga terjun ke selokan dan membuat kulit betisnya sobek dan terus mengeluarkan darah segar meski sudah dibalut perban.
“Cewek berandalan!” kata Ranah kesal.
Ruma tertawa sumbang. “Kak Ranah nggak tau sih harga layangannya seharga satu bungkus nasi padang! Aku udah bilang kalau aku udah suka dan cinta sama sesuatu nggak bakal aku lepas gitu aja!” ucap gadis tomboi itu angkuh.
“Terserahlah. Capek gua! Ini juga kenapa si Rambu nggak ngehalangin lo!” protes Ranah marah. “Lagian kenapa musti dikejar sih layangannya? Lo jadi memar sana-sini!”
“Nggak niat ngajar, Kak. Layangannya tuh nyangkut di pohon duku Pak Broto, pas mau aku ambil malah direbut sama anaknya. Ya udah aku kejar dia malah nyungseb selokan depan kantor kecamatan.” Ruma tertawa renyah.
“Lo itu udah bukan anak kecil lagi, Ma. Udah mau kelas tiga SMA!” bentak Ranah.
“Ruma nggak bakal jotos muka orang kalau nggak ada sebab. Masa iya, mukul gitu aja!” balasnya menatap ketus.
Ranah menarik kepala Ruma ke dalam ketiaknya. “Lagian kenapa lo tuh suka banget berantem? Nggak sama cewek nggak sama cowok, nggak bikin anak orang bonyok, bikin muka sendiri babak belur? Kenapa, sih? Heran gua.”
Ruma menendang kaki Ranah sambil mendorong tangannya dari kepala. Ia menatap Ranah dengan tatapan berang. “Itu nggak berantem. Nggak nyerang juga. Itu pertahanan diri, ya.”
“Tapi lo yang mukul duluan!” kata Ranah sambil menjitak kepala Ruma.
“Kalau mereka nggak nyentuh duluan juga aku nggak akan mulai.”
Ranah tertawa nikmat. Ia terbahak-bahak seraya menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Makanya jadi cewek ya jadi cewek aja, jangan sok-sokan!” cibir Ranah. “Untung lo secakep gua.”
Ruma berdeham. “Dih, sori, kata Rambu aku cantik.”
Dari depan gerbang terdengar suara knalpot motor yang sengaja digeber berkali-kali. Suaranya terdengar memekakkan telinga Ranah dan Ruma.
“Pasti si kampret. Ntar, Ma. Jangan ke mana-mana!” titah Ranah memicing.
Ruma tumbang kaki sambil nyengir, dia berkata, “Emang aku mau ke mana? Paling banter juga ke rumah Rambu.”
Ranah nyengir. “Ya, maksud gua jangan ke mana-mana, kek semacam jangan ke kamar lo dulu, apa kek tidur kek atau sejenisnya. Gua masih pengin ngobrol!”
Suara knalpot semakin bising, benar-benar memenuhi seluruh ruang televisi kediaman Ranah dan Ruma. Ranah lekas mendekati pagar. Tampak seorang laki-laki duduk di jok motor sport berwarna merah polet hitam.
“Polusi udara, woi! Berisik!” teriak Ranah dengan ekspresi kesal. “Orang komplek bisa demo.”
“Halah, lagian jam segini masih jam ngantor, orang komplek pada belum pulang,” jawabnya enteng.
Ranah berkacak pinggang sembari berdeham. “Emang mau apa, bukannya kita janjian jam delapan malam nanti?” todong Ranah ketika laki-laki itu membuka helmnya yang berwarna hitam.
“Gua mau nebeng tidur siang dong. Kunci dibawa adek ke sekolahnya. Baru balik jam lima nanti,” jawabnya menyeringai.
“Nggak boleh. Adik gua lagi nggak ada jadwal main soalnya.”
“Lah, gua kan tidur di kamar lo, bukan tidur di kamar adik lo.”
“Ya, nggak boleh. Tetap nggak boleh.”
Laki-laki itu mendongak sambil mengembuskan napasnya lewat mulut. “Ya udah, pinjem uang buat ….”
“Masuk!” perintah Ranah membuka lebar pagar rumah. “Sebelum gua berubah pikiran dan telepon bokap lo kalau lo ngutang ke gua dan nggak pernah bayar.”
Laki-laki itu tertawa sambil mendorong motornya memasuki pelataran rumah Ranah. Genma Prajasti, panggil saja Gege. Teman satu kelas Ranah di kampus. Laki-laki berperawakan tinggi kulit sawo matang itu mengekor Ranah memasuki rumah.
“Ma, tolong buatkan kopi dua!” teriak Ranah sebelum mendaratkan tubuhnya di sofa ruang tamu.
“Ih buat siapa? Aku nggak minun kopi, asam lambung bisa naik, Kak!” sahut Ruma sambil berjalan ke sumber suara.
Gege menggulirkan kedua matanya pada lemari dekat lukisan. Tampak sepasang kaki lenjang dengan bulu-bulu halus berjalan santai. Tubuhnya kurus tetapi tampak atletis dibalut kaos oblong hitam dengan lengan yang digulung sampai masuk ketiak, dengan celana sontok berwarna gurun.
Gege mengerjapkan kedua kelopak matanya. Tampak manik mata agaknya belo itu menatap ke arah Gege.
“Eh, maaf, kirain nggak ada tamu.” Ruma menurunkan lengan bajunya.
“Bukan tamu. Ini cuma gembel numpang tidur.”
“Sori, mulut Ranah emang biadab,” celetuk Gege tertawa canggung.
“Kopi, ya?” tanya Ruma turut canggung. Gadis tomboi itu melengos kembali ke dalam rumah.
Ranah menatap Gege sambil memicing tajam. Kecut air muka Ranah membuat laki-laki itu buang muka. “Lo kenapa lihat gua gitu?” tanyanya.
“Lo kenapa lihat adik gua gitu?”
“Gimana?” Gege mengernyit.
“Adik gua udah punya cowok.”
“Nggak nanya.”
Ranah merogoh saku celananya, memberikan kunci pada Gege. Laki-laki itu merebahkan tubuhnya di sofa. “Masuk aja, lo bisa kunci kamarnya,” ucap Ranah pelan.
“Makasih. Utang gua pasti dibayar, kok. Tenang. Gajian langsung gua kasih lo,” kata Gege cekikikan.
“Ge, sampai kapan lo mau kabur-kaburan kayak gini? Gua tau lo marah sama bokap lo karena kawin lagi, tapi bukan berarti lo bisa asyik tinggal di kosan adik lo. Meski dia cowok, pasti risi.”
“Gua nggak kabur, Ran. Gua cari kerja yang lebih aja, minimal gua nggak perlu minta bokap. Lo tau kali gaji DW berapa? Nggak cukup.”
“Tapi bokap lo memenuhi kebutuhan sehari-hari lo dari bangun sampai bangun lagi. Kurang apa coba?”
Gege tersenyum. “Ah, gua makin betah di sini.”
“Sori.”
“Kopinya ….” Ruma membawa nampan, iw menatap ke arah Gege sambil tersenyum. “Silakan.”
“Makasih.” Ia membalas senyumannya. “Aku suka serve kamu, apalagi bloking kamu di menit terakhir. Nyaris netting, untungnya jari kamu kuat!”
Ruma menggulirkan matanya terkejut. Ia seketika duduk di memeluk lutut di lantai sambil menatap Gege dan Ranah. “Oh, emangnya nonton, ya? Itu cuma pertandingan voli anak komplek nggak ada yang istimewa,” ujar Ruma enteng.
“Nonton. Aku suka voli. Kan, adikku juga di tim voli putra di sekolahnya.”
“Siapa? Sekolahnya di mana?” tanya Ruma tampak acuh tak acuh. “Kelas berapa?”
“Ganta, anak voli putra tim Jkt-Bhakti Puspa.”
Bibir Ruma membulat, kepalanya pun manggut-manggut pelan. Gege mengulurkan tangannya pada Ruma sambil tersenyum lembut.
“Genma. Boleh panggil Gege.”
“Ruma.” Gadis tomboi itu melengos tanpa mengindahkan tangan Gege yang masih terulur padanya.
*****
Air hujan membanjiri teras bengkel membuat Rambu harus bekerja dua kali lebih keras sebelum menutup tempat mencari nafkahnya tersebut. Tampak pria paruh baya dengan tubuh tambun berjalan ke arah Rambu.
“Pakai jas hujannya, kamu bisa masuk angin.” Pria itu berucap.
“Makasih, Pak.”
“Kakekmu sedang kurang enak badan, ya? Makannya sedikit sekali, bahkan air teh yang disuguhkan Mbak Nur nggak habis semua.”
Rambu seketika terdiam, kepalanya mencari-cari potongan adegan yang terjadi sepanjang siang tadi. Ia tidak ingat tentang Kakung saking sibuknya melayani orang-orang yang datang untuk tambal ban, ataupun tambah angin. Ditambah Rambu juga sibuk narik becak antar jemput barang.
Rambu menarik napasnya dengan pelan. “Iya, mungkin karena kemarin malam Eyang sibuk mengigau. Kakung jadi kurang tidur,” jawab Rambu.
“Kalau butuh uang tambahan, kamu datang ke warteg, Mbak Nur cari orang buat bersih-bersih sama cuci alat masak. Lumayan, kalau ada lauk sisa bisa dibawa pulang.”
“Iya, Pak.”
“Kalau gitu, Bapak titip kunci bengkelnya ke Aryo. Kamu bisa langsung pulang, biar Aryo yang kunci. Bapak mau pulang, takut hujannya makin besar.”
Rambu menganggukkan kepalanya dengan santun. “Hati-hati, Pak.”
Seketika Rambu menyandarkan punggungnya yang basah pada dinding bengkel yang dingin lagi lembab. Rambu tak berniat pulang sore ini, ia ingin latihan taekwondo sambil sedikit cari angin. Namun, perasaannya menjadi tidak baik. Ia harus memastikan Kakung makan dengan baik, begitupun dengan Eyang. Rambu harus mematikan neneknya tidur dengan nyenyak nanti malam.
“Mas Aryo, habis mandi aku langsung pulang, ya?” kata Rambu sembari kocar-kacir ke belakang bengkel sambil membawa ember kecil berwarna biru.
“Sip!” jawab laki-laki itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro