Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03. Better With You | Rambu & Ruma

Pasukan Bantarious kan di lapak sebelah, barengan Ale. Di lapak ini anak-anak Korvus di bawah Rambu. Kalau dari yang berbau alam segar-segar ketemuan di lapangan Antarserka bareng Serka di lapak sebrang:)
Bab 3 sudah siap dikomentari, yuks .....

Publikasi 20 September 2022
Republish Januari 2024

.
.
.
.

Rambu tidak bisa tidur, kedua matanya sulit terkunci. Isi kepalanya gaduh bukan main. Tidak ada ketenangan dalam jiwanya malam ini. Menilik besok adalah jadwal evaluasi. Mungkin besok akan jadi hari paling sialnya selama berada di Korvus.

Rambu mengamati langit-langit kamarnya. Ia pernah bermimpi bermain di tengah lapangan bisbol sambil disemangati Eyang dan Kakung juga mendiang kedua orang tuanya. Namun, semuanya akan terus menjadi mimpi. Baik Eyang juga Kakung sudah terlalu tua untuk berada di keramaian. Mengharap kehadiran kedua orang tuanya adalah sebuah komedi.

Rambu menitikan air matanya, ia rindu masa-masa kecilnya bersama Kakung. Ditinggal sejak lahir oleh kedua orang tuanya. Rambu nyaris tak punya kenangan spesial selain sebuah foto pernikahan milik ayah dan ibunya. Tumbuh di tangan Eyang dan Kakung membuat Rambu dipaksa—tepatnya terpaksa mandiri.

Padahal, hati kecil ingin disayangi seperti anak lainnya. Namun, itu bukan hal mudah. Tanggung jawab pada Eyang dan Kakung menekan Rambu turun tangan bekerja membantu perekonomian di rumah. Ia juga harus mendulang banyak prestasi demi beasiswa sekolahnya yang juga akan mempermudah masuk universitas kelak.

Tantangan itu benar-benar membuat bahunya ingin roboh. Entah membantu Kakung di bengkel motor, menjadi buruh cuci becak, sampai buruh pesan antar tetangga yang mau belanja dan jajan karena mager, Rambu jabani demi satu dua lembar uang jajan.

Sebetulnya ia tak mau mengeluh, tetapi ia malu jika terus duduk santai dengan angan-angan memiliki masa depan cerah tanpa berjuang. Sial!

“Aku rindu masa kecilku bermain dengan Ruma sampai nggak ingat mandi dan makan,” gumamnya tertawa sambil menangis.

Kenangan demi kenangan bermunculan, sesakan dada Rambu. Seakan menariknya terus terjerembab ke dalam gelap yang pengap.

Hari itu ….

“Eyang suka sekali pinang, ya?” ucap Rambu sambil menyusun daun sirih ke dalam piring kayu kecil dari dalam wadah berbahan rotan.

“Iya, Basena mau coba?” tanya Eyang Putri, nenek berusia tujuh puluh sembilan tahun itu tergelak tawa saat cucu satu-satunya itu bergidik ngeri.

“Rambu bukannya jijik, Rambu hanya nggak bisa membayangkan rasanya. Rambu belum berani,” jawab remaja laki-laki itu sembari nyengir kuda.

Tangan Eyang Putri yang sudah keriput dan kurus mendarat di kepala Rambu yang lebat. “Basena sudah besar, waktu kecil suka mencicipi pinang Ibu, katanya gigi Basena terasa kesat.”

Rambu menatap sendu. “Aku Larung, Eyang. Larung Rambu Basena. Bukan Namaskara Basena. Aku anaknya Basena, Eyang.”

Rambu ingat ayahnya. Namaskara Basena. Seorang teknisi untuk sebuah perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang wafat pada tahun di saat Rambu lahir. Ia ingat ibunya juga, Ayundaklara. Seorang wanita biasa yang gemar sekali menekuni tenun dan sulam, wanita yang wafat tepat saat Rambu berusia dua bulan setelah lahir.

Rambu menangis, ia tiba-tiba menyadari bahwa ia belum pernah bertemu kedua orang tuanya kalau bukan dari foto pernikahan yang diabadikan oleh seorang sahabat ayahnya yang berprofesi sebagai fotografer keliling.

Rambu tak bisa menahan tangis dan sakit hatinya, hingga isak tangisnya terdengar begitu menyayat hati. Rambu pikir, apakah ada yang salah dengan kelahirannya?

“Basena masih hidup. Aromanya masih terasa sama. Hangat.” Eyang tersenyum sambil membelai wajah Rambu.

“Anakku Basena masih terlihat sangat rupawan.”

“Aku sayang Eyang, meski Eyang nggak mengenali diriku sebab alzheimer.”

Kepala Rambu terjatuh di kaki Eyang. Tak kuasa menahan rasa sakit yang sesakan dadanya. Anaknya ... anak satu-satunya Eyang harus wafat. Mantunya juga.

“Aku beban untuk Eyang dan Kakung, ya? Aku hanya telah merampas masa tua kalian!” rintih Rambu sesegukan.

“Basena ... Basena menangis kenapa? Bukankah Ayunda akan segera melahirkan? Cucuku pasti mirip denganmu, Basena sayang.”

“Ram ... ayo ... bengkel sedang ramai. Banyak yang harus dikerjakan,” lontar seorang kakek berusia delapan puluh tahun. Meski sudah berumur, tubuhnya masih kuat, beliau masih sebugar anak muda sebab rasa tanggung jawabnya yang selalu tampak pada setiap senyum tulusnya.

“Baik, Kakung.” Rambu bangkit dari duduknya. “Eyang, Rambu akan membantu Kakung dulu. Sore nanti Rambu pulang bawa siri pinang.”

“Basena, kau ini Basena, ‘kan?” Eyang terkekeh dengan wajah penuh kesedihan.

Rambu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Sambil tersenyum ia mencium punggung tangan sang nenek. “Iya, Basena harus kerja!” katanya berbisik.

“Abhi, awas kalau Basena terluka. Aku tidak mau membuatkan kopi untukmu!” ucap Eyang dengan tatapan kosong. Abhisena, nama Kakung.

“Iya, Kinanti. Aku akan menjaga anakmu," jawab Kakung tersenyum getir. Kinanti, nama Eyang.

*****

Malam semakin suntuk, tak terasa olehnya, Rambu sudah tidur nyenyak dengan mata sembab. Kenangan itu benar-benar membuatnya larut dalam berbagai perasaan tak menyenangkan.

Pagi buta membangunkan Rambu untuk sembahyang. Ia bangun lebih siang dari biasanya, pasalnya Kakung bahkan sudah duduk di khusyuk untuk berdoa pada Sang Khalik.

“Lekas mandi, Ram. Kamu tidak boleh terlambat!” kata Kakung tanpa menoleh.

“Baik, Kakung.”

Setelah bersiap dan melakukan berbagai pekerjaan rumah, Rambu pamit berangkat ke sekolah untuk menyambut hari tidak menyenangkannya. Hari evaluasi bersama para senior Korvus. Di depan pelataran rumah Rambu yang luas dengan sedikit taman tanpa pagar berdiri laki-laki bertubuh tinggi memakai pakaian olahraga.

Mata cokelat terang memandang ke arah Rambu. Seragam olahraga membalut tubuh atletisnya. Perpaduan biru putih dengan sedikit sentuhan merah di bagian lengan itu membuat kulit putihnya terlihat pucat.

“Gua tunggu lo di ruangan Korvus nanti!” katanya pada Rambu sambil melengos.

“Tunggu!” Rambu memekik seraya mengejar langkah laki-laki itu. Ayunan tangannya Rambu tangkap dengan cepat. “Arion mungkin akan lebih sakit hati jika dia ikut evaluasi hari ini!” pekik Rambu.

“Lo putus asa hanya karena insiden kemarin?”

“Bukan gitu, bahunya Arion masih belum cukup sehat buat kembali membela Korvus!” sela Rambu menatap dengan saksama.

“Bisbol itu tentang kekuatan pitcher dan kerja sama orang-orang di dalam diamond.” Laki-laki bermata cokelat itu mendorong bahu Rambu.

“Tapi lemparan kuat dari seorang pitcher akan sia-sia kalau nggak bisa ditangkap catcher.” Rambu menarik napasnya dengan lembut. “Arion mengakuinya. Semua salah aku karena terus memaksanya maju.”

“Rambu!” panggilnya.

“Bahunya cedera parah, dan dia mungkin nggak akan bisa menjadi seorang catcher lagi. Setelah ini … kata dokter Syasa dia nggak akan bisa melakukan aktivitas fisik yang berat,” tutur Rambu setelahnya ia melenguh.

“Dia bertaruh, dia bertahan dan menerima kenyataannya. Jadi, jangan libatkan dia dalam evaluasi nanti, kumohon!” pinta Rambu memelas di hadapannya.

Tangan Rambu ditarik sekuat tenaga, hingga wajah keduanya berhadapan. “Semuanya udah terlambat asal lo tau! Persetan dengan line-up Korvus yang amburadul!”

Kedua bola mata Rambu memerah begitu juga wajahnya. Rambu mengikuti langkah kaki laki-laki kelas XII itu. Dasha Rakabumi, namanya. Ia adalah catcher utama Korvus yang absen karena sedang masa pemulihan pasca tipus beberapa minggu lalu.

Di sepanjang perjalannya, laki-laki bertubuh jangkung dengan manik mata temaram itu gelisah. Pasalnya, bukankah Rakabumi terlalu keras? Bukankah ia juga cedera dan tak bisa membela Korvus? Lalu, apa bedanya dengan Arion?

Embusan napas panjangnya terdengar begitu berat. Rambu mengacak-acak rambutnya sampai kusut bukan main.

“KAPTEN!” panggil segerombolan siswi sambil memandang antusias ketika Rambu dan Rakabumi memasuki kawasan sekolah.

Sekujur tubuh Rambu gemetar, dingin sontak menbuat dadanya terasa begitu berat. Laki-laki itu menggulirkan kedua bola matanya dengan canggung saat Rakabumi berjalan meninggalkan. Rakabumi berdecak kesal.

“Hai!” sapa Rambu malu-malu.

“Turut sedih atas kekalahan Korvus. Kapten baik-baik aja?” Mereka bertanya dengan wajah kecewa.

“Aku minta maaf karena udah bikin kecewa kalian,” tutur Rambu dengan suara serta senyumnya yang manis. Walaupun setengah dari ekspresi wajahnya tampak sedih.

“Yah, Kapten.” Mereka mendesis. “Kapten nggak salah. Tim lawan emang jago!”

“Tapi anak-anak Korvus juga jago, kok!”

Rambu menarik kedua sudut bibirnya dengan canggung. Ia menunduk sambil menarik napas. “Maaf bikin kecewa kalian,” katanya.

Tangan Rambu seketika diserbu gerombolan siswi tersebut hingga buatnya tersentak. Memerah seluruh permukaan kulit wajahnya lengkap menegang pula romannya. Rambu nyengir kikuk.

“Kita nggak pernah kecewa sama Kapten.”

“Kalau gitu aku pamit duluan!” ucapnya kocar-kacir. Rambu mengangkat telapak tangannya, yang mana seketika diserbu para siswi untuk tos sebagai salam perpisahan.

Rambu bergegas, tetapi tiba-tiba saja seorang siswi berdiri di depannya sambil tersenyum manis. Sebuah kotak kecil berwarna merah jambu dengan pita magenta mendarat di tangan Rambu.

“Untuk Kapten, pasti belum sarapan. Perutnya tadi bunyi!” katanya. “Dimakan, ya, Kapten. Supaya bisa bawa pulang piala kayak taun lalu!”

“Maaf, Difta, aku nggak bisa terima perasaan kamu. Aku cuma … bagiku cukup Ruma seorang. Maaf, lagi-lagi aku harus menolakmu!”

“Aku akan terus berlari!” Difta, gadis itu menatap Rambu. Sosok wakil ketua osis anak XI IPA itu melengos tinggalkan Rambu dengan mimik masygul.

“Ah, untung nggak ada Ruma. Kalau ada anak itu bisa di-spike sampai terkapar!” Rambu geleng-geleng kepala. “Sampai kapan Difta mau ngejar aku? Apa ditolak sejak kelas satu lalu nggak cukup?” Rambu mengembuskan napasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro