Drama Kedua
"Ada apa sih? Muka lo serius amat?" Bernard bertanya sambil cengar-cengir.
Aku berdecak. "Gue mau nanya nih."
Seminggu terakhir Leo sama sekali tidak menggangguku. Tidak menyapaku dan bahkan tidak memperdulikanku. Hubungan kami kembali menjadi Saras-Leo sebelum sandiwara pacar-pacaran itu. Apabila bertemu, Leo akan pura-pura bahwa aku adalah bagian dari udara. Di kelas, meski aku ketahuan tidur, Leo tidak akan mendekatiku dalam radius lima meter. Seolah-olah aku membawa virus mematikan yang mampu menular hanya karena kami menghirup udara yang sama.
Aku tahu dia marah padaku. Tapi aku tak tahu di mana salahku. Aku kan hanya bertanya ke Oom Lucky. Apa salah jika aku berusaha menyelamatkan kami berdua? Bertanya padanya? Hah. Sampai mati aku tak akan melakukannya. Peduli setan. Toh semua ini hanya berpusat padanya. Seperti kata Oom Lucky, aku tak perlu memusingkan soal perjodohan ini, karena ini semua urusan Leo.
Tapi bagaimanapun aku juga penasaran. Terutama tentang hubungan kami saat ini. Apakah dia masih membutuhkanku sebagai pacar pura-pura? Toh kedua orang tuanya sudah tahu bahwa kami tak pernah pacaran. Jika memang dia sudah tidak membutuhkanku lagi, sudah saatnya aku mengejar Jerro. Bertanya langsung padanya? Jangan mimpi. Sampai wisuda pun aku tak akan melakukannya.
Beruntung, di puncak rasa penasaranku tentang Leo, Tuhan ternyata memberikan jawabannya. Tak biasanya aku melihat Bernard sliweran di kampus sejak awal semester ini. Angkatan 2008 memang sedang sibuk dengan skripsinya. Kalau pun ada, biasanya gerombolan. Hanya Leo yang masih sering terlihat di kampus karena membantu dosen di banyak kelas. Langsung saja kubawa Bernard ke kantin.
"Nanya apaan? Gue nggak ngumpetin Leo." Kata Bernard masih cengengesan. "Tapi nanti sore kita ada rencana futsal bareng angkatan 2008."
Aku tidak menjawab. Kuaduk-aduk cappuccino cincauku dengan gelisah. Sesungguhnya aku tak tahu apa gunanya Bernard di sini. Sebenarnya lagi, aku tak tahu apa yang harus kutanyakan padanya.
"Kenapa? Lo berantem sama Leo?"
"Ah..." Aku berdecak lega sambil melepaskan tanganku dari sedotan. Ternyata Bernard orangnya cukup peka. "Itu dia. Lo emang senior paling cerdas di dunia, Ben!"
Bernard tertawa jumawa. "Berantem soal apa?"
Aku menggeleng. "Justru itu, gue nggak tahu."
Apa aku harus menceritakan kejadian di rumah Leo pada Bernard? Yang dengan demikian membuka sandiwara pacaranku dengan Leo selama ini?
"Apa dia cerita sesuatu ke elo?" Tanyaku.
Bernard menyalakan sebatang rokok, setelah hisapan pertama, dia menggelengkan kepala. "Kami nggak seperti kalian, girls. Nggak semua masalah dicurhatin."
Aku berdecak. "Sama sekali?"
Bernard menggeleng, sambil menghembuskan asap rokoknya dengan berirama, seolah ingin membentuk ilustrasi dunia. "Gue belum ketemu Leo dua minggu ini."
Pantas!
"Nggak ada gunanya gue seret-seret elo ke sini!" Sunggutku kesal.
Bernard tertawa lebar. "Tapi kalau soal pacaran itu, gue tau."
APA?
"Lo tau?" Ulangku tak percaya. Bernard mengangguk. "Jangan-jangan lo juga tahu soal...soal..."
"Perjodohan?"
"Lo tau juga?!"
Bernard tertawa lebar. "My little pumpkin Saras, gue sama Leo itu ibarat satu jiwa dalam dua badan. Kayak kata-kata mutiara terkenal soal persahabatan itu lho. Lo tanya kapan Leo mansturbasi pertama kali juga gue tau."
Mengerikan. Katanya tadi mereka tidak seperti cewek yang saling curhat? Lalu ini apa namanya? Dasar cowok memang hobi denial!
Akhirnya kuceritakan seluruh rangkaian kejadian di Bekasi dua minggu lalu. Bernard mendengarkanku dengan hikmat, sambil sesekali menyapa cewek-cewek cantik yang melewati meja kami.
"Sumpah gue nggak ngerti!" Decakku. "Nggak Leo, nggak bokapnya, gila semua! Kok ada ya orang tua yang tega gitu sama anaknya? Oom Lucky bilang nggak ada orang tua yang pengin anaknya menderita. Lha, yang sedang dia lakukan ke Leo apa coba? Dan si kampret itu, apa-apaan malah marah ke gue? Gue kan ngelakuin itu demi dia juga!"
"Ras, lo pernah baca novel Bilangan Fu?" Tanya Bernard tiba-tiba, tidak ada hubungannya.
"Ayu Utami?" Tanyaku.
"Udah baca?"
Aku nyengir. "Lo tahu hobi baca gue yang parah ini kan, Ben? Gue nggak baca apa-apa selain koran. Panji pernah bawa-bawa novel itu di kelas. Nggak tau dibaca apa nggak." Terangku panjang lebar. "Kenapa emang?"
"Ada tokoh namanya Parang Jati. Dia anak seorang guru spiritual, namanya Suhubudi. Parang Jati itu anak tunggal, tapi bukan anak kandung. Dia bayi tanpa orang tua, ditemuin sama seorang perempuan spiritual juga, namanya gue lupa. Terus Parang Jati diambil sama Suhubudi, dijadikan putra mahkota di padepokan suhubudi."
"Suhubudi nggak punya anak?"
"Nggak."
"Nggak punya istri?"
"Punya. Tapi bukan itu yang mau gue ceritain, et dah!"
Aku terkekeh-kekeh geli.
"Parang Jati gede jadi pemuda yang lurus-lurus aja. Lurus banget. Dia penuh tanggung jawab. Dia nggak pernah menolak perintah Suhubudi. Bagi Parang Jati, Suhubudi adalah dewa. Apapun yang dia lakukan, Ayahnya harus tau dan harus setuju. Dan apapun yang dikatakan Ayahnya, dia harus setuju."
"Kayaknya gue kenal orang yang mirip Parang Jati." Aku tertawa lebar. "Leo banget. Nggak punya pendirian."
Bernard ikut tertawa kecil, sambil menyalakan rokok kedua.
"Parang Jati menganggap Suhubudi dewa karena dia merasa Suhubudi yang menyelamatkan hidupnya. Suhubudi nggak punya kewajiban apa-apa ke Parang Jati. Toh bukan dia yang membuat Parang Jati hadir ke dunia. Kalau lo sama orang tua lo, bisa aja lo memprotes dengan bilang bahwa lo nggak minta dilahirkan. Tapi Parang Jati nggak. Suhubudi ini benar-benar orang luar, yang hanya karena belas kasihnya, mengambil Parang Jati, menebus kesalahan orang lain. Kondisi Parang Jati pada waktu itu kan antara hidup dan mati. Kalau dia ditinggalkan di hutan, tempat dia ditemukan, ya pasti bakal mati. Dan kalau Suhubudi membiarkan, sebenarnya juga nggak apa-apa." Bernard menghela nafas. "Tapi Suhubudi nggak. Dia mengambil Parang Jati dan memberinya kehidupan."
"Kasihan," Gumanku.
"That was exactly what happened to Leo 23 years ago."
Kutatap Bernard dengan pandangan bertanya. Bernard mengangguk, memastikan aku tidak salah dengar.
"Orang tua kandung Leo, meninggalkan dia di depan supermarket samping rumah keluarga Leo. Pegawai supermarket yang panik, membawa bayi merah itu ke sana. Lalu Oom Lucky dan Tante Amira memutuskan untuk mengambil Leo sebagai anak, memberi dia kehidupan. Padahal bisa aja mereka membiarkan pegawai supermarket itu menyerahkan Leo ke panti, atau apalah."
Lagi-lagi kutatap Bernard dengan pandangan sumpah-lo-?.
"Leo sendiri yang cerita." Jawab Bernard. "Itu sebabnya dia nggak bisa nolak perintah bokapnya. Bagi Leo, kedua orang tuanya adalah dewa."
Aku menelan ludah. Aku benar-benar baru tahu kalau Oom Lucky dan Tante Amira bukan orang tua kandung Leo. Kenapa Ayah dan Ibu tidak pernah bilang? Tidak mungkin mereka tidak tahu kan?
"Lo tahu nggak Leo sempat kuliah bisnis setahun sebelum masuk FH?"
Aku menggeleng.
"Passion Leo sebenarnya adalah bisnis. Tapi bokapnya nggak suka. Dia disuruh sekolah hukum, dia ikut. Disuruh sekolah ke Jakarta, dia manut. Dan sekarang, dia diminta membawa lo sebagai calon mantu mereka," Bernard berhenti sejenak untuk menelan ludah. "-Leo juga nggak bisa nolak."
Aku mengernyit. "Tapi kan-"
"Gue bisa ngerti lo bingung dengan sikap Leo. Tapi dia punya alasan. Mungkin alasan itu nggak masuk akal buat kita, tapi masuk akal buat dia. Apa coba, Ras? Kita nggak bisa menerapkan cara berpikir kita ke semua orang."
Aku menatap Bernard dengan kerutan di dahi. "Gaya ngomong lo udah kayak si Panji."
Bernard tertawa. "Tapi benar kan? Lo nggak pernah ada di posisi Leo untuk menjudge dia salah."
Iya juga. Aku hanya melihat dari sudut pandangku sendiri. Ternyata Leo lebih malang daripada yang kukira. Aku sama sekali tak mengenalnya selama ini. Barangkali semuanya memang lebih sulit dari sudut pandang Leo. Dan aku membuat posisinya semakin sulit dengan pembicaraanku dengan Oom Lucky malam itu.
Tapi tetap saja aku tak terima bila Leo begitu saja menyalahkanku. Seharusnya dia memang bilang soal ini. Agar aku tahu posisinya sejak awal sehingga tidak mengambil langkah sendiri. Salah siapa kalau dia sok-sok misterius begini?
"Oi! Lagi di mana, bro?"
Aku mendongak mendengar teriakan Bernard. Senior tengil itu sedang bicara kepada ponselnya.
"Alaaah. Kerja melulu. Sini, ke kantin. Ada gue sama Saras. Iya, Saras pacar lo. Lupa?"
Aku melotot. Bernard hanya cengar-cengir tak peduli. Bisa kutebak dia sedang menelepon Leo.
"Alasan aja lo, kampret! Tapi ntar sore jadi kan futsal? Gue udah booking lapangan sampai dua jam. Kalau lo nggak dateng, gue bom kafe lo. Yo! Salam sayang dari Saras. Jangan lama-lama marahnya mas, gitu katanya."
Aku memaki keras-keras sambil menggeplak kepala Bernard dengan fotocopy modul yang baru saja kudapatkan. Sebodo amat Leo mendengarnya. Bernard baru saja menghancurkan namaku. Makianku terus menderas seperti pidato kepala sekolah di upacara bendera. Bernard hanya tertawa-tawa sampai memutus sambungannya dengan Leo.
"Kalau mau ketemu Leo ntar dateng ke lapangan futsal aja, Ras." Katanya masih dengan senyum geli.
"Siapa yang mau ketemu Leo sih?!" Tanyaku gusar. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. "Ben, si Leo suka sama Nanda kan?"
Bernard mengedikkan bahu. "Labil tuh anak. Padahal Nanda juga udah ngasih sinyal ijo."
Aku berdecak-decak. "Gitu pakai ngambek gue bilang nggak bisa diandalkan. Emang cemen kan dia?"
Kusingkirkan cappuccino cincauku, lalu kupesan kopi hitam panas. Kurasa aku butuh banyak kafein hari ini. Dan seharian itu, pikiranku tak bisa lepas dari Leo. Sial. Lama-lama aku ikutan gila.
***
Beruntung, sebelum kegilaanku semakin parah, Jerro menghubungiku, mengajakku masuk ke kelas fotografinya di IKJ. Di depan Bernard yang memandangku tolol, aku mengiyakan ajakan Jerro dengan sedikit lebay. Ya bukan lebay juga sih, karena aku menginginkan hal ini entah sejak kapan. Namun aku terpaksa berkutat dengan pasal-pasal demi mengikuti maksud terselubung Papa yang membungkusnya dengan kebaikan yang sungguh menggoda seperti kebebasan.
Selesai kelas, Jerro mengajakku makan malam. Aku semakin senang. Di kafe tempat kami makan malam, lagu If I Fell-nya The Beatles terputar sayup-sayup.
"Couse I've been in love before and found that love was more than just holding hand..."
Aku bersenandung kecil mengikuti alunan lagu. Sementara Jerro sedang sibuk bicara dengan seseorang di teleponnya. Mungkin beginilah resikonya mengencani orang sibuk. Aku harus sering-sering menghafal lirik lagu untuk membunuh kebosanan. Astaga, apa aku tadi bicara soal kencan? Kuketuk dahiku sendiri dengan gemas. Benar kata Panji, terkadang aku ini terlalu lebay menafsirkan keadaan. Mampir makan bareng saja sudah kuartikan kencan.
"Jadi, cinta itu apa?"
Aku mendongak. Kupikir Jerro masih berbicara dengan entah siapa di teleponnya dengan topik tentang cinta. Tapi ternyata dia bertanya padaku.
"More than just holding hand," Jawabku mengulang sepenggal lirik The Beatles.
"Kalau ciuman? Have sex? Marriage? Itu kan lebih dari sekedar pegangan tangan."
"Kalau menurut lo?"
Jerro terlihat berpikir, mengetukkan jarinya secara konstan ke meja. "Cinta itu adalah ketika dua orang bersama dalam posisi yang setara. Berbeda, tapi saling melengkapi. Bersama-sama, tapi nggak membuat lebur perbedaan mereka."
Ah, apa aku sudah bilang, satu-satunya yang menyebalkan dari Jerro adalah hobinya membuat rumit segala sesuatu? Persis seperti Panji. Bedanya, aku tak peduli Panji mau bicara apa, karena menurutku itu sampah. Sedang Jerro, aku harus menyimak semua kata-katanya, dan mengangguk atau menggeleng, memaksa otakku bekerja lebih keras supaya bisa memberikan komentar yang cerdas supaya ketololanku tidak terlihat. Ini fakta menarik. Cuma Jerro yang bisa memaksaku mengasah otak lebih kejam.
"Kalau buat gue, Jer, cinta itu nggak perlu didefinisikan." Kataku sok bijak.
"Tapi gimana lo bisa tau sesuatu itu ada kalau lo nggak mendefinisikannya?"
"Ya dirasain. Cinta itu harus dirasakan, bukan didefinisikan." Astaga, aku romantis sekali.
Jerro tertawa kecil. "Saras, gimana lo bisa duduk di kursi kalau lo nggak pernah tau kalau kursi itu tempat untuk duduk?"
Pada saat-saat seperti ini aku merindukan sosok Panji. Mungkin dia bisa menggantikanku untuk ngobrol secara filosofis dengan Jerro. Dan aku juga sangat merindukan Leo. Karena dia tidak pernah mengajakku ngobrol filosofis. Ah, Leo membuat hidupku lebih mudah.
"Halo semua,"
Ah, beruntung aku diselamatkan oleh kedatangan seseorang.
"Hei, Fre. Lo beneran ke sini? Gue kirain cuma bercanda."
Koreksi. Aku sama sekali tidak beruntung.
"Mana mungkin gue biarin kalian bersenang-senang tanpa gue." Jawab Freya, duduk di sebelah Jerro, di depanku.
Kurasa Freya punya hobi baru menyelidiki aktivitas kakaknya. Apa aku sudah pernah cerita bahwa Freya selalu muncul di saat-saat yang tidak tepat dalam pertemuanku dengan Jerro? Kemarin dia juga tiba-tiba muncul begitu saja saat aku dan Jerro ngobrol di sebuah coffee shop setelah hunting foto di RSCM. Muncul dan langsung mengambil alih semua pembicaraan di antara aku dan Jerro. Kurasa Freya memang tidak akan membiarkanku mendekati kakaknya.
"Leo lagi apa, Ras?" Freya bertanya padaku dengan seringai licik. "Tadi gue ketemu dia di perpus. Skripsinya udah sampai mana? Dia pasti lulus semester ini kan?"
Kutatap Freya dengan ekspresi datar. "Kalau tadi kalian ketemu, kenapa nggak nanya ke dia sekalian?" Tanyaku dingin.
Jangankan dia, aku saja tak tahu skripsi Leo sampai mana. Siapa yang mau tahu memangnya?
Freya tertawa anggun. "Kan gue nggak enak sama lo. Nanti lo berpikir macam-macam."
Aku hanya berpikir semacam kok. Bagaimana caranya mengenyahkan Freya dari hidupku dan berbahagia selamanya dengan Jerro. Eh, dua ding. Juga bagaimana memberitahu Freya bahwa aku dan Leo tidak pacaran.
"Gue heran lo nggak sedang konsentrasi menyiapkan kampanye buat nyalon ketua BEM dan malah ngebuntuti kakak lo, Fre."
Jerro menatap adiknya dengan kening berkerut. Freya tersenyum lebar.
"Gue nggak perlu mempersiapkan apa-apa, karena gue emang udah layak dari sananya. Lagipula pemira masih semester depan, Saras sayang."
"Kan biasanya lo selalu bergerak sebelum yang lain sempet menghela nafas. Agak-agak keliatan nafsunya gitu ya."
Jerro berdehem. "Come on, ada apa dengan perempuan-perempuan muda jaman sekarang. Saingan boleh, tapi musuhan itu buang-buang waktu."
Freya langsung menoleh, menatap kakaknya dengan sengit. "Lo ngapain sih ngajak-ngajak dia masuk kelas lo? Tau nggak dia tadi sampai bolos kelas hukum adat buat sit in di kelas lo?"
Aku berdecak. "Fre, gue terharu sama perhatian lo soal kuliah gue. Tapi percayalah, gue bisa mengatasi kuliah gue sendiri."
"Karena Leo yang jadi asdosnya?" Tanya Freya dengan seringai licik. "Dan lihat, apa yang lo lakukan di sini."
Lama-lama nama Leo itu annoying juga ya. Tak cukupnya orangnya, namanya juga sangat menyebalkan.
"Tunggu-tunggu, ada yang berbaik hati ngasih tau gue siapa Leo yang kalian sebut-sebut ini?" Jerro menyela dengan alis berkerut.
Baik aku dan Freya sama-sama tidak menjawab. Aku sibuk merutuki kesialanku karena menyandang status pacar Leo meski hanya pura-pura. Sedang Freya, entah apa yang sedang dia pikirkan. Merasa tidak ditanggapi, atau mungkin juga gerah berada di tengah perseteruan dua perempuan, Jerro minta izin ke toilet. Baik aku dan Freya tetap tidak menjawab. Jerro menghela nafas dan berguman 'Girls', lalu beranjak meninggalkan kami.
Tiba-tiba saja Freya mengambil ponselnya, lalu menelepon. Aku sungguh berharap dia menelepon pacarnya atau punakawannya untuk nongkrong bareng dan meninggalkanku sendiri dengan Jerro. Tapi aku salah.
"Bang, gue lagi nongkrong sama Saras. Lo nggak mau gabung?" Kata Freya langsung tanpa basa-basi. Sialan. Aku benci padanya. "Nggak berdua juga sih. Ada Jerro. Iya, Jerro yang gue ceritain kemarin. Ayolaah, skripsi masih bisa besok kali." Freya tertawa anggun. Sebelum kemudian kembali memasang ekspresi masam dan menyerahkan ponselnya padaku. "Nih, cowok lo!"
Aku menelan ludah. Aku tak ingin bicara dengan Leo. Tidak, karena kami masih perang dingin. Aku memang cukup bersimpati padanya tentang kisah hidupnya yang malang itu. Tapi aku masih tak bisa menerima kemarahannya padaku, sementara dia tak bisa melakukan apa-apa tentang masalah itu. Aku sungguh-sungguh tak mau bicara dengan Leo. Memangnya apa yang harus kami bicarakan? Tapi Freya pasti menggila kalau aku tak mau bicara dengan Leo. Akhirnya kuterima ponsel mahal Freya.
"Ya." Tanyaku sedatar mungkin. Ah, seharusnya tidak datar, Saras! Freya kan tahunya kami pacaran! "Hai, sayang. Lagi di mana?" Huekk! Aku harus kuat. Setidaknya aku tidak boleh muntah di depan Freya!
"Kamu jalan sama Jerro lagi?"
Dan apa urusannya dengan dia?
"Iya, tadi aku iseng masuk kelas dia di IKJ. Tau kan, aku pengin banget belajar foto. Aku bosan ngurusin pasal-pasal. Kamu lagi apa?" Jawabku semanis mungkin.
Terdengar Leo menghela nafas panjang. "Aku minta maaf."
Apa aku tidak salah dengar? Minta maaf katanya?
"Ah, skripsi melulu yang diurusin. Jangan lupa makan. Nanti sakit malah kacau. Iya, ini lagi makan." Jawabku masih berpura-pura manis.
"Setelah kupikir-pikir, kamu dan Papa benar. Aku memang payah dan kurang bisa diandalkan."
Ini benar Leo bukan sih? Jangan-jangan Freya salah pencet nomor?
"Astaga. Serius? Pak Budi begitu? Sabar yaa sayang, lagi badmood aja kali. Besok coba lagi."
"Jadi mulai hari ini aku akan berusaha." Ada jeda sebentar. "Untuk membuat kamu benar-benar jatuh cinta."
"Iyalah. Pak Budi kan selalu...apa?! Lo ngomong apa sih?" Ups. Aku keceplosan. "Kenapa begitu, sayang?" Apa? Tadi dia bilang apa?
Di seberang Leo tertawa kecil. "Kemarin-kemarin aku memang cuma setengah hati. Tapi sekarang nggak lagi. Jadi sayang, kamu harus siap-siap untuk jatuh cinta padaku ya."
"Lo gila!" Bentakku. Freya menatapku dengan dahi berkerut. Aih, sial. "Eh, maaf-maaf. Habis kamu ngagetin. Kok begitu sih?"
"Kenapa? Takut jatuh cinta sama aku, Saras? Selamat datang di keluargaku, sayang."
"LEO!" Tanpa sadar aku bangkit, sambil menggebrak meja. Melihat dahi Freya yang semakin bertambah kerutannya, aku kembali duduk dan menelan ludah. Tapi aku tak peduli lagi. Leo ini sepertinya lupa memakai otaknya. "Jangan bercanda." Tambahku dengan suara rendah.
"Seperti yang selalu kamu bilang Saras, aku ini KUHP berjalan yang nggak pernah punya waktu untuk bercanda. Jadi, mulai sekarang berhenti jalan sama Jerro. Kamu cuma boleh jalan sama aku. Ngerti?"
"WHAT?!!"
"Dan aku harus minta berapa kali lagi sih? Ganti gue-lo itu dengan aku-kamu. Sudah ya, kasihan pulsanya Freya. Bye darling, I love you too."
Leo mematikan sambungan sepihak sebelum aku sempat membalas atau memakinya. I love you too? Kapan aku mengucapkan I love you kepada Leo? Apa maksudnya dia berniat membuatku benar-benar jatuh cinta? Apa itu berarti sekali lagi dia menurut perintah Ayahnya? Ck. Jadi obrolan kami kemarin tidak ada gunanya? Sialaaaann! Leo sialaaaaann!
"Berantem? Wah, padahal belum apa-apa ya."
Kutatap Freya yang baru saja bertanya dengan senyum miring yang menyebalkan. Kuserahkan ponsel Freya dengan wajah paling masam. Iya, aku tahu sandiwaraku bermanis-manis di depan Freya tadi tidak ada gunanya. Siaaaaal.
"Jauhi Jerro." Kata Freya lagi. Tenang, datar, namun penuh tekanan. Kurasa dia mulai serius. "Gue nggak tau hubungan macam apa lo sama Leo itu, tapi jauhi Jerro."
Menjauhi Jerro? Sementara Leo mengancam akan membuatku benar-benar jatuh cinta? BIG NO! Aku harus membuktikan kepada Leo kalau aku bukan cewek-cewek mainstream seperti penggemarnya itu. Aku harus menunjukkan padanya bahwa aku bukan cewek yang mudah dibuat jatuh cinta. Dia pikir dia itu siapa sih? Damn! Tidak bisa. Aku tidak akan melepaskan Jerro. Aku harus membuat Leo mundur teratur.
"Kalau gue nggak mau?"
Freya menyibak rambutnya dengan kesal. "Lo ini apa-apaan sih?"
Aku mengedikkan bahu. "Lo yang apa-apaan, Fre. Jelas-jelas Leo dan Jerro itu beda. Leo pacar gue, dan Jerro itu guru fotografi gue. Kenapa sih?"
"Gue nggak percaya niat lo ke Jerro cuma sekedar belajar foto!"
Well, kali ini rupanya Freya cukup pintar. Karena aku tidak merespon apa-apa selama tiga detik, Freya menjetikkan jarinya girang. Seolah baru saja menemukan ide cemerlang. Kalau dia berteriak 'EUREKA!' aku pasti yakin dia menemukan Hukum Newton IV.
"Gini aja, Ras, gue akan membiarkan lo melakukan apapun, dan akan pura-pura nggak tau soal lo, Leo, dan Jerro, dengan satu syarat."
"Apa? Taruhan lagi?"
Freya mengangguk. "Lo tau kan bentar lagi ada lomba debat tingkat fakultas? Nah, kita tanding di sana. Kalau lo menang, ya tadi, silakan lakukan apapun, gue nggak akan peduli lagi. Dan kalau lo kalah, lo harus jauh-jauh dari Jerro. Cari guru fotografi lain. Oke?"
Aku tidak menjawab. Kutatap Freya dengan tatapan terdatarku. Debat? Apa dia sedang bercanda?
"Ah, ya, satu lagi. Kalau lo kalah, lo harus jadi tim sukses gue di pemira semester depan. Lo harus mendukung gue habis-habisan untuk jadi ketua BEM FH. Gimana?"
Kurasa aku mau muntah.
Freya melirik ke kananku sebentar. "Itu Jerro. Gimana? Lo setuju kan? Buruan!" Desaknya dengan suara lirih.
"Lo tau debat akademis sama sekali bukan bidang gue, Fre. Itu curang namanya."
Freya tertawa anggun. "Memang. Di bidang itulah gue bisa memastikan kemenangan gue, bahkan dari sekarang."
***
Alohaaaaaa!
Kok Update 2x? Karena author mendengar ada yang pengen kado ulang tahun. HAHA
Jadi untuk yang ulang tahun hari ini, selamat yaaaa! Semoga terkabul semua doa-doanya dan selalu bahagia. Kado spesialku untukmu berbentuk babang Leo yang makin gemesin ;))
P.S. Ini aku lagi bahagia aja sih, makanya ingin berbagi kebahagiaan. Jadi nanti-nanti kalau ada yang minta bonus update karena lagi ulang tahun, ya belum tentu dikabulkan lho yaa. Muehehehehe ;p
Selamat menyambut hari Senin!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro