Chapter 1: Mereka dan Luka
Oh iya, sebelum memulai aku ingatkan cerita ini ada beberapa hal-hal sensitif seperti suicidal tought, cheating, broken home, dan lain-lain. Misalnya kalian bisa ke-trigger sama hal-hal sensitif ini silakan gak lanjut bacanya. Terima kasih
***
Tudung biru yang membentang puluhan meter di atas sana berganti warna ke oranye kemerahan, diikuti burung-burung yang terbang berkelompok menuju rumah, manusia-manusia yang memijak bumi pun turut menuju tempat beristirahat. Namun, ada juga yang betah menuntut ilmu dan bekerja ataupun sekadar menatap keindahan cakrawala di rooftop, contohnya yang dilakukan si pemuda bersurai cokelat, Ikari Shinji.
Tangannya yang tertutupi kemeja lengan panjang ia angkat, ditatapnya luka-luka goresan yang tersembunyi di balik sana. Kadang rasa ingin mengakhiri hidupnya hadir, tapi ditarik lagi oleh ketakutannya detik-detik saat nyawa terlepas dari raga dan abadinya siksa neraka.
Ia berpura-pura hidup walaupun sudah mati. Bukan mati secara harfiah, melainkan jiwanya yang tak ada lagi api semangat, hidup pun bak boneka marionette yang bergerak bukan karena keinginannya, akan tetapi sebuah keharusan demi memperlihatkan sedikit arti eksistensi diri di panggung dunia ini.
Shinji membangkitkan diri, sungguh ia tak minat melakukan apa-apa. Sejak kematian ibunda, ia tinggal berdua dengan ayahnya yang dingin dan keras, dirinya selalu dituntut memperoleh nilai tinggi. Belajar, belajar, dan belajar yang dilakukan Shinji hingga ia tak lagi dapat cecapi bermacam rasa yang timbul di hatinya. Keterpaksaan mengubahnya menjadi boneka yang bergerak karena tuntutan dan arahan. Ia tak mengerti tujuannya, terlebih dirinya sendiri.
Pemuda itu tanpa sadar asyik di pikirannya, temannya bukanlah orang-orang seusia dirinya, melainkan kesepian yang kian melahap diri.
Apa yang harus kulakukan? Pulang, mempersiapkan kebutuhan kuliah, dan tidur. Apa lagi yang bisa kulakukan? Aku melalukan semuanya demi ayah.
Apa aku bisa lari dari ini semua? Apa aku bisa tidur tenang selamanya?
Pernah Shinji kabur dari rumah, mental rapuhnya sebagai remaja tak tahan dengan tekanan berat dari ayahnya. Namun, pada akhirnya ia terpaksa kembali ke satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini.
Shinji bangkit, membersihkan debu-debu yang mengikuti pakaian, tak lupa pula membawa kaleng kopi yang tersisa setengah dan ponsel yang rutin memutarkan musik klasik favoritnya—juga mendiang ibunya. Selembar kertas yang terselip di saku ia buka sesaat, tulisan yang berisi kalimat selamat atas diterimanya di kampus tujuan.
Rencana Shinji sekarang membereskan barang-barangnya yang tersisa sebelum pulang, mulai besok ia tak lagi memijakkan kaki ke gedung ini. Ia akan memulai lembaran baru sebagai mahasiswa.
***
“Mama! Mama! Aku diterima di kampus impian mama! Kita bisa kembali ke Jep ... MAMA!”
Di ruang rawat inap seorang wanita bersurai auburn bertubuh tegang tergantung di langit-langit. Matanya yang setengah terbuka menampilkan kehampaan dan mulutnya mengalirkan cairan.
“Perawat! Mama mengakhiri hidupnya!”
Meski melihat mayat mamanya secara langsung, si gadis muda tetap berekspresi tenang, tak terlihat air mata menggenang di manik biru tuanya. Orang-orang yang melihat mungkin berpikir ia tak berhati, tapi sang perempuan muda bersusah payah menahan gejolak emosinya. Ia sudah terbiasa mengubur perasaannya di depan semua orang.
Dulu, ia pikir saat kembali ke kampung halamannya, Jerman, ia akan baik-baik saja. Kenyataan bekerja berbanding terbalik, sang papa selingkuh dengan rekan perempuannya. Mama yang mengetahui perilaku suaminya pun tak dapat menjaga akal sehat, sejak itu si gadis yang bernama Asuka Langley Sohryu harus kuat.
Asuka-lah penguat mamanya yang telah hancur, ia pula yang berhasil memaksa papanya berpisah dari mamanya.
Pada usia remajanya Asuka dipaksa kuat menghadapi fakta papanya yang bajingan dan mamanya sebagai korban tak bisa berbuat apa-apa.
Selagi Asuka menampakkan senyum, mamanya akan baik-baik saja. Walau terkadang mamanya mengamuk dan tak mengenali dirinya, Asuka tetap bersikap lembut.
Walau terkadang mamanya terisak, Asuka siap memberi pelukan. Ia selalu sabar mendengar mamanya yang berceloteh dan bermain bak anak kecil, di sisi lain hatinya yang penat tak ia dengarkan.
Asuka yang sekolah sambil kerja paruh waktu dan mengurus mamanya tak punya kesempatan bergaul dengan teman-teman sepantaran, alhasil rasa kesepianlah yang merangkul bahu tangguhnya.
“Asuka, kau terlalu kuat untuk anak seusiamu.”
“Terima kasih.”
Sayangnya, senyum dan air mata yang selalu ditelan Asuka tak lagi membuat mamanya bertahan. Apa lagi yang harus ia lakukan? Kembali ke rumah papa? Tidak mungkin! Asuka akan ditertawakan oleh lelaki itu dan istri barunya.
“Asuka tak menangis ketika mamanya meninggal, bahkan sampai hari ini,” ujar nenek dari pihak papanya. Asuka menatap tanpa emosi gundukan tanah yang di bawahnya sang mama menikmati tidur abadi.
Mengapa dia dan keluarganya harus di sini?
“Asuka, kalau kau butuh pelukan, kembalilah ke papa dan mama, menangislah sepuasnya.”
Kalian bukan keluargaku lagi. Palsu. Palsu. Semuanya palsu. Aku akan jadi bahan tertawaan bila masuk ke kandang kalian.
Hanya wajah tanpa ekspresi dan mulut yang enggan bersuaralah yang Asuka tunjukkan pada keluarga papanya. Tubuhnya berbalik meninggalkan para penduka yang menjatuhkan air mata. Ia muak menit-menit hidupnya bersama orang-orang yang mengaku sedarah, tapi tak pernah datang di saat membutuhkan.
Sekarang apa? Menyusul mama?
“Asuka, mama rindu memandangi bunga sakura yang mekar. Asuka kuliah di Jepang, ya? Kita berdua tinggal di sana selamanya.”
“Asuka akan mengusahakannya! Mama cepat sembuh, oke?”
“Mama janji. Asuka juga janji kuliah di Jepang, ya?”
“Janji!”
“Asuka anak baik, mama sayang Asuka.”
“Asuka juga sangat sayang mama.”
Asuka mengunci pintu apartemennya setelah berada di dalam, di sinilah ia tinggal sendiri sejak mamanya dirawat di rumah sakit jiwa. Tubuhnya merosot hingga menyentuh lantai, selain kedua lengannya, rasa sepi dan dingin turut memeluk dirinya.
Mama melanggar janjinya, tapi apakah mama adalah orang tua yang tidak baik?
Tidak.
Mama sudah berjuang melawan rasa sakitnya. Laki-laki bajingan itulah yang salah. Mama sudah bahagia di sana, pasti sekarang mama sedang memandangi bunga sakura yang mekar.
Asuka mendongak ke langit-langit apartemen yang gelap, setitik air mata perwujudan rasa lara dan letihnya selama ini akhirnya turun.
Sebagai anak yang baik, aku akan melihat bunga sakura di dunia ini demi mama.
Asuka terlihat tegar dan terkesan berharga diri tinggi di depan orang banyak, tapi bila sendiri ia tak lebih dari seorang gadis yang rapuh dan kesepian.
[]
Words: 944
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro