Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04. Better With You | Rambu & Ruma

Cerita ini terpisah dari cerita Ale di buku Tentang Kita: Aku & Kamu. Tapi, kalau mau tau benang kusut dunia Rambu, Korvus dan Kadensa boleh, kok baca dulu cerita Ale. Versi lengkap tersedia di buku. Bisa pesan di aku atau shopee LovRinz, ya.

Publikasi 22 September 2022
Publikasi ulang Januari 2024

.
.
.
.

Sebuah bola mendarat di dalam sarung tangan cokelat atau bisa juga disebut mitt and glove. Cukup berjinjit, tangannya mampu menggapai lambungan bola di atas kepalanya.

“Cukup!” teriak seorang laki-laki setinggi kiranya seratus delapan puluh dua senti di tepi lapang. Pandangan matanya menatap pada Arion yang tampak berkaca-kaca saat bola itu terlepas begitu saja dari sarung tangannya.

“Cukup, kata gua!” Dasha Rakabumi, suaranya benar-benar menggelegar.

Wajah anak-anak Korvus tampak tegang, pasalnya seorang yang dikenal tegas dan tak kenal ampun itu mulai memasuki lapangan. Tangannya lekas mengambil tongkat kayu yang berada dalam genggaman tangan Kais, ia juga bergerak mendekati dua orang yang berdiri di catcher box. Langkah kakinya yang berirama nada emosi membuat gigi terasa silih berhimpitan, tempurung lutut pun terasa seperti lepas dari tempatnya sampai membuat beberapa anak tersungkur mencium aroma tanah merah.

“Razel?!” panggil Rakabumi padanya yang berdiri gontai, terlihat betul bagaimana ia ketakutan bukan main. “Lo sebut diri lo sebagai batter number one? Starter woi! Lo juga udah kelas XII dan ini kesempatan terakhir lo!” cecar laki-laki itu dengan pandangan mata menusuk dingin.

“Kalau belum apa-apa udah membuat kesalahan, lo bisa mengurangi kesempatan tim kebanggaan lo mencetak poin, Zel!” Rakabumi memaki seluruh anak di lapangan.

“Ya, Maaf, Raka!” kata laki-laki itu sambil menatap takut.

“Maaf sama teman-teman lo minta maaf sama Korvus kesayangan lo. Meski ini pertandingan persahabatan, relakah elo membawa kekalahan sebelum lo lulus dari sekolah ini? Bangsat!” amuk Rakabumi.

Laki-laki itu melemparkan tongkat kayu di tangannya ke arah Rega—teman seangkatan Rambu—yang berdiri bersama satu temannya di batter box, dengan ketangkasannya, tongkat itu mampu ditangkap Rega dengan kedua tangannya.

“Main, Ga! Lo sama Rambu sama Melva coba main. Lo di batter box, Melva di catcher box, Rambu di mount,” katanya sambil berteriak menggulirkan kedua bola matanya yang bulat pada adik-adik asuhnya.

“Siapa pun, nomor berapa pun kalian, bertahan atau menyerang. Satu kesalahan kalian menjadi satu peluang kegagalan tim kalian!” Laki-laki itu kembali berteriak. Rakabumi benar-benar tak mampu mereda rasa marahnya. Wajah laki-laki itu pun memerah masak.

Rambu meneguk ludahnya sambil menggulung lidah. Ia bahkan panas dingin menunggu giliriannya melempar dan memukul sebagai pemukul nomor enam.

“Lempar bolanya ke arah mana pun yang kalian mau,” titah laki-laki itu pada Rega. “Lempar sejauh yang kalian bisa! Tapi ingat, lawan kalian itu nggak jauh. Lawan kalian itu diri kalian sendiri!”

Dengan gerakan cepat dan terarah melengkung tepat ke depan wajah Rega, lemparan bola dari tangan Rambu diberi acungan jempol. Jemari telunjuk laki-laki itu mengarah pada Melva, ia pun memerintah anak-anak untuk ke tempat masing-masing.

“Razel keluar dari lapangan. Pemukul nomor dua masuk! Melva tetap di posisi itu,” kata Rakabumi tidak peduli meski Razel tampak murung, ia bahkan menitikan air mata dan keringat lelahnya setelah dua jam berlatih.

Suara pluit terdengar begitu mengerikan. Tentulah, orang yang memegang kendalinya tampak seperti beruang madu, matanya tajam seakan-akan tengah bersiap membuka cakarnya. Detik itu juga, permainan dilanjutkan. Anak-anak mulai bermain dengan baik, mereka bahkan banyak meningkatkan kecepatan dan ketangkasannya.

Dari mulai melakukan ancang-ancang untuk wind up—posisi kuda-kuda seorang pelempar sebelum melempar—dengan sempurna, bersiap untuk melompat guna menangkap bola di udara dan mencetak out dan mematikan lawan di depan base, run sampai dinyatakan safe.

“Cukup, usaha kalian hari ini bagus.” Pria berkulit putih rambut cokelat dengan mata bulat yang tegas memasuki lapangan. Wajahnya khas orang Jawa. Topi bertuliskan Coach menghiasi pergelangan tangannya yang berayun setiap kali dia melangkah.

Inga. Akhirnya ia datang. Kehadiran pria itu benar-benar terasa menyejukkan.

“LATIHAN SELESAI! Lima belas menit lagi kumpul!” Inga berteriak dengan tegas, wajahnya dingin tetapi senyumnya mampu membuat anak-anak menatap hangat seraya tersenyum puas.

Sedang Inga dan Rakabumi bercakap-cakap, anak-anak di sisi lapangan saling memandang dengan pandangan mata waspada. Rambu menoleh pada Razel yang terlihat sangat tidak baik-baik saja.

“Zel, minum dulu deh, selonjoran dulu. Kamu main bagus, kok!” lontar Rambu pada Razel yang hanya diam mengamati tanah di bawah bokongnya. Anak-anak lain pun mengiyakan.

“Gua pasti nggak akan terpilih jadi pemain inti di laga mendatang. Performa gua lagi anjlok! Padahal itu pertandingan terakhir gua sebelum lulus.” Razel menyahut dengan lirikan mata kecewa.

“Arion aja masih berusaha walaupun bahunya retak dan divonis nggak bisa main selama tiga pekan. Cuma gagal mukul doang jiper!” sindir Alexa juga Kais.

“Iya, gua aja masih mau.”

Coach bilang gitu karena dia mau kamu mainnya lebih serius dan semangat. Dia tau kemampuan kamu,” ungkap Rambu tersenyum iba.

“Ah, nggak tau deh. Kayaknya abis ini, gua bakal pindah ke tim futsal soalnya hampir nggak ada perhatian untuk bisbol di Indonesia. Susah kalau mau jadi pemain pro.”

“Yah, asyik-asyikan aja kali, Zel. Namanya ekskul jangan dibuat puyeng.” Rega tertawa renyah, diikuti Darius dan Melva.

Dari kejauhan, Rambu bisa melihat Inga dan Rakabumi serius dalam obrolannya. Mereka terlihat amat menakutkan saat sedang demikian. Namun, lesung pipi milik Inga benar-benar menjadi obat.

Coach Inga beneran ngirim Rakabumi jadi aspel. Kayaknya beliau sibuk di kampus sebagai dosbing,” ucap Gavin sambil mengernyit.

“Mungkin. Coach juga pernah bilang kalau di kampusnya, cuma dia yang ngajar di matkul itu gitu, gua lupa!” kata Arion.

“Iya, Coach emang pernah bilang kalau aspelnya gonta-ganti!” ucap Rambu. “Cuma Rakabumi emang hebat. Lebih cocok dia jadi kapten!”

“Gua lebih suka lo!” kata anak-anak dengan kompak.

“KUMPUL!” seru Inga mengumpulkan anak-anak di tepian lapangan. “Nah, kita udah latihan. Raka cerita banyak hal. Untuk hari ini kalian hebat. Lupakan hari lalu, besok kita bakal jadi pemenangnya.”

“Jadi, nanti kalau Coach nggak hadir lagi, Raka yang bakal ngasih menu latihannya?” tanya anak-anak kelas XII dengan kerutan tak setuju di dahi.

“Betul. Oke?” Inga mengangguk.

Rakabumi menatap dengan ketus. Kedua bola matanya yang selalu tampak menyebalkan dan mengundang ketidaknyamanan itu bergulir. “Kenapa ada masalah?” todong Rakabumi.

“Siap, enggak ada!” jawab mereka lesu.

“Rakabumi itu tegas, tapi bijaksana. Dia berwibawa,” bisik Inga lalu membalik tubuh ke arah Rambu sambil tersenyum manis. “Dia mandangin kamu, Ram. Dia suka keberadaan kamu sebagai kapten, katanya.”

Rakabumi menyikut Inga. “Itu karena Rambu selalu jadi yang pertama dan cepat tanggap di antara anak-anak Korvus yang lainnya,” sergah laki-laki itu menatap congkak.

*****

Rambu menitikan air matanya ketika Korvus kalah untuk kedua kalinya. Meskipun sudah berlatih dengan keras, anak-anak Korvus tetap tidak bisa menyangkal kalau tim-tim lainnya begitu hebat.

Melihat Arion juga tidak dalam kondisi yang prima dan Melva sebagai catcher lapis dua juga belum terlalu terbiasa dengan lemparan keras dan cepat khas Rambu. Semuanya jadi semakin jelas.

“Hai, Ram!” sapa seseorang tak lain Sadega. Sosok laki-laki partner sekaligus battery Rakabumi untuk latihan catch and throw. Ia adalah kakak kelas di sekolahnya, teman sekelas Rakabumi, dulu, tetapi ketika kenaikan lalu ia pindah sekolah.

“Hai, Kak,” sahut Rambu sambil manggut sopan.

“Bisa kita bicara?” tanya Sadega. Rambu mengangguk. “Kamu pasti udah nggak asing sama Coach Rakabumi, sebagai asple.”

“Iya. Kenapa, Kak?” Rambu tampak bingung, ia mengerutkan dahinya.

“Kamu tau kalau dia pernah tinggal dan besar di Jepang sebelum pindah ke Jakarta di umur sepuluh tahun?” tanya Sadega sambil menelisik. Kedua bola matanya yang kecil hitam pekat tampak cemerlang menatap wajah Rambu.

“Nggak tau detailnya. Tapi, yang aku dengar itu karena ibunya harus mendapatkan perawatan kesehatan di sana.”

“Iya begitulah.” Sadega tersenyum tipis. “Dia ikut di klub bisbol di sekolahnya saat kelas 3 sekolah dasar.”

“Ah, aku paham,” gumam Rambu melirik Sadega.

“Oh iya, Ram … kamu tau nggak kenapa Korvus kalah di PBC?” Ia menyeringai.

“Kami kurang maksimal.”

Pitcher yang baik adalah mereka yang bisa melempar ke strike zone. Lalu kenapa mereka gagal? Karena mereka mengkhawatirkan runner di balik punggung mereka. Padahal, diamond dikuasai insider dan outsider.”

Sadega memandang ke sudut bibir Rambu. “Dia mengandalkan dirimu!” bisiknya.

Sadega meninggalkan Rambu yang menatapnya dengan nanar. Rambu seketika menjatuhkan lututnya di lantai. “Aku nggak percaya kalau dia melihat keraguanku pada barisan penjaga. Karena kekhawatiranku pada Arion,” rintihnya sambil meremas rambut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro