Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01. Better With You | Rambu & Ruma

Bab 1 yang sempat ditarik akhirnya update lagi, selamat membaca dan bersenang-senang dengan dunia teen fiction ala-ala Jejakava
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, ya;)

Publikasi 14 September 2022
Publikasi ulang 26 Desember 2023

.
.
.
.

Lemparan lurus secepat 127km/jam membuat Arion bergidik ngeri. Pasalnya, setiap kali latihan lemparannya selalu bertambah cepat. Arion berdiri dari catcher box sambil membuka pelindung wajahnya. Remaja laki-laki dengan rambut agaknya ikal itu berjalan ke arah Rambu di mount—gundukan kecil berwarna putih tempat pitcher berdiri.

Mungkin karena penantiannya bermain di Jakarta Internasional Baseball Arena. Semuanya tampak membara dan menakutkan, ia bergidik ngeri.

“Gimana latihan kali ini, Rion?” tanya Rambu padanya.

“Lumayan,” jawab Arion ringkas. Kedua laki-laki itu berjalan ke tepian lapangan untuk istirahat sebelum latihan inti dimulai.

“Latihan taekwondo buat turnamen antarsekolah gimana, Ram? Katanya bakalan ada kontingen asal Jateng juga, ya?” tanya Arion terseyum lebar tampak penasaran.

“Aku nggak ikut turnamen itu, Rion. Aku masih mempersiapkan diri buat Pen Base barengan kalian!” jawab Rambu tersenyum kecil.

Rambu menyandarkan punggungnya di depan bangku kayu. Laki-laki itu memandangi indah lapangan di depannya. Lapangan kecil berbentuk seperempat lingkaran dengan area diamond—sepetak tanah persegi empat yang diberi titik base mengunakan kapur.

Glorea atau disebut juga GR adalah lahan kosong bekas ladang ilalang yang dialih fungsikan untuk berlatih atau bermain bisbol ataupun sofbol oleh beberapa sekolah yang memiliki ekskul bisbol tetapi tidak memiliki lapangan sendiri, tidak seperti Bantarious ataupun Galantika, kedua tim terkuat asal Jakarta yang memiliki lapangannya sendiri di belakang sekolah lengkap dengan lintasan untuk latihan maraton pula.

Atau seperti tim-tim di luar Jakarta, mereka punya tempat berlatih sendiri di taman kota juga gor masing-masing.

Tak lama setelah Rambu dan Arion beristirahat tampak sekawanan laki-laki berpakaian serupa mereka—jersei putih gading dengan polet loreng emasberjalan memasuki pelataran GR. Tertulis di balik punggung mereka Korvus Timur 1999.

Tampak pria paruh baya mengenakan jersei warna hampir serupa pun turut memasuki area GR. Di bagian dada jersei juga topinya tertulis coach.

Rambu lekas bangkit dari duduknya, laki-laki itu pun menghampiri sosok pria paruh baya tersebut. Rambu menggulirkan bola matanya pada Arion yang masih duduk.

“Bagaimana keadaan bahu Arion, Ram?” tanya pria itu, namanya Inga Deltanio. Ia adalah asisten utama pelatih JKT Korvus Timur 1999—Coach Antan Hehanusa.

“Aku rasa di pertandingan lusa udah bisa main. Rion udah bisa menangkap beberapa lemparan bola-bola liar di luar strike zone.”

Kalau begitu, kamu dan lainnya silakan berlatih. Coach akan melakukan beberapa evaluasi bersama Arion dan fisioterapi juga dokter Syasha untuk membahas kesiapannya,” ujar Inga sambil menepuk-nepuk bahu Rambu.

“Baik, Coach.”

Diserahkan latihan mandiri ini padamu, Kapten.”

Di waktu yang sama, tepatnya di lapangan olahraga sekolah. Anak-anak ekskul voli putri sedang melakukan pertandingan uji coba dengan tim voli putra untuk persiapan kejuaraan voli SMA se-Jakarta.

Ruma begitu bersemangat mendukung teman-teman sekolahnya. Meskipun ia harus absen dari menonton latihannya Rambu dengan anak-anak Korvus Timur 1999.

Di sampingnya duduk seorang gadis bermata empat yang sibuk mengarahkan lensa kamera ponselnya ke arah lapangan.

“Ma, lo videoin mereka juga, dong! Buat bahan postingan di sosmed!” katanya, ia Mela, teman sebangku Ruma sekaligus bendahara di kelas.

“Ah, memoriku penuh, Mel. Maaf!”

“Penuh tentang si Rambu, ya?”

Ruma hanya menyeringai tanpa menjawab. Gadis tomboi itu menggaruk-garuk pelipisnya canggung. “Penuh bahan evaluasi Rambu, Mel. Aku nggak bisa mengecewakan dia, secara dia juga nggak punya hp yang bagus.”

“Ihh, statusnya aja kapten Korvus, hp butut.”

“Kata Rambu asal masih bisa dipakai buat ngerjain tugas, nggak masalah,” bela Ruma sambil nyengir kuda.

“Ih, resek. Ya udah, lo postingnya nanti dari hp gua aja. Kita tuh harus kelihatan kompak mendukung tim voli putri.” Mela mendesis dengan wajah sebal.

“Biar Kak Buana bilang makasih, ya?” cibir Ruma dengan bibir bagian atas sedikit terangkat.

“Tau aja. Abisnya anak-anak voli tuh pada cakep-cakep. Apalagi Kak Buana, meskipun statusnya alumnus tapi kehadirannya tuh kek masih kerasa aja, Ma.”

Ruma hanya berdeham pelan sambil menyeka peluhnya.

*****

Senyum canggung terukir di bibir Rambu ketika beberapa gadis dari paduan suara memberinya minuman dingin, handuk juga camilan ringan berbahan cokelat.

“Makasih.” Rambu berbisik malu-malu.

“Semangat latihannya, Kapten!” kata mereka dengan kompak.

“Kalian juga semangat latihan nyanyi Mars Korvus-nya.” Rambu masih berbisik malu-malu.

“Jangan lupa dimakan, ya!”

“Handuknya dipake buat lap keringat, ya! Lebih senang kalau dipake habis mandi,” goda salah satu anak sembari cekikikan.

“Cokelat dari aku juga, Kapten, jangan lupa dimakan. Cokelat bagus buat menaikkan kadar gula darah pasca kelelahan.”

Rambu manggut-manggut pelan masih dengan senyuman canggungnya. Di tengah perbincangan yang cukup membuat tubuh Rambu ketar-ketir, Arion, Kais, Darius, Melva, Andriano, Gavin, Rega, Alexa dan anak-anak Korvus mendekati.

“Cie, yang baru aja dapat hadiah.”

“Kapten emang beda!”

“Iya, si Kapten emang beda, padahal muka spek kutu buku gitu!”

Rambu menggulirkan kedua bola matanya dengan keki ke arah langit. Ia bahkan terlihat menekan rahangnya yang mengeras.

“Ganteng gua, jih!”

Rambu menoleh, sambil melotot. “Ssttt... malu tau!” gumam Rambu merapatkan gigi-giginya.

Arion merangkul Rambu yang sepantar tinggi dengannya. Laki-laki berambut ikal itu bersiul di depan para gadis. “Anak-anak Korvus yang lain dapat apa, nih?” todongnya.

“Apaan, sih, sok asik tau, Ion!” cicit Kais menertawakan.

“Berisik Kai, jangan sok imut lo!”

“Hus, malu ah.” Rambu menabrak kaki Arion. “Oh, iya, makasih, ya, hadiahnya. Kita mau lanjut latihan. Dah!” pamit Rambu sambil melambaikan tangannya.

Dari arah pagar pembatas antara dinding sekolah dan pelataran GR tampak Ruma berdiri memegangi sebuah kotak berwarna biru cerah. Melihat itu, Rambu seketika pamit undur diri.

Sayangnya, Kais dan Alexa menahan kedua tangan Rambu sambil menatap genit. Alexa memirsa wajah Rambu yang memerah. Laki-laki itu memalingkan wajahnya ke sembarang arah.

“Cie, pawangnya datang!” nyinyir Alexa membuat Rambu ketawa pelan.

“Dah, awas, ah!” pekik Rambu menahan kedutan di bibirnya.

“Mau ke mana, sih? Hadiah seabrek-abrek ini mau ditinggal gitu aja?” tanya Darius menyeringai dengan sempurna.

Rambu menurunkan bahunya sambil mengembuskan napasnya. Kedua bola mata Rambu mengecil. “Kalau mau dimakan, ya, makan aja. Handuknya juga. Pakai aja, kan, punya Korvus.”

“Lo tuh, ya, kalau dikasih tuh diterima dong! Jangan malah apa-apa punya Korvus, apa-apa yang dikasih malah jadi milik anak-anak Korvus. Mereka nanti kecewa, lho!” protes Melva menarik tangan Rambu.

Rambu mengembangkan pipinya lalu mengempiskannya seraya buang napas. “Kalau aku tolak kalian nggak akan bisa makan camilan enak pasca latihan. Emang nggak bosen cuma makan pisang peyot doang? Toh, kalian juga yang minta duluan!” sahut Rambu dengan tatapan sewot.

“Dih, Kapten kalau ngomong suka bikin makin cinta,” kelakar Rega yang lalu ditertawakan anak-anak lainnya.

“Makan tuh pisang peyot!” pekik Arion memukul kepala belakang Rambu.

“Udah ah, awas!” titah Rambu melepaskan diri dari Alexa dan anak-anak Korvus lainnya. Berjalan Rambu ke arah pagar.

Getaran aneh menjalar ke seluruh tubuh Rambu. Ia tak mampu menahan kedua sudut bibirnya untuk tetap di garis lurus. Senyumannya mengembang sempurna. Manik matanya berbinar cemerlang ketika kakinya berhenti di depan sosok yang berdiri dengan wajah jengkel.

“Lama!” sungutnya. Ruma bersidekap dengan mimik kesal. Wajah merah gadis tomboi itu buat Rambu tertawa pelan.

“Maaf, Ma. Gimana pertandingan tadi? Kamu menikmati permainan voli tim putri nggak?” Rambu menanyai sambil mengusap pusat kepala Ruma. Semakin memerah lagi pipi gadis tomboi itu. “Gimana menurutmu mereka bisa menang nggak?”

“Keren. Aku pikir tim voli putra nggak bakal gagal cetak angka. Biasa-biasanya tim cowok gagal malah yang cewek ngalahin rekor kemenangan mereka. Mana skornya jauh banget.”

“Ah, syukur kalau gitu. Semangat nonton pertandingnya besok,” kata Rambu kembali membelai pusat kepala Ruma.

“Nih, camilan. Tadi lewat warung, jadi beli roti stroberi dan madu, kesukaanmu.” Ruma manyun sambil melirik ke sembarangan arah. “Makan sendiri jangan dibagi-bagi.”

“Iya.”

“Awas kalau dibagi-bagi. Aku pites palamu!”

“Galak!” Rambu tertawa renyah. “Serem banget main pites,” bisiknya.

“Iya, iyalah, kamu tuh harus lebih peduli sama dirimu. Kan, sama-sama capek, makannya harus diatur. Gizinya itu lho Ram, masa atlet letoy!”

Rambu kembali tertawa. “Kamu lebih galak dari pelatih taekwondo dan Korvus kalau lagi gini, Ma. Tapi … itu yang justru bikin aku sayang keduanya.”

Ruma mendaratkan begomnya di dada Rambu. “Kalau kamu kalah, Ranah mungkin nggak bakalan ngizinin aku buat nonton kamu tanding, apalagi sampai nemenin kamu latihan taekwondo.”

Rambu mendaratkan ujung telunjuknya di dahi Ruma. Keduanya berpandangan. “Aku nggak akan kalah,” bisik laki-laki itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro